Kamis, 26 Juli 2007

A y a m L i a r

Oleh : M. Saifun salakim

Rintik rinai-rinai dari langit tajam membeset hari seperti pisau cukur yang meranggasi bulu-bulu halus di wajah. Rinai-rinai itu juga merobek kaca mobil yang kukendarai. Menimbulkan dentringan yang begitu nyaring seperti pecahan-pecahan barang pecah belah. Saat itu mobilku sedang mengerang dengan lesatan kilatnya masuk kandang garasi. Aku keluar dari mobil dengan wajah limau nipis. Masam.
Aku melangkah lebar-lebar memasuki rumah. Tas hitam yang kujinjing di tangan kanan, kulemparkan begitu saja dengan wajah kesal. Menimbulkan bunyi yang sedikit mengundang kehadiran orang rumah untuk menjengukku. Mulutku menggerutu sambil melepaskan dasi yang terlalu kencang mengikat leherku. Aku merasa tercekik.
“Ada apa lagi sih, Pa? Kok wajahnya begitu asam begitu. Biasanya papi tak begini. Ada masalah serius di kantor ya?” seru istriku yang muncul dari tangga atas rumah. Aku tak menyahutinya. Aku tetap saja melepaskan dasi sialan itu yang telah menghambat pernapasanku. Tercekik.
“Biar mami bantu ya melepaskan dasinya,” kata istriku perhatian.
Ia mulai melepaskan dasiku dengan cekatannya. Aku mulai dapat bernapas lega.
“Bangsat sialan. Bikin kerjaanku semakin rumit saja!” makiku.
“Papi memaki siapa? Papi memaki mami ya?” tanya istriku.
“Tidak, Mi. Papi tidak memaki mami, tetapi papi memaki ayam-ayam liar di kantor. Karena ayam-ayam liar itu telah membuat papi kesal. Bagaimana tidak kesal Mi, Semua dokumen papi diacak-acaknya tak beraturan dan tak berbentuk. Berserakan semuanya.”
“Kok bisa ada ayam-ayam liar memasuki kantor papi. Aneh sekali?”
“Itulah, Mi. Papi juga tak habis pikir. Papi juga bingung. Bisanya ayam-ayam liar itu memasuki kantor papi yang dijaga ketat oleh peralatan canggih dan penjaga yang tak pernah beranjak dari tempat tugasnya. Papi makin tambah berpikir mendalam. Ayam-ayam liar itu datang darimana? Ayam siapa? Masuk pakai apa? Kapan ayam-ayam liar itu mengobrak-abrik semua dokumen kantor? Memang ayam sialan. Kalau ketemuku nanti ayam-ayam liar itu akan kucincang sampai lumat. Biar dia tahu rasa.”
Aku melepaskan kepenatanku sejenak. Penat tubuh. Penat berpikir. Aku duduk di sofa sambil menyandarkan tubuhku agar terjadinya perelaksasian. Mataku terus menerawang jauh. Memikirkan ayam-ayam liar itu dan mencari cara untuk dapat menangkap ayam-ayam liar itu. Karena aku masih geram dengannya. Ayam siapa? Datang darimana?
“Papi kelihatannya sangat letih. Istirahatlah dulu. Nanti setelah hilang letihnya papi makan. Mami menyiapkan makanannya dulu.”
Istriku beranjak pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan itu.
“Boleh, Mi. Kebetulan papi juga sudah lapar. Makanan apa hari ini, Mi?”
“Ayam goreng kesukaan papi, tumis bayam, sup sapi, lalap sawi keriting, dan sambal colek,” jawabku istriku berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.
Ayam lagi. Ayam lagi. Aku mulai muak mendengar nama itu sekarang. Sejak bangsanya ayam-ayam mengobrak-abrik dokumen penting kantorku. Aku masih sakit hati. Walau dulu sejujurnya kukatakan pada kalian bahwa ayam goreng adalah kesukaanku. Bila tak ada menu makanan ayam goreng, aku selalu hambar. Tapi sekarang tidak lagi. Tidak lagi. Malahan aku akan berusaha menghapus nama bangsat itu dari memoriku.
~oOo~

Aku mengantor lagi. Aku memasuki ruangan kerjaku. Ternyata semua dokumen pentingku berantakan. Sama seperti hari-hari lalu. Semakin membuatku tambah geram karena dokumen pentingku berkoyakan. Ceceran koyakannya menghampar di ruanganku seperti ceceran taik ayam itu.
Seakan ia mengejekku, ini adalah ulahku. Kamu telah jadi pencundangku. Ruang kerjaku berantakan seperti ladang sampah saja. Keparat!
“Kina!” pekikku sekencang-kencangnya. Memanggil nama sekretarisku. Kina datang dengan napas ngos-ngosan seperti orang yang habis melakukan lari jarak jauh.
“A...da... ada apa, Pak? Apa yang dapatku bantu?”
“Kamu ini bagaimana. Lihat ruangan ini. Berantakan semuanya. Akukan sudah bilang padamu. Sebelum aku datang ruangan kerja sudah rapi. Ini bukannya rapi malahan ladang sampah saja. Mengapa semuanya jadi begini? Kamu belum merapikannya ya?” balik aku yang bertanya dan melototinya.
“Maaf Pak, aku tak tahu mengapa jadi begini ruangan bapak. Pak, tugas membersihkan ruangankan adalah tugas cleaning servis. Tapi masalah merapikan dokumen bapak aku minta maaf belum sempat merapikannya. Aku saja barusan datang, Pak. Mendengar bapak memanggilku, aku langsung bergegas menemui bapak. Aku tak tahu apa yang telah terjadi di ruangan ini, Pak!”
“Sialan. Berantakan semuanya. Keparat. Mengapa jadi kebobolan begini,” gerutuku. Kina hanya tertunduk diam.
“Begini saja, Kina. Kalau kamu memang tidak tahu kejadian di ruangan kerjaku ini. Sekarang kamu panggil Parji ke sini. Aku ingin mengetahuinya, apakah ia menjaga gedung ini atau tidak? Sampai ruangan ini bisa diacak-acak ayam-ayam liar sebegitu parahnya,” kataku.
“Baik, Pak!” sahut Kina berlalu pergi. Kemudian ia muncul lagi bersama Parji.
“Ji, malam tadi kamu jaga gedung ini atau ngorok?” mengintrogasinya.
“Jaga, Pak!”
“Kalau kamu jaga, mengapa sampai kebablasan begini. Mengapa ayam-ayam liar itu dapat memporakporandakan ruang kerjaku?”
“Aku tak tahu mengenai hal itu, Pak.”
“Tidak tahu. Sialan. Mudahnya kamu mengucapkan kata seperti itu. Kamu pernah tidak memeriksa kantor ini untuk memastikan keamanannya?”
“Tidak pernah, Pak.”
“Mengapa tidak pernah?”
“Sebab suasananya aman-aman saja. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan ketika aku meninggalkan kantor ini.”
“Seharusnya sebelum pulang kamu harus memeriksa ruangan ini untuk memastikan keamanannya. Apakah sudah betul-betul aman atau sebaliknya. Kalau sudah pasti aman barulah kamu pulang.”
“Maaf Pak, aku khilaf,” kata Parji merasa bersalah.
“Sialan. Kurang ajar sekali. Ayam-ayam liar itu semakin liar saja. Ini tidak boleh ditolerir lagi. Sekali-kali kita akan mengadakan penggeledahan. Dari penggeledahan itu mudah-mudahan saja ada ayam-ayam liar yang tertangkap. Sekarang kita abaikan dulu mengurusi ayam-ayam liar itu. Sekarang lebih baik mengurusi ruangan kantorku yang berantakan. Sekarang kalian kemasi ruangan kerjaku ini sampai bersih dan rapi,” perintahku pada Kina dan Parji.
“Baik, Pak,” sahut Kina dan Parji berbarengan.
Mereka mulai bekerja membereskan ruangan kerjaku yang amburadul. Dokumen pentingku yang berserakan mereka tata lagi ke raknya. Kotoran ayam-ayam liar yang berceceran itu mereka bersihkan. Sehingga ruangan kerjaku kembali bersih dan rapi seperti sedia kala.

~oOo~

Hari itu juga tak kelupaan kukerahkan semua pengawai kantorku untuk membereskan ruangan kerjanya masing-masing, yang sama amburadulnya dengan ruangan kerjaku. Telah diporakporandakan ayam-ayam liar yang tak bertanggung jawab. Sekaligus hari ini juga diadakan penggeledahan. Mencari pelakunya yang mungkin masih tertinggal karena kelelahan. Siapa tahu saja dapat ditemukan.
Proses penggeledahan aku lakukan bersama semua pegawai kantorku. Penggeledahan dilakukan seteliti mungkin. Setiap suduh-sudut kantor dan benda-benda berlubang diperiksa. Pemeriksaaan dilakukan dari lemari, lubang angin, kolong meja, tong sampah, selokan, lubang WC, rak penyimpanan buku dan dokumen, lubang kecil di celah kipas angin sampai lubang kayu yang teramat halus. Cuma lubang di tubuh dan lubang kentut saja yang tak ditelusuri.
Penggeledahan hari ini membuahkan hasil. Tertangkaplah lima ekor ayam-ayam liar yang tertidur pulas karena kelelahan. Mereka tidak tahu bakal ditemukan oleh pegawai kantorku. Ayam-ayam liar yang tertangkap itu terlihat masih muda-muda. Jambulnya menantang ke atas dan indah. Menjolok langit garang. Matanya masih segar dan bening. Tulang-tulang tubuhnya masih kokoh. Postur tubuhnya masih eksentrik.
Sungguh malang nasib kelima ekor ayam-ayam liar itu. Dengan tak pandang bulu, ayam-ayam liar itu kusuruh jagal. Selain itu aku menyuruh semua pegawaiku untuk memasak daging ayam-ayam liar itu dalam kuali besar. Biar sedap dan nikmat untuk dinikmati. Agar masakan itu menjadi nikmat ditambahlah bumbu penyedap masakan sehingga bau khas kenikmatannya merangsang indera semua pegawai kantorku untuk menikmati masakan itu.
Semua pegawai kantorku segera berpesta pora menyantap daging ayam-ayam liar itu yang segar dan empuk. Cuma aku sendiri yang tak makan. Karena perutku telah kenyang dan perasaanku puas melihat pengacau kantorku sudah mati.
Aku akan bekerja dengan tenang lagi, pikirku.
Ternyata aku keliru. Kantorku lebih parah lagi diporakporandakannya di hari berikutnya. Seakan ayam-ayam liar itu tak pernah habis habitatnya. Sepuluh unit komputer hilang raib, tujuh buah rak penyimpanan buku dan dokumen penting patah-mematah, dua dokumen pentingku sirna, dan masih banyak lagi barang-barang kantorku yang sirna ditelannya. Membuat sakit hatiku menjadi-jadi dan menggumpal ketal dalam hatiku. Melahirkan dendam kesumat yang menghebat. Hingga aku tak segan-segan mengeluarkan keputusan yang berisi perintah kepada semua pegawaiku. Barang siapa saja yang dapat menemukan ayam-ayam harus dibunuh. Baik ayam-ayam liar maupun ayam-ayam yang jinak. Dagingnya tak boleh dimakan. Tubuh ayam-ayam itu harus dicincang-cincang sampai lumat, tak berbentuk. Semua pegawaiku menerima keputusanku itu. Karena mereka juga sakit hati terhadap ayam-ayam itu. Ayam-ayam itu telah membuat pekerjaan mereka terbengkalai dan ruangan kerja mereka sering berantakan seperti ladang sampah. Selain itu mereka sering jadi sasaran kemarahanku. Apa mereka tak kesal.
Untuk tindakan pencegahan selanjutnya. Kantorku, kupagar dengan besi runcing setinggi dua koma lima meter. Dikawat itu juga diberi kawat berduri. Jika sekiranya ayam-ayam liar itu ingin menerobos masuk kantorku maka mereka akan mati dulu dikait kawat berduri. Selain itu ruangan kerjaku dipasang kaca anti peluru setebal lima sentimeter. Ketebalan kaca yang luar biasa. Senjata apapun tak bisa menembusnya. Di pintu ruangan kerjaku dipasang sebuah alat otomatis. Alat otomatis yang dipasang itu berkaitan dengan sebuah remote control. Alat itu akan bekerja jika mendapatkan sinyal dari remote control. Berarti pintu ruangan kerjaku akan terbuka jika menggunakan remote control. Tanpa alat itu maka ruangan kerjaku tak akan bisa dibuka.
~oOo~

Ultimatum pembunuhan terhadap ayam-ayam dan membuang jauh-jauh hal yang berkaitan dengan ayam-ayam, juga berlaku di rumah dan lingkungan sekitar rumahku. Ultimatumku menimbulkan protes keras dari istri dan anakku.
“Papi tak boleh berbuat begitu. Otoriter,” sanggah Vina, anakku.
“Biarkan saja. Aku tak peduli. Karena aku tak ingin jatuh miskin. Gembel. Orang gembel selalu jadi bahan hinaan. Aku tak mau. Kalian mau?” bentakku. Anakku terdiam. Apalagi istriku lebih diam lagi.
“Tapi, Pi. Apa kaitan jatuh miskin dengan pelarangan ini?”
“Kalian ini tolol semuanya. Masak tidak tahu kaitannya. Ini papi beritahukan. Ayam-ayam pengacau itu telah menggerogoti kekayaan yang ada di kantorku. Kalau dibiarkan saja perbuatan ayam-ayam itu bisa-bisa perusahaan kita gulung tikar. Karena kekayaan kantor kita ludes diambil ayam-ayam itu. Selain itu papi khawatir perbuatan ayam-ayam itu juga menjalar ke rumah kita. Sebelum ayam-ayam itu mengganyang kekayaan kita yang ada di rumah juga maka papi keluarkan ultimatum ini. Karena kalau tidak dilakukan begitu. Bisa ludes kekayaan kita diganyangnya. Kalau sudah terjadi seperti itu. Kita mau jadi apa? Kalau tak jadi gembel namanya. Jatuh miskin. Ini semua papi lakukan demi kebahagiaan kita semua. Paham kalian!”
“Paham, Pak. Tapi maaf, Pak. Aku tak sependapat dengan bapak dan lagian aku tak mau menuruti kehendak bapak. Karena tidak semua ayam-ayam jadi pengacau. Masih ada ayam-ayam yang jinak dan baik serta menguntungkan kita. Selain itu ultimatum yang bapak keluarkan bertentangan dengan hati nuraniku. Masak gara-gara ultimatum itu ayam-ayam lain dan yang tak berdosa terkena imbasnya. Papikan tahu bahwa aku senang dengan ayam-ayam. Sahabatku juga. Tidak mungkin aku akan melupakannya hanya karena kesenangan bapak saja,” sanggah Vina.
“Apa?” kejut papiku. “Jadi kamu berani melawan kehendak papimu.”
“Ya, Pi. Kalau kehendak papi tidak sesuai dengan hati nurani, Vina.”
Makin terbelalak mata papiku memandangku. Sorotan kekecewaan dan kegeraman terpancar di matanya. Garang dan ganas siap melumatkanku.
“Jangan-jangan semua ini adalah ulahmu...”
“Jangan menuduh sembarangan, Pi. Tak mungkinlah aku menghancurkan papiku sendiri,” belaku.
“Kalau bukan kamu, ya sudah. Baiklah. Papi tak mau memperpanjang urusan ini. Papi tekankan sekali lagi bahwa selamanya papi tak suka dengan ayam-ayam itu. Kalau papi tak suka, semua keluarga papi juga harus begitu. Tak suka. Selain itu ultimatum yang papi sampaikan ini tak boleh dibantah. Semuanya harus menaatinya. Titik!” tegas papiku egois. Papiku ingin beranjak pergi, tetapi jadi batal.
“Tunggu dulu, Pi. Aku tak akan menaati ultimatum papi. Ultimatum papi sungguh konyol bagiku. Mengekang hak asasiku.”
“Tahu apa kamu dengan hak asasi. Papi ini sudah banyak tahu tentang masalah itu. Anak kecil mau mengajari papi lagi. Papi bilang tak usah jangan dibantah lagi. Kamu sebagai anak seharusnya mengikuti kehendak orang tuamu. Awas kamu kalau berani melawan papi,” geram papiku.
Papiku menunjuk batang hidungku dengan garangnya. Bukannya takut, aku malah tegak menantangnya. Mataku menyalangkan kemarahan yang terpendam karena papiku tak mau mengerti keinginanku. Papiku egois. Papiku segera berlalu cepat menuju mobil untuk ke kantornya.
“Sudahlah, Nak. Ikuti saja kemauan papimu. Apa sih susahnya sedikit mengorbankan idealismu demi kebahagiaan kita semua. Mami tak ingin ada keributan lagi antara kamu dengan papimu. Karena masing-masing kalian mempertahankan sebuah idealis,” nasihatkan mamiku. Aku tak berkomentar.

~oOo~

Penjual bakso ayam yang sering lewat di lingkungan sekitar rumahku, dimarahi papiku. Bahkan papiku mengancam penjual bakso ayam itu agar tak melewati rumahku kalau ingin selamat. Kalau penjual bakso berani melawan maka tak segan-segan papiku menghancurkan peralatan dagangnya dan membuat sengsara hidupnya. Akhirnya penjual bakso ayam itu mengalah. Mau melawan berarti hancur. Sebab ia hanya orang kecil sedangkan papiku adalah pejabat penting di kota ini. Apa yang dikatakan papiku akan menjadi kenyataan. Dengan dongkol penjual bakso ayam itu menghindar. Ia akan mengais rezeki berjualan bakso di tempat lain. Masih di bumi Allah.
Terasa sepi sekali tanpa adanya ayam-ayam. Tak bisa lagi merasa kelejatannya. Tak bisa lagi menikmati keindahan ukiran dan bentuk tubuhnya yang dicetak dalam ukiran atau pahatan. Tak bisa lagi menyimak harunya nyanyian penjual bakso yang lewat. Yang nyanyiannya begitu merdu. Kini hampa saja menjemput asa. Sebab ayam-ayam tak bersuara.
~oOo~

Ayam-ayam yang dibawa vina dalam tasnya berkeruyukan. Ayam-ayam itu dengan lincahnya melompat dari tasnya. Mereka berkejar-kejaran dan berkotek dengan senangnya. Tak sengaja kaki ayam-ayam itu menghantam vas bunga dan seni ukiran yang di pajang. Barang-barang itu pecah berantakan. Bukannya sedih,Vina malahan tertawa senag.
Ia senang. Sebab dia melihat kepolosan dan keriangan ayam-ayam itu dalam bermain. Mengingatkan ia pada masa kecilnya. Penuh dengan kepolosan dan keriangan. Ia ingin saat ini, ia bisa polos bermain dan riangnya menikmati kehidupan.
Pembantu rumahnya yang mendengar keributan, bergegas ke ruang tamu. Pembantu rumahnya terkejut. Melihat banyak ayam-ayam yang memporakporandakan barang yang ada di situ. Pembantu rumahnya ingin mengusir ayam- ayam itu. Tapi vina melarangnya. Pembatu rumahnya mengalah. Vina makin tertawa melihat kelucuan ayam-ayamnya.
Seketika papinya muncul dari balik kamar. Papinya terpekik histeris.
“Apa-apaan kamu, Vina? Masya allah. Papi sudah bilang yang namanya ayam itu perusak. Lihat saja ayam-ayam itu telah merusak barang-barang di rumah ini. Kamu memang keterlaluan, Vina. Hentikan semua leluconmu ini!” bentak papinya.
Pembantu rumahnya mengkeret takut. Tanpa disuruh pembantu rumahnya pergi menuju ke dapur takut dimarahi.
Ayam-ayam yang dibawa Vina berlari ketakutan. Karena mendengar bentakan papi Vina yang sangat keras. Ayam-ayam itu lalu meringkuk di hadapan Vina. Ketakutan.
“Papi ini mengganggu kesenangan Vina saja,” protes Vina cemberut.
“Mengganggu kesenangan apa. Taik kucing. Kamu telah buat papi marah saja. Sudah berapa kali papi bilang yang namnya ayam tak boleh ada di sini. Tapi kamu terus bandel. Kamu ingin membuat papi mati karena marah ya?” kata papinya.
“Tidak, pi.”
“Kalau tidak, mengapa masih saja kau lakukan itu?”
“Untuk memuaskan hati, Pi. Papi kan tahu dari kecil Vina sudah akrab dengan ayam. Vina sudah lengket. Kok, sekarang malah mau berpisah. Mana mungkin, pi?”
“Mana mungkin apanya. Harus di mungkinkan. Mulai sekarang memori tentang ayam harus hilang dalam perasaanmu.”
“Tidak bisa, pi.”
“Harus dibisakan. Ayam-ayam ini menyusahkan saja. Serahkan ayam-ayam itu pada papi. Papi akan memberi pelajaran pada ayam-ayam itu agar hilang dari perasaanmu. Serahkan ayam-ayam cepat!” pinta papinya.
“Tidak, pi. Vina tidak akan menyerahkannya,” seru Vina.
Ia mendekap ayam-ayam itu yang mulai riuh berkeruyukan. Papinya tetap memaksanya untuk menyerahkan ayam-ayam itu. Vina terus mempertahankannya. Akhirnya papinya merampas kasar ayam-ayam itu dari tangannya. Ayam itu telah berada di tangan papinya yang terus ribut berkeriyukan.
“Jangan, pi. Ayam itu adalah ayam kesayangan Vina. Vina mohon lepaskan dia,” kata vina memelas dan berusaha mendapatkan ayam-ayam itu dari tangan papinya.
Ketika gamparan tangan papinya melanda tubuhnya. Tapi Vina terus tak patah semangat. Ia terus berusaha mengambil ayam-ayam itu. Tetapi ia terkulai lemas. Karena gamparan papinya jadi bertubi-tubi menghantamnya. Seluruh tubuhnya biru lebam. Menimbulkan sakit hati Vina meruak pada papinya.
“Papi kejam!”pekiknya histeris.
Vina lalu memutuskan meninggalkan rumahnya yang telah jadi neraka. Membawa kekesalan hatinya.
~oOo~

Papi Vina mengantor hari ini. Betapa terkejutnya ia. Mendapati ruang kerjanya yang sudah di pasang alat canggih masih bisa di jebol ayam-ayam liar. Telapak ayam-ayam liar masih membekas di semua lantai ruang. Seakan ayam-ayam itu mengejek dan menertawakannya.
Wahai pecundang, kamu telah kalah hari ini.
Ia tak habis pikir. Begitu hebatnya ayam-ayam itu. Mampu mengalahkan peralatan canggihnya. Berarti ayam-ayam liar itu lebih canggih dari peralatannya. Tapi mungkinkah ini kerjaan ayam-ayam itu sendiri? Atau jangan-jangan ada orang dalam kantor telah menohokku. Jadi pembelot. Pengkhianat. Tapi, siapa orangnya?
Kepalanya mengepeng. Mumet. Sebab ia akan bangkrut. Tak dibayangkannya bahwa kehidupan gembel akan dijalaninya. Tidak. Aku tak ingin hidup gembel. Kepalanya sekali lagi berdenyut.
“Ya Tuhan, apa salah dosaku sehingga kau hukum hamba seberat ini?” tepekur kepalanya mencium meja. Terdiam. Hening. Seketika ia tersentak kala telepon di sampingnya membentaknya garang.
“Sialan. Siapa lagi yang meneleponku saat kalut begini? Apakah ayam-ayam liar itu? Bangsat!”
Walau geram diraihnya juga gagang telepon.
“Pi, anak kita kecelakaaan,” kata suara isrinya dari kejauhan sana.
“Apa?” kagetnya.
“Bagaimana keadaan Vina?” tanyanya.
“Ia sedang dilarikan ke rumah sakit Yarsi. Papi langsung saja menyusul ke sana,”sahut istinya dari kejauhan lalu menutup teleponnya.
“Baiklah, Mi. Papi akan ke sana segera mungkin,” jawabnya. Gagang telepon diletakkannya dengan keras. Kasar.
Kepalanya tambah gepeng dihimpit masalah. Belum saja ia ingin mengatasi kebangkrutan kantornya, datang lagi masalah lain yaitu anaknya kecelakaan. Semakin rumit. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjenguk anaknya dulu yang ditimpa kecelakaan. Ia pun diantar supirnya menuju rumah sakit Yarsi.
Ketika melintasi tikungan kiri menuju rumah sakit Yarsi. Ia melihat ada seekor ayam melintasi jalannya. Ia geram. Dendam kesumatnya berkecamuk. Ia menyuruh supirnya berhenti. Supirnya menuruti kemauannya. Ia keluar dari mobil.
“Ayam sialan, kubunuh kau!” teriaknya nyaring sembari berlari mengejar ayam itu. Tetapi ia jadi terhenti berlari ketika sebuah ledakan keras memecahkan kaca hari yang berasal dari mobilnya. Ia segera menoleh ke arah suara ledakan tersebut.
Percikan-percikan mobil dan percikan-percikan tubuh sopirnya beterbangan ke awan. Kemudian terhempas lagi ke aspal. Sudah tak berwujud. Hangus.
Arus lalu lintas pun menjadi macet. Karena semua orang ingin melihat kejadian ngeri itu. Sebelumnya kejadian seperti ini tak pernah terjadi di bumi khatulistiwa.

Pontianak, 3 oktober 2005

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...