Selasa, 24 Juli 2007

White Cat

Oleh : M. Saifun salakim

Panas sedang menumpahkan amarahnya. Merah padam. Jalanan lekang tersenyum, tertawa, bahkan berteriak seperti orang gila. Amin menenteng map berisi lamaran kerja. Cari pekerjaan tetapi belum berhasil dengan sukses. Keringat sudah memandikan badannya. Untung saja dia pakai pewangi badan sehingga bau badannya nggak berceceran kemana-mana. Kontras tercium begitu. Pengap.
Ujungnya dapat juga dia memasukan lamaran kerjanya di sebuah perusahaan atau instansi yang memang membutuhkan pekerja atau pegawai baru. Gembira rasanya dia mendapatkan hal itu. Walaupun dia baru lulus seleksi dari personalia. Yang masuk seleksi dua orang saja. Dia sama dengan seorang wanita yang juga melamar bersamanya. Kini tinggal menunggu putusan dari direktur utama. Siapa yang layak menerima pekerjaan itu, diakah atau wanita tersebut?
Dia berdua bersama wanita itu lalu disuruh menghadap pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menduduki kursi jabatan yang dilamarnya itu. Rupanya Amin ditolak. Apa nggak dia berang? Ingin rasanya dia marah, karena pemilihan itu dinilainya nggak logis. Ujungnya Amin mengalah . Setelah dia menyadari suatu hal bahwa untuk mendapatkan kerja sekarang ini tidak bisa bermodalkan dengkul belaka, tetapi harus dilandasi dengan koneksi, seksi, dan amplop berisi.
Bukan sekedar dengan lantunan puisi memukau rasa, tidak laku!
Bukan sekedar jas berdasi biar parlente dan terlihat rapi menarik serta elegan, tidak laku!
Busyettt……
Amin dengan wajah mendungnya bergelayut di awan biru keluar dari kantor itu. Langkahnya gontai satu per satu. Map di tangan kanannya semakin kusam dan kumal, seperti kumal wajahnya baru saja dikalahkan oleh peradaban yang memukulnya jadi babak belur. Bonyok dan benyai… Membuat semangatnya lunglai….
Sejenak dilepaskannya letih di pelataran kantor itu untuk menghirup udara segar yang lama menjauh darinya. Sekali teguk, dua kali teguk, barulah sedikit rasa plong memenuhi rongga pernapasannya.
Mau kemana aku? Pikirnya sejenak. Hampir sudah puluhan kantor aku masukkan lamaran kerja. Tak ada yang sangkut menerimaku. Baru saja ingin mendapatkan sinar rembulan di kantor ini, aku dikandaskan lagi. Aku ditolak lagi. Aku tak boleh patah semangat. Lamaran ini harus aku masukkan terus ke perusahaan atau instansi yang membutuhkan pegawai baru, sampai aku mendapatkan pekerjaan. Aku harus bisa … Akan aku coba sampai bisa…. Harus !
Angin bergelora menyejukkan jiwa. Tanah terpampang coklat oleh kotoran timbunan peradaban semakin maju. Sampah-sampah berserakan. Bau busuk selalu berseliweran. Polusi udara semakin menggila. Oh ya, kendaraan terlihat bernyanyi dengan riangnya. Kadangkala menyentakkan Amin dengan ringkikan klakson menulikan telinga. Mengagetkannya yang enak bersantai, melepaskan kepenatan mencari penghidupan yang selalu kandas.
“Lagaknya!” geramnya kasar.
Ia ingin beranjak pergi, tak perlu lama disini. Ia ternganga seperti menyaksikan pemandangan yang mengasyikan. Ia melihat sekilas sosok putih di tengah jalan.
“Ini berbahaya sekali ! Bisa mati dia !”.
Ia berlari cepat didorong oleh rasa kemanusiaan dan kesayangan untuk menolong sesama manusia ciptaan Allah. Dia tidak memikirkan keselamatan dirinya lagi, terpenting dia bisa menyelamatkan mahluk putih itu yang akan dilibas kendaraan hilir mudik. Disambarnya sosok putih itu yang hampir diberangus Corolla yang mengerang marah meninggalkan debu-debu berlepotan, menempel di wajahnya. Walaupun badannya terasa sakit ia masih tersenyum.
Di tempat aman dilepaskannya sosok putih yang tidak lain adalah seekor kucing putih berbulu putih mulus penuh klimis, tiada bercela noda sedikit pun. Lalu disuruhnya pergi. Namun si kucing tidak beranjak dari tempatnya. Malahan si kucing tersenyum dengan memberikan isyarat dengan gerakan misainya yang menari-nari lincah menawan. Seakan kalo dia bisa berbicara.
“ Terima kasih ya atas pertolongan yang diberikan. Aku selalu ingin bersamamu.”
Si kucing mendirikan kaki depannya untuk dijadikan sebagai tangan. Ingin bersalaman dengan Amin sebagai penolongnya. Memperhatikan hal tersebut, mau tak mau Amin pun mengulurkan tangannya menjabat tangan si kucing. Tangan Amin pun dijilatinya dengan penuh kasih sayang tanda persahabatan yang mendalam dan ucapan terima kasih. Amin mengangguk.
“ Pergilah ! Aku sudah mengerti. Kini kamu sudah bebas. Kamu sudah selamat.”
Si Amin jadi heran karena kucing itu nggak mau beranjak pergi juga. Sepertinya ia pilu untuk berpisah. Si kucing malah meringkuk sendu. Kepalanya nampak tertunduk sayu. Amin jadi kasihan. Kayak manusia saja, berat untuk berpisah.
“ Baiklah kalo begitu, kamu ikut aku saja,” tawar Amin. Senangnya si kucing mendengarkan kata-kata yang ditunggu-tunggunya itu. Kesenduannya berganti dengan keceriannya. Dia mengeong-ngeong tanda bahagia. Seakan dia mengerti apa yang diucapkan si Amin.
“ Kucing cerdik,” gumam si Amin merasa senang dan plong. Bisa membuat sesuatu bahagia walaupun hanya seekor binatang. Kucing.
~oOo~

“ Wahai tuan Amin, kemuliaan apa yang Anda peroleh hingga rumah Anda berkerlap-kerlip penuh cahaya?” tanya Burhan, salah satu dari penduduk desa yang penasaran ingin mengetahui keajaiban yang dimiliki si Amin. Diikuti oleh para penduduk desa yang ikut mengiyakan.
“ Betul !” seru mereka serentak. Melakukan koor ya. Sebab mereka juga ngiri melihat rumah Amin sungguh indah di pandangan mata mereka. Sejuk. Damai. Tenang. Membuat mereka ingin lama-lama disitu. Hingga sesak menyempallah.
Kalo sekiranya rumah Amin adalah masjid, tempat peribadatan mereka dalam menunaikan kewajibannya siang malam, lima waktu, tentu tiap waktu mereka mendekam disana. Menghirup kedamaian setiap angin berhembus. Menelan ketenangan setiap buliran air diturunkan oleh hujan musim semi.
Rumah Amin tetaplah rumah Amin. Hingga mereka harus tau diri. Bagaimana caranya mengatur bertamu di rumah Amin, walaupun rasa kehausan mereka akan ketenangan itu belum terpenuhi juga. Untuk itulah, mereka membulatkan tekad, mereka juga menginginkan rumah mereka seperti rumah Amin. Agar kehausan yang mereka pendam jadi meledak. Berhamburan. Mereka ramai dan riuh meminta resep pada Amin agar rumahnya bisa juga bercahaya, bisa berikan kesejukan. Kedamaian. Ketenangan. Bagi penghuninya.
“ Dialah penyebabnya,” tunjuk Amin pada kucing putihnya yang berbulu mulus yang berada di samping kanannya. Si kucing mengangguk dan senyumannya mengembang lengkungan sinar bianglala.
“ Ah, kamu jangan bergurau Min. Masach kucing ini bisa berikan kemuliaanmu memancar. Kami saja yang punya kucing putih seperti ini lebih dari satu tidak menunjukan reaksi apa-apa. Min, janganlah medit ! Beritahulah kami hal yang sebenarnya. Biar kami juga betah di rumah seperti kamu. Karena rumah kami kan bercahaya dengan memberikan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian. Kalo sudah begitu. Kita semua kan bangga. Karena kampung kita akan menjadi kampung cahaya.”
“ Betul Min.” koor penduduk, githu riuh rendahnya.
“ Aku tidak bergurau saudaraku semuanya. Dialah membuatku jadi begini. Karena dia mengajariku tentang kesejukan, kemuliaan, ketenangan, dan kedamaian itu. Selain dia, aku tidak punya apa-apa lagi. Demi Allah kukatakan ini adalah kebenaran. Dia adalah kucing putih hoki. Jadi kalo kusarankan, sebaiknya kalian carilah kucing putih berbulu mulus seperti kucing ini, dalam mencarinya penuh ketelitian dan kesabaran. Jangan grasa-grusu, dan cepat puasan. Karena banyak kucing putih yang serupa tapi tak sama. Untuk itu betul-betullah mendapatkannya. Kalo sudah dapat. Belajarlah hal yang baik darinya. Insya Allah dengan perkenan-Nya apa yang kalian inginkan akan terwujud,” kata Amin menjelaskan dengan ramah dan tamah.
“ Eddddaaaannnnn !”
“ Gila Min itu namanya !”
“ Tidak gila saudaraku. Coba saja kalo kamu ingin. Hanya itu yang bisa kuberikan.”
Kerumunan itu pun bubar dengan bawaan mereka masing-masing. Ada yang bersungut-sungut kesal. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ada juga yang mempertimbangkan saran Amin. Mungkin juga ada benarnya. Selebihnya hanya diam. No comment.
Setelah melihat keberhasilan teman-temannya yang mengikuti saran Amin, akhirnya yang no comment dan bersungut-sungut juga mengikuti saran Amin. Hingga mereka berhasil semuanya. Ujungnya semua rumah di kampung itu penuh cahaya yang masing-masing memberikan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian bagi penghuninya. Selain itu, dalam kegelapan mereka nggak perlu penerangan lagi, karena rumah mereka sudah jadi penerangan.
~oOo~

Lacur bagi Amin. Hubungannya dengan kekasihnya, Sutera jadi renggang. Sebab Sutera sangat antipati dengan hewan kucing. Apalagi Sutera menyaksikan sendiri Amin memelihara kucing. Rasa muak mengumpal, walaupun di sisi lain dia masih sayang dengan Amin. Pernah dia meminta Amin untuk tidak memelihara kucing, namun Amin menolaknya dengan halus. Makin membuat Sutera tambah kesal dan kecewa.
Sebenarnya Sutera benci dengan hewan kucing ada alasannya. Hewan kucing baginya adalah hewan penyebab kemandulan. Karena faktor itulah, dia sangat menjauhi hewan kucing. Sebab kalo dia jadi dengan Amin, kemandulan menghampirinya disebabkan hewan kucing itu, apalah rasanya kehidupan ini. Hambar khan ?
Sekali lagi Sutera membujuk Amin untuk membuang kucingnya atas nama cinta. Namun Amin tetap berpendirian teguh. Nggak mau menuruti kehendak itu.
“ Tera, maaf ya aku tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk membuang kucing putih ini, karena dia sudah jadi sahabat sejatiku bahkan dia guruku.”
“ Apa ? Tidak salahkah telingaku mendengarnya !”
“ Tidak salah, Tera. Memang itulah kebenarannya.”
“ Kamu ini semakin aneh saja. Masach kucing bisa jadi gurumu. Lucu sekali. Apakah tidak ada lagi manusia yang pantas menjadi gurumu sehingga kamu berguru dengan kucing. Aku tak habis pikir, Min.”
“ Terserahlah apa katamu, Tera. Terpenting dia adalah tetap sahabat sejati sekaligus guru yang paling baik bagiku. Jadi maaf aku menolak keinginanmu.”
“ Jadi itukah akhir keputusanmu?”
“ Ya…..!” sahut Amin dengan mantap.
“ Kalo begithu hubungan kita tidak boleh dilanjutkan lagi…. Sampai disini aja!” kata Tera yang sudah tidak bisa membendung hatinya lagi, karena Amin tidak bisa dibujuknya lagi.
“ Terserahlah apa maumu. Kalo memang itu yang terbaik bagimu,” jawab Amin dengan ekpresi santai dan segar. Menangislah Sutera dengarkan kata keputusan itu. Kekecewaannya pun meruak lalu dibawanya lari bermaraton menempuh bukit dan lurah yang melandai serta gunung menjulang, menyampaikannya ke finish dalam penumpahan kekesalannya. Dialah yang menentukannya.
Bukan berarti dengan putus hubungan, maka rengganglah hubungan sahabat, tidak begitu ! Hubungan sahabat tetap berjalan dengan baik.
Bertemu dengan Sutera, Amin tetap berbaikan. Amin masih senang pula menjemput Sutera di rumah sakit. Karena Sutera khan perawat man. Walaupun Sutera menolak diajak pulang bareng. Amin tidak kecewa. Dia tetap seperti biasa dan apa adanya. Pertengkaran dan perselisihan sebelumnya dianggapnya adalah kesalahpahaman saja. Bisa diperbaiki.
Ujungnya Sutera mengerti juga kesalahan yang dilakukannya, setelah dinasihati ayahnya dengan arif dan bijaksana bahwa Amin tidak bersalah, dialah yang terlalu egois. Dia akan berusaha menyukai hal yang dibencinya, yang disukai pasangannya. Dia pun ingin rujuk kembali dengan Amin yang terlalu baik baginya.
Sore yang penuh gemerlap keindahan itu di hamparan lautan teduh, Sutera dengan suka rela diajak Amin pulang bareng. Amin pun merasa senang. Mobil mereka menderu menuju daerah penuh beribu-ribu kumpulan keranjang bunga bertaburan harum kelopak mentari. Tempat mereka mengukir memori indah di masa lalu. Di situ juga mereka dipertemukan hingga bisa seintim begini. Mereka kesana untuk menelan lagi memori baru dari memori lama yang masih tersisa di sejuknya embun menempel.

Pontianak, Juli 2004
~~~&&&~~~


(Dipublikasikan di Harian Pontianak Post, Minggu, 22 Mei 2005)

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...