Oleh : M. Saifun salakim
“Kemana lagi majalah itu?” omel Fikri.
Ia menggerutu. Karena majalah yang ingin dicarinya belum ditemukannya. Padahal sudah semua majalahnya dalam lemari diubeknya. Sehingga majalah-majalah itu meramaikan lantai keramik. Amburadul.
Padahal saya menyimpannya di sini. Tak mungkinlah majalah itu dilarikan hantu. Hantu yang mana suka dengan majalah. Hantu lebih suka dengan manusia. Kalaupun ada, hanya hantu suka baca saja.
Keringat Fikri membanjiri sungai tubuh. Deras.
“Kamu mencari majalah apaan, Dik?” tanya kakaknya. Barusan muncul di depan pintu kamar adiknya.
“Majalah Annida terbitan nomor 19 bulan Juli, Kak. Kemana ya? Kakak pernah melihatnya?” jawab Fikri sekenanya. Ia terus saja mencari majalah itu.
“Pernah, Dik!”
Seketika Fikri menghentikan pekerjaannya. Ia memperhatikan wajah kakaknya.
“Kalau kakak pernah melihatnya, dimana?”
“Maaf ya, Dik. Majalahmu itu dipinjam oleh teman kakak kemarin sore,” jelas kakaknya.
“Aduh, kakak. Bagaimana kakak nih? Mengapa kakak pinjamkan?” Fikri menyesalkan tindakan kakaknya.
“Memangnya ada apa dengan majalah itu, Dik. Begitu pentingnya sehingga tak boleh dipinjamkan pada orang lain?” ujar kakaknya ingin tahu.
“Ada hal penting yang sangat berharga terdapat dalam majalah itu, Kak!”
“Hal penting apaan, Dik?”
“Ada saja, Kak.”
“Kok dengan kakak sendiri main rahasiaan?”
“Bukan begitu, Kak. Tapi saya tak ingin menyalahi janji.”
“Janji apaan?” uber kakaknya terus. Karena apa yang diutarakan adiknya menimbulkan penasaran. Selama inikan adiknya selalu berkata jujur padanya. Bahkan pada semua orang.
“Janji yang berupa sumpah, Kak. Bahwa saya tak boleh memberitahukan rahasia dalam majalah ini pada orang lain. Walaupun ia keluarga saya.”
“Apa?” kejut kakaknya.
“Sebegitu rahasiakah hal itu?” sambung kakaknya.
“Ya, Kak. Saya harap kakak dapat mengerti adik mengenai hal ini. Sekarang dimana alamat teman kakak itu. Antarkan saya ke sana. Saya harus dapat menyelamatkan rahasia itu sebelum diketahui orang lain. Nanti saya dikatakan menyalahi sumpah,” pinta Fikri dengan memohon.
Kakaknya berpikir sebentar. Mempertimbangkannya.
“Baiklah, Dik,” jawab kakaknya mengalah.
“Mari Dik, saya antarkan kamu ke alamat teman kakak yang telah meminjam Annidamu itu,” lanjut kakaknya.
~oOo~
Fikri mendapatkan Annida itu dengan pengalaman yang unik dan terkesan aneh. Kala itu ia baru saja selesai mengadakan majelis taklim. Teman-temannya sudah pada bubaran. Hanya tinggal ia saja sendirian di masjid. Sebab ia sekalian saja menunggu salat magrib. Karena salat magribnya kurang tiga puluh menit saja. Tak begitu lamakan menunggunya. Sambil menunggu waktu yang kurang tiga puluh menit untuk melaksanakan salat magrib Fikri menggunakannya untuk berzikir. Khusuknya ia berzikir. Sehingga tak mempedulikan alam sekitarnya.
Saat kegilaan zikirnya mencapai puncak untuk mencumbu kasihnya yang tak nampak. Ia dikejutkan oleh ucapan salam yang begitu merdunya. Zikirnya jadi hambar. Pudar. Nyaris ia mengomel dengan orang yang telah memudarkan konsentrasi zikirnya. Namun hal itu diurungkannya. Tak baik ia marah dengan orang lain. Lebih baik ia berbuat sabar. Karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat sabar.
Dijawabnya salam tamu yang tak diundangnya itu. Dipersilakannya tamu itu duduk. Kemudian ditanyakannya apa keperluan tamu itu yang telah membuyarkan konsentrasi zikir tingkat tingginya.
“Saya ingin bertukar amal dengan anak?” kata tamu itu mengutarakan maksudnya.
Tamunya adalah seorang bapak tua yang memiliki badan yang masih tegap, belum keropos.
Bertukar amal. Bertukar amal, desis bibirnya bergetar. Apa maksud bapak tua ini dengan bertukar amal. Lebih baik saya tanyakan maksud ucapannya ini.
“Bertukar amal bagaimana Pak? Saya tak mengerti maksud bapak. Coba bapak jelaskan maksudnya,” pinta saya.
“Anak memberikan amal pada saya dan saya memberikan amal pada anak,” jelasnya dengan ramahnya.
“Begitu maksudnya!” angguk saya tanda mengerti.
“Amal apa yang bisa bapak berikan pada saya dan amal apa yang bisa saya berikan pada bapak?” tantang saya sekaligus ingin mengetahui amal yang diinginkan orang tua itu dari saya.
Bapak tua itu tersenyum. Kelihatan deretan giginya masih utuh dan putih cemerlang. Putih pepsodent.
“Amal yang saya berikan pada anak yaitu amal yang tidak akan habis sepanjang hayat. Kalau kita terus-menerus membaca dan mengamalkannya. Majalah Annida ini,” tunjuk pak tua itu pada saya.
“Majalah Annida?” ejek saya. Meremehkannya.
“Di rumah saya majalah Annida seperti itu paling banyak, Pak!” kata saya menjatuhkannya. Biar dia kalah telak. Dua kosong.
“Tapi, Nak. Jangan melihat suatu barang dari segi luarnya saja, tetapi lihat juga bagian dalamnya. Itu baru penilaian yang benar. Benar Majalah Annida seperti ini banyak di rumah anak. Tapi Nak, Majalah Annida yang bapak berikan ini bukan Majalah Annida sembarangan. Majalah Annida istimewa.”
“Apa istimewanya? Saya lihat biasa-biasa saja. Tidak jauh beda dengan majalah annida kebanyakan. Bapak jangan mengelabui saya. Pak, kalau memang majalah annida bapak punya keistimewaan. Coba bapak tunjukan. Dimana letak keistimewaannya?” tegas saya sembari meneliti Majalah Annida yang dipegang bapak tua itu secara teliti.
“Keistimewaannya tidak bisa bapak tunjukan sekarang pada anak. Maaf ya, Nak. Cuma saya hanya memberikan sedikit penjelasan saja tentang keistimewaannya. Keistimewaan Majalah Annida ini bukan berada di luarnya tetapi ada di dalam isinya terutama di halaman terakhirnya. Majalah Annida ini hanya bisa dibuka bila Majalah Annida ini diletakan di atas barang kebeningan atau kejernihan. Karena barang kebeningan atau kejernihan itu dapat menampilkan wajah asli barang tersebut dengan nyata dan jelas. Saya tidak bisa memaksa anak untuk percaya pada ucapan saya. Semuanya saya kembalikan pada keputusan anak untuk mempertimbangkannya.”
Sebentar saya berpikir mempertimbangkan maksudnya. Tidak salahnya saya mencoba, kata gerak hati saya berbicara. Mencoba sesuatukan tidak bayar. Malahan akan dapat kebaikan kalau yang kita coba adalah sesuatu yang menghantarkan kita menuju pada kebaikan.
“Bagaimana, Nak? Mau tidak kita bertukar amal?” tanyanya untuk terakhir kali. Senyumnya sejuk menghangati perasaan hati saya. Mendamaikan perasaan saya.
“Kalau saya mau. Kira-kira amal apa yang bisa saya berikan untuk bapak?”
“Amal yang berupa salat sunah dua rakaat yang khusuk dan selesai salat anak harus mendoakan saya agar dapat menjadi saudara kandung hatimu.”
“Apa?” kaget saya mendengar permintaannya yang terkesan aneh.
“Itu kalau anak setuju!” pertegas bapak tua itu lemah lembut dan berwibawa. Saya perhatikan wajah bapak tua itu sesaat. Ia juga memperhatikan saya dengan tidak melupakan menunjukan wajah keramahannya.
“Bagaimana, Nak? Setuju?”
“Insya allah Pak, saya setuju,” kata saya memantapkan hati untuk melakukan apa yang diminta bapak tua itu. Sebab saya penasaran dengan halaman terakhir Majalah Annida yang dikatakannya. Apa isinya? Sehingga begitu istimewanya. Bapak tua itu tetap tersenyum. Senyuman yang tidak pupus dari bibirnya. Seperti tidak pupusnya sinar matahari dari pemberi sinar tersebut.
“Alhamdulillah Nak, kalau anak sudah setuju. Tapi bapak menginginkan bahwa sebelumnya kamu harus berjanji dulu tak boleh memberitahukan pertemuan kita ini kepada siapapun dan merahasiakan halaman terakhir Majalah Annida itu untuk selama-lamanya. Sekiranya halaman terakhir Majalah Annida itu sudah kamu baca. Kalau orang lain mengetahui sendiri halaman terakhir itu, tidak jadi masalah,” sarankannya.
“Ya, Pak. Saya akan berjanji dan bersumpah demi Allah untuk merahasikan pertemuan ini dan isi halaman terakhir Majalah Annida itu.”
“Bagus Nak, kalau begitu. Silakan anak melakukan amal yang saya minta,” anjur bapak tua itu.
Saya mulai melakukan salat sunah rakaat dengan khusuknya. Selanjutnya saya berdoa pada Allah sesuai dengan permintaan bapak tua itu. Seterusnya saya mulai menagih janjinya. Saya tak sadar bahwa bapak tua itu telah menghilag. Saya mencarinya ke sana ke mari. Namun tak pernah saya temukan. Saya hanya menemukan Majalah Annida sebagai penukar amal kami. Kapan bapak tua itu menghilang ya?
Bapak tua yang aneh, gerung batin saya sembari tangan saya mengambil Majalah Annida itu yang tergeletak indah di lantai keramik masjid.
~oOo~
Desta kebingungan. Majalah Annida yang dipinjamnya dari Saleha, hilang.
Dimana ya saya menyimpannya? Ia coba-coba mengingatnya. Kadang-kadang ia memijit keningnya agar ia mampu mengingat dimana ia telah menyimpan Majalah Annida yang dipinjamnya dari Saleha. Tapi selalu menemukan jalan kebuntuan.
Aduh bisa gawat nih. Alasan apa yang dapat saya berikan pada Saleha bahwa Majalah Annidanya hilang. Kecurian? Ia tidak akan percaya. Masak majalah saja bisa dicuri orang lain. Kalau harta kekayaan maulah orang mencurinya. Aduh pusing saya. Ia akan marah pada saya.
Kamu memang teman yang tak bertanggung jawab. Masak meminjam barang orang lain sampai hilang. Keterlaluan. Tidak menjaga amanah sekali kamu ini, sangar Saleha menatap saya. Itu yang dapat dibayangkan Desta saat ini.
Saya tak mau dimarahi olehnya apalagi nanti dibilangnya saya teman tak bertanggung jawab. Lebih baik saya ganti saja majalahnya. Biarlah untuk semua ini saya mengorbankan tabungan saya…
Inisiatif itu diambil Desta. Ia segera mengambil tabungan keramiknya. Tabungan keramiknya itu dipecahkannya. Bertaburanlah uang recehan memenuhi lantai kamarnya. Ia mulai menghitungnya. Berapa banyak tabungannya itu. Jumlahnya sebelas ribu rupiah.
“Alhamddulillah, cukup juga untuk membeli Majalah Annidanya,” kata Desta girang bercampur sedih. Karena ia harus mengeluarkan uang dari tabungannya. Uang yang ditabungnya untuk kuliahnya nanti.
Sepulang dari sekolah ia mengajak Vio untuk menemaninya mencari Majalah Annida edisi 19 bulan Juli. Puluhan toko majalah sudah mereka singgahi. Tetapi Majalah Annida yang ingin dicari Desta belum ditemukan. Sudah habis terjual.
“Kamu nih aneh, Des. Kok mencari Majalah Annida terbitan lama. Mana ada. Coba mencari Majalah Annida tuh terbitan yang baru. Pasti dijamin ada. Sebenarnya ada keistimewaan apa sih Des dalam Majalah Annida edisi 19 bulan Juli itu? Sehingga kamu antusias sekali mencarinya,” tegur Vio kelelahan. Itu terlihat dari lelehan keringatnya yang jatuh mengelus mukanya. Dibersihkannya lelehan keringat itu dengan telapak tangan mulusnya.
“Sudah nasib sayalah tak menemukannya!” muram Desta yang duduk di halaman parkir Toko Majalah Media, tak jauh dari Vio. Toko majalah terakhir yang disinggahinya.
“Sudah nasib apaan sih, Des?” tanya Vio.
“Bakalan saya akan dimarahi Saleha habis-habisan!”
“Kok bisa begitu. Memangnya ada kaitannya antara kamu mencari Majalah Annida edisi 19 bulan Juli dengan Saleha?”
“Yalah, Vio. Majalah Annidanya Saleha saya hilangkan. Agar tidak dimarahinya saya mencari majalah yang sama untuk mengganti majalah annidanya yang saya hilangkan.”
“Oh, begitu sebenarnya masalahmu. Sehingga membuat kamu antusias sekali mendapatkan Majalah Annida edisi 19 Bulan Juli. Rupanya kamu ingin mengganti Majalah Annida Saleha yang kamu hilangkan. Sebagai sahabatmu, saya akan membantumu sekuat tenaga saya,” kuatkan Vio.
Sejenak kami terdiam. Memikirkan jalan terbaik untuk mencari jalan keluar penyelesaian masalah ini agar tidak menimbulkan kemarahan Saleha atas kehilangan majalahnya.
“Hore Des…………..,” teriak Vio seketika.
“Kamu kenapa Vio. Kesambet ya?” tanya Desta heran.
“Saya tidak kesambet Des, tapi saya menemukan jalan keluar penyelesaian masalahmu. Saya baru ingat Des, bahwa saya mempunyai teman yang namanya Surya. Ia senang sekali mengoleksi Majalah apa saja dan Majalah Annida. Tiap edisi ia tidak pernah ketinggalan bulannya. Kamu berdoa saja. Mudah-mudahan Majalah Annida edisi 19 bulan Juli itu masih dimilikinya. Kalau ia memilikinya, saya akan pintakan majalah itu untukmu. Sebelum terlambat lebih baik kita ke sana!” ajak Vio dengan senangnya. Karena ia bisa membantu temannya. Desta mengiyakan saja. Mengikuti langkah Vio.
~oOo~
Saya dan kakak disambut Desta dengan ramahnya. Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Kami segera duduk dengan manisnya. Selanjutnya Desta menawarkan sesuatu.
“Mau minum apa, Saleha dan Dik Fikri?”
“Tak usah repot-repot, Des. Saya hanya sebentar saja datang ke sini. Saya hanya mengantarkan adik saya saja. Maaf ya Des, adik saya ingin mengambil Majalah Annida yang saya pinjamkan dengan kamu kemarin,” kata Saleha tak enak hati.
Ia takut Desta menyalahartikan ucapannya. Karena baru beberapa hari saja majalah itu dipinjam Desta, sudah mau diambilnya lagi. Seakan ia tak percaya dengan temannya.
“Tak perlu pakai basa-basi maaf segala, Saleha. Sebenarnya sayalah yang harus minta maaf dengan kalian. Karena saya meminjam barang orang lain lupa mengembalikannya.”
“Ah, jangan begitu Des!”
“Tidak apa-apa Saleha. Santai saja. Sebentar ya, saya akan ambilkan majalah itu,” kata Desta berlalu. Sebentar ia muncul kembali membawa Majalah Annida yang dipinjamnya dari Saleha.
“Ini Saleha barangnya. Maaf ya lupa mengembalikannya. Sampai-sampai tuan pemiliknya yang mengambilnya.”
Majalah Annida itu diletakan Desta di depan kakak saya. Saya langsung menyambarnya. Segera memeriksan isinya. Tapi saya tak menemukan apa yang saya cari. Berarti barang ini bukan milik saya. Kakak Desta sudah menukarnya. Apa maksudnya? Apakah ia telah menemukan tulisan terakhir dari Majalah Annida itu. Ah gawat.
“Maaf ya Kak Des, Majalah Annida ini bukan milik saya,” kata saya polos dan jujur.
“Apa? Bukan Majalah Annidamu? Jadi…,” kelu bibir Desta berucap.
“Apa kamu tak salah, Dik Fikri. Disitukan jelas tertulis namamu. Fikrikan?” lanjut Desta.
“Betul, Kak Des. Di Majalah Annida itu memang tertulis nama saya, tetapi tulisan itu sudah dipalsukan.”
“Dik…?” seru kakak saya.
Desta makin tambah kaget. Badannya menjadi lemas seketika. Hatinya mulai bertanya-tanya. Bagaimana Fikri tahu bahwa Majalah Annida itu bukan Majalah Annidanya? Darimana Fikri tahu bahwa nama yang tertulis di Majalah Annida itu adalah palsu? Terbongkarlah rahasia saya? Marahkah Saleha dengan saya? Karena saya telah melakukan kecurangan ini. Tapi ini saya lakukan dengan tak membekal maksud apa-apa. Apalagi membohonginya. Lebih baik saya berterus terang saja padanya.
Suara azan membuncah rasa dari Masjid Al-Shodiqin.
“Dik dan Des, mari kita laksanakan salat magrib dulu. Masalah Majalah Annida itu nanti kita lanjutkan setelah selesai salat,” kata kakak saya dingin menyejuki hati kami masing-masing.
“Ya, Kak. Tapi Majalah Annida saya harus dikembalikan pada saya nantinya,” jawab saya.
Desta tak mengiyakan. Ia hanya melirik kakak saya dengan perasaan tak enak. Perasaannya masih lemas. Karena ia masih merasa bersalah telah menghilangkan Majalah Annida adik saya.
“Ya, Dik! Mari Des, jangan lesu begitu,” ajak kakak saya membimbing tangan Desta yang masih lesu menuju Masjid Al-Shodiqin.
Selesai salat magrib. Desta masih tafakur. Ia masih berdoa meminta kepada Allah untuk mengatakan kebenaran dan tegar menerima cadas-cadas dari kekhilafannya. Sungai matanya menimbulkan banjir bandang. Menggenang. Saya harus tegar. Banjir bandang itu dihilangkannya seketika. Desta segera melangkah mantap menghampiri kami yang sudah lama menunggunya di halaman pelataran masjid sambil duduk-duduk santai.
“Maaf ya lama menunggunya,” kata Desta pada kami.
“Taka apa-apa kok, Des!” jawab kakak saya ramahnya.
“Saleha dan Fikri ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan padamu. Saleha dan Fikri maafkan saya karena telah…”
“Permisi, Mbak,” kata seorang pemuda berpakaian piyama putih dan di kepalanya masih bertengger kopiah. Kedatangannya telah memutuskan pembicaraan Desta yang ingin minta maaf pada kami karena telah menghilangkan Majalah Annida yang dipinjamnya.
“Ada apa, Bang?” jawab Desta.
“Kenalkan nama saya Shidiq, penjaga masjid ini. Seminggu yang lalu Mbak…” kata Shidiq.
“Mbak Desta,” potong Desta pada pembicaraan Shidiq sekaligus memperkenalkan namanya pada pemuda itu.
“Mbak Desta telah meninggalkan sebuah Majalah Annida di masjid ini. Waktu itu saya ingin mengembalikannya. Tapi keburu Mbak Desta sudah jauh berjalan. Akhirnya Majalah Annida itu saya simpan saja. Nantinya Majalah Annida itu akan saya kembalikan pada Mbak bila berjumpa lagi,” lanjut Shidiq.
“Alhamdulillah, terima kasih Allah atas pertolongan-Mu yang tak terduga-duga ini,” kata Desta melakukan sujud syukur. Karena ia sudah terlepas dari masalah yang dihadapinya. Saya juga menjadi girang karena Majalah Annidanya akan kembali pada saya.
“Sekarang dimana Majalah Annida saya itu?” tanya Desta bergairah lagi. Ia sudah menemukan semangatnya yang hilang tadi.
“Dengan ustad saya, Mbak Desta,” jawab Shidiq.
“Kok Majalah Annida saya itu sampai ke tangan ustad anda? Bagaimana ceritanya?”
“Maafkan saya, Mbak Desta. Saya sudah teledor.”
“Teledor bagaimana, Shidiq?”
“Majalah Annida Mbak, saya letakkan di atas meja bening podium ustad saya. Ketika itu saya sedang membersihkan lantai masjid. Saya lupa mengambil lagi Majalah Annida itu. Seperti biasanya ustad saya menuju podium untuk memberikan ceramah dan pelajaran agamanya pada anak muridnya. Secara tidak langsung ustad saya melihat majalah itu. Entah kenapa ustad saya tertarik membaca Majalah Annida itu sampai halaman terakhirnya. Di halaman terakhirnya, ustad saya menemukan sebuah tulisan yang menarik hatinya. Tulisan itu mengandung nuansa intensitas makna sangat tinggi. Sehingga ustad saya berpikir beberapa kali untuk mengkajinya. Menemukan artinya. Namun ustad saya tak pernah mendapatkan artinya. Hal itu membuat ustad saya semakin penasaran untuk mengetahui makna tulisan itu. Lalu ustad saya melihat nama pemilik Majalah Annida itu, Fikri. Seterusnya ustad saya menyuruh saya menanyakan nama Fikri dengan Mbak Desta. Karena beliau ingin mengetahui makna tulisan itu dari Fikri. Pasti Mbak Desta tahukan dengan Fikri?” jelaskan Shidiq panjang lebar.
“Tahulah, Bang. Inilah Fikri pemilik Majalah Annida itu,” tunjuk Desta pada saya.
“Dia Fikri?” ulang Shidiq tak percaya dengan penglihatannya.
Kok orangnya muda sekali, gumam hati Shidiq.
“Ya Bang, sayalah Fikri pemilik Majalah Annida itu,” sahut saya mantap.
“Kalau Anda memang orangnya. Mari Fikri, kita temui ustad saya,” ajak Shidiq pada saya.
“Kaminya tidak diajak ya, Shidiq,” seru Desta dan kakak saya.
“Ya, saya hampir lupa. Sudahlah kalau begitu, sekalian saja kalian mengikuti kami menuju ustad saya,” sahut Shidiq lagi.
“Tunggu dulu, Bang?” cegah saya seketika.
“Ada apalagi, Fikri?” kata Shidiq berpaling ke arah saya.
“Abang tahu tidak isi tulisan halaman terakhir Majalah Annida itu?”
“Tahulah, Fikri!”
“Apa isinya, Bang?”
“Saya adalah ketulusan. Ketulusan adalah cinta. Cinta adalah Allah.”
Balai Berkuak, 10 Agustus 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar