Oleh : M. Saifun salakim
... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikannya kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Albaqarah : 185)
Berlalu sudah sepuluh hari kedua bulan puasa dalam menyayangi dan mengasihi kita. Kini menginjak sepuluh hari yang ketiga atau terakhir. Satu likur. Tetangga-tetanggaku sudah berkemas-kemas. Mengemasi rumahnya agar pamer senyum pepsodent menawan. Selain itu mereka juga sudah menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk menyambut hari kemenangan. Lebaran.
Rumah yang kusam dicemerlangkan. Pagar yang luka, diobati. Tak meninggalkan jejak luka sedikitpun. Taman yang rambutnya awut-awutan disisir rapi dengan tatanan parlente. Sedap dipandang mata, sedap memukau rasa. Ruangan rumah yang terlantar dan kelihatan kurus ceking diberi makanan yang sehat untuk tampil segar dan gagah. Semuanya dilakukan penghuni rumah di kompleksku baik laki-laki maupun perempuan.
Tak ketinggalan ibu-ibu rumah tangga lebih sibuk lagi kerjaannya. Mereka mulai mencetak kue-kue beraneka bentuk dari basah sampai yang kering. Pas hari kemenangan atau lebaran muncul dan menyapanya. Barulah kue-kue itu dihidangkannya. Dihidangkan kepada tamu-tamunya yang datang sebagai tanda bersyukur atas rezeki yang telah diberikan Allah. Dengan tujuan untuk menjalin silaturrahmi yang erat dan saling maaf-memaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan dulu.
Aku saja yang belum membenahi rumahku, seperti Pak Amin, Pak Jamal, Bu Ida, Bu Elsi, dan lain-lain. Mereka adalah tetangga rumahku. Istriku lain dari istri yang lain, dia tak mau menyibukkan dirinya seperti ibu kebanyakan. Dia tak mencetak kue untuk menyambut lebaran ini. Mengapa bisa begitu? Karena rencananya hari ketiga likur puasa, aku dan keluargaku akan berlebaran ke rumah umakku. Sudah lama kami tak pernah berjumpa. Tujuh tahun. Cukup lamakan? Sampai aku diberi amanah Allah yang kuberi nama Pasa. Pasa yang telah membuat warna-warni kehidupan kami, seperti gugusan pelangi yang mengindah di langit biru. Menelusup indah dalam hari-hari kami.
~oOo~
Hari ini. Pasa begitu manjanya. Menggoda sanubariku. Untuk memenuhi keinginannya. Pasa minta digendong di atas bahuku. Aku memenuhi dan mengabulkan keinginannya. Menyanggupinya. Ia tertawa girang, kuperlakukan seperti itu. Sesekali tangan mungilnya memainkan tuts-tuts piano di rambutku. Menembangkan suara yang merdu. Mengalun dan menembang terus-menerus. Makin membuatnya senang. Apalagi aku memainkan tubuhnya. Ia kuangkat turun naik secara teratur seperti gerakan pegas vertikal. Ia tambah gembiranya dengan terdengar tawanya yang begitu renyahnya. Kepolosan dan keceriaannya ditampilkan kepadaku menunjukkan tanpa beban. Perilakunya menikam pikiranku. Melambungkan angan-anganku ke nilakandi syahdu.
~oOo~
Zuhud bermain senangnya dengan teman-teman sepermainannya. Main guli. Main layang-layang bahkan main getah gelang. Mengisi hari-harinya di bulan puasa. Walau asyik bermain, Zuhud tak akan melupakan satu hal yang tak boleh ditinggalkannya yaitu salat. Puasanya pun tak pernah bolong walau dia masih terbilang kanak-kanak. Lima tahun. Bahagianya ia menikmati hidup ini. Karena orang tuanya sungguh menyayanginya. Ia tak pernah cerewet menghadapi setiap lebaran seperti kebanyakan anak-anak yang lain. Kalau anak-anak yang lain banyak tuntutannya kepada orang tuanya setiap lebaran tiba. Anak-anak itu minta dibelikan baju dan celana baru. Bahkan perlengkapan salat juga harus baru. Zuhud tidak. Ia hanya meminta umaknya membuatkan kek, dodol cengkarok, dan ketupat beserta gulai ayamnya. Umaknya tersenyum senang mendengar permintaan anaknya. Umaknya memenuhi permintaan anaknya. Kadang apaknya saja yang kasihan kepadanya. Anaknya harus juga memakai baju dan celana baru seperti anak kebanyakan. Maka apaknya membelikan baju dan celana barunya. Ia menerimanya dengan ikhlas tetapi bukan karena ia minta dibelikan.
Bila ingin dibandingkan kedekatan Zuhud antara apak dan umaknya. Maka Zuhud lebih dekat dengan umaknya. Karena itu saudara-saudaranya memberi gelar ia “Anak Umak”. Bukan berarti ia terlalu manja. Bukan. Cuma ia ingin disayang saja. Karena sosok umaknya sangat perhatian dan telaten menghadapinya. Lembut dalam mendidiknya. Sehingga ia lebih mendapatkan tempat untuk berlindung dan bernaung. Tidak seperti apaknya yang keras mengajarnya.
Ia masih ingat ketika apaknya marah. Saat itu ia melakukan sebuah kesalahan. Ia berkelahi dengan temannya. Karena temannya itu sudah menjatuhkan harga dirinya. Padahal ia sudah mencoba menahan amarah dan meredam emosinya yang membludak biar terpancar berlebihan.
Waktu itu ia sama-sama bermain bola dengan teman-temannya. Hari hujan mengguyur lapangan tempat ia bermain bola. Deras sekali. Sehingga mereka bermain tanpa menggunakan baju. Bajunya diletakkannya di teras Sekolah Dasarnya. Permainan bola pun berlangsung. Seru. Sungguh menakjubkan. Ia saling tertawa senang dengan teman-temanya bermain bola. Tim bolanya memenangkan pertandingan. Lamsah sebagai salah satu tim lawannya dalam pertandingan bola, protes. Lamsah tak bisa menerima kekalahannya. Karena biasanya Lamsah selalu menang bermain bola melawan tim siapa saja. Tetapi hari ini timnya kalah. Membuat Lamsah meradang. Lamsah memakiku.
“Zuh, kamu memang bangsat! Kamu main pakai dukun ya sehingga menang melawanku? Tak biasanya kamu mampu mengalahkanku. Kamu main curang.”
“Tidak. Aku tak pernah bermain curang. Apalagi main pakai dukun. Itu tak ada dalam kamusku. Mungkin saja hari ini adalah hari kesialan timmu sehingga timmu kalah.”
“Bohong?”
“Tidak. Aku tak pernah bohong.”
“Kalau kamu tidak berbohong. Mari kita bertanding lagi sampai letih. Kita buktikan bahwa kamu memang pemenangnya atau pecundangku?”
“Maaf Lamsah, aku tak bisa lagi meneruskan permainan ini. Karena hari hampir magrib. Aku mau mandi dan salat.”
“Alasan saja. Dasar pengecut!”
“Terserah apa katamu. Aku tak peduli. Yang penting aku tidak telat untuk salat magrib.”
“Bangsat! Pukimaknya kamu, Zuhud!” tunjuk Lamsah pada batang hidungku. Meradang. Aku tenang saja. Aku tidak marah.
“Permisi Lamsah,” kutepiskan tangannya yang menunjuk batang hidungku. Kemudian aku ingin mengambil bajuku yang kuletakkan di teras Sekolah Dasarku. Aku ingin segera mandi dan melaksanakan salat magrib. Tapi aku kalah langkah dengan Lamsah. Ia telah duluan mengambil bajuku.
“Zuhud, kalau kamu tak mau melanjutkan permainan ini terpaksa bajumu, aku masukkan ke dalam lumpur. Bagaimana?” ancam Lamsah.
“Jangan Lamsah. Kembalikan bajuku. Akukan sudah bilang padamu. Aku tak ingin melanjutkan permainan ini lagi. Keputusanku sudah bulat. Karena aku tak ingin telat salat. Bagiku salat lebih penting daripada permainan ini. Sekarang kamu serahkan bajuku itu!” pertegasku.
“Apa boleh buat. Kalau keputusanmu sudah bulat, tidak mau melanjutkan permainan ini lagi. Terpaksalah bajumu kucemplungkan dalam lumpur,” kata Lamsah ketus.
Langsung saja bajuku dicemplungkannya ke lumpur hitam. Bajuku terus diulek-uleknya dengan kakinya sehingga tak berbentuk lagi seperti ia mengulek sambal. Perasaan meradangku terbangkitkan. Emosiku menjerit garang. Berteriak dahsyat menghilangkan kesabaranku.
“Lamsah, sudah. Cukup. Hentikan perbuatanmu itu!” pekikku sekeras-kerasnya.
Lamsah tak menghiraukannya. Lamsah terus saja mengulek-ulek bajuku. Berlumpur kental sekali. Aku menolak tubuhnya menghentikan perbuatannya itu. Lamsah tersungkur ke tanah. Kemudian dengan cepat ia berdiri dan memukulku. Aku menangkisnya. Perkelahian itu tak dapat dihindarkan. Dalam perkelahian itu aku dapat menyarangkan pukulan telak ke tengkuknya sehingga membuat Lamsah jatuh terjerembap. Seluruh mukanya bermandikan lumpur hitam. Teman-teman bermainku segera melerai perkelahian antara kami.
“Sudahlah, Zuh. Lamsah memang begitu,” lunakkan Pardi, teman yang meleraiku.
“Tidak. Lamsah sudah keterlaluan. Aku harus mengajarnya,” geramku. Tapi aku kalah tenaga dengan tiga teman yang meleraiku. Aku dijauhkannya dari Lamsah. Bajuku dibawanya. Dicucinya ke laut. Sekalian mandi sore.
Lamsah melaporkan peristiwa perkelahian itu pada apakku. Ia minta agar apakku dapat mengajarku bertingkah laku yang baik. Apakku berang. Aku diplasahnya dengan lidi selai. Menimbulkan bilur-bilur memanjang di tubuhku. Perih. Aku tak melawan. Sebab aku memang bersalah telah berkelahi dengan Lamsah. Aku sadari itu. ketika plasahan apakku dinilai umakku berlebihan. Maka umakku membelaku. Akhirnya apakku mengalah. Menghentikan memberi hukuman plasah padaku. Umakku memelukku. Aku dimandikannya dengan penuh kelembutan kasih sayang.
“Lain kali jangan berkelahi lagi, Nak!”
“Tapi, Mak. Aku tak bersalah. Lamsah yang memulainya dan menghinaku terlalu berlebihan. Membuat kesabaranku luluh.”
“Ya, mak tahu itu. Tetapi apakmu tidak akan mengerti. Mau anaknya salah atau benar dalam masalah ini. Tetap saja kamu dipersalahkannya. Karena apakmu tak ingin berbuat ribut dengan tetangga. Lebih baik ia membuat ribut di rumah tangganya sendiri. Apakmu melakukan semuanya ini agar kamu mengerti dan sadar bahwa berkelahi itu tidak baik.”
Umakku memberi nasihatnya padaku.
“Ya mak, akan kuingat kata-kata mak untuk selama-lamanya dalam perjalanan hidupku,” jawabku dengan menahan keperihan bilur-bilur memanjang di tubuhku yang terkena lidi selai saat menyentuh air. Mandi.
~oOo~
Kerjipan bintang kartika terpancar jelas di dua bening pupil istriku. Mewarnai buka puasa hari ini. Kerinduan menyentak batinku semakin kuat. Rindu kampung halamanku. Rindu apakku. Rindu umakku.
Saat lebaran tiba umakku biasanya telah menyiapkan makanan kesukaanku. Kue kek, dodol cengkarok, dan ketupat beserta gulai ayamnya. Ayam dipotongkan umakku adalah ayam kampung yang enak dagingnya. Aduh, nikmatnya. Air liurku merintik di sungai mulut.
“Bang Zuh dimakan penganannya. Jangan dilamuni saja nanti basi. Abang membengongkan apa?”sadarkan istriku dari lamunan sesaat yang sungguh indah.
“Ya, Dik,” jawabku pendek. Aku segera mencicipi penganan yang di sediakan istriaku.
“Papa melamuni siapa tadi? Nenek dan datok ya?”comel pasa, anakku.
“Ya, Manis. Papa kangen berat sama Nenek dan Datokmu. Terutama kangen berat dengan ketupat buatan nenekmu.
“Memangnya enak ketupat buatan nenek?”
“Sungguh enak. Kalau kamu sudah mencobanya sekali. Kamu akan ketagihan minta terus.”
“Pasa penasaran ingin mencobanya. Sekalian Pasa ingin melihat wajah nenek dan datoknya seperti apa?”
“Aku juga ingin mencoba ketupat buatan umak, Bang zuh. Sama seperti Pasa,” sela istriku.
“Kapan kita ke rumah nenek, Pa?” tanya Pasa.
“Insya allah, besok pagi,” jawabku dengan gembiranya. Sebab istri dan anak mendukung keinginanku. Berlebaran ke rumah umakku.
“Asyik. Pasa akan jumpa nenek dan datok. Asyik. Pasa akan makan ketupat buatan nenek.”
Girangnya anakku bersorai. Istriku juga gembiranya.
Istriku ingat suatu hal. Dulunya. Untuk mendapatkan aku, ia harus dapat membuat ketupat. Sebagai syarat perkawinan yang kuajukan. Konyolkan? Tapi itu dilakukannya juga. Walau teman-temannya mencemoohkannya.
“Kamu nih sungguh kuno, Lian. Masak kamu harus mengikuti syaratnya. Membuat ketupat lagi. Apakah tak aneh?”
“Tak aneh, temanku yang manis. Wajar saja. Disitulah letak keunikannya.”
“Keunikan katamu. Aduh, aku tak tahu jalan pikiranmu. Sanpai kamu gila-gilanya mengikutu kemauannya. Jangan-jangan kamu di guna-gunainya.”
“Tepat sekali. Aku memang diguna-gunainya. Guna-guna yang bersumber pada kepatuhan dan ketaatan kepada allah dan kedua orang tuannya.”
“Ngacok sekali kamu, Lian.”
“Tidak temanku yang manis.”
“Pusing aku jadinya. Tapi sudahlah. Itu urusanmu. Jadi kamu tetap maju melaksanakan syaratnya?”
“Ya, dong. Karena sulit sekali menemukan orang sebaik zuhud. Sudah alim dan patuh lagi pada orang tua.”
“Terserah kamulah, Lian,”pendek suara temanku mengalah.
Dengan belajar yang gigih dengan orang pandai membuat ketupat. Kamu dapat juga membuatnya. Kamu bersyukur.
Karena kamu lulus ujian persyaratan dariku. Kita pun segera melangsungkan perkawinan. Hingga kita dikarunia seorang anak mungil, Pasa.
Bang zuh... Bang zuh... Kegemaranmu tak pernah berubah. Aku semakin penasaran untuk mencicipi ketupat buatan umakmu.
~oOo~
Kring... kring...
Suara telpon mengamuk. Lian bergegas mengangkatnya. Betapa terkejutnya ia mendengar kabar itu. Suaminya kecelakaan. Ia mengajak anaknya menjenguk suaminya di rumah sakit.
Perlahan-lahan kubuka kelopak mataku. Aku hanya dapat melihat gugusan dinding putih mulus tertata rapi. Aku semakin besar membuka kelopak mataku. Agar jelas melihat semuanya.
Begitulah. Setelah kelopak mataku terbuka lebar sebesar telur ayam kalkun. Semua pemandangan di ruang ini segera menjelas. Terang. Aku saat ini terbujur lemas di sebuah pembaringan. Pembaringan empuk yang nikmat mengelus punggungku. Di sampingku istri dan anakku tersenyum segar. Aku berusaha menggerakkan tubuhku. Tapi rasa nyeri menyengatku. Ngilu.
Subhanallah, mulutku mengerenyit sakit.
“Bang Zuh, jangan banyak bergerak. Abang masih sakit. Istirahat sajalah,” cegah istriku lembut penuh kasih sayang.
“Tapi, Dik. Abang harus kuat. Abang harus dapat menemui umak sekarang. Sebab abang sudah berjanji pada kalian dan umak untuk berlebaran bersamanya,” tegasku.
Aku coba bangkit. Namun aku lemas lagi.
“Jangan terlalu dipaksakan, Bang Zuh. Memang abang sudah berjanji. Tapi dalam kondisi sakit seperti ini janji abang tak bisa dipenuhi. Mungkin ini kehendak-Nya. Untuk itu, abang berdoa saja pada-Nya agar diberi kesembuhan cepat dan diberi petunjuk sebagai jalan keluar penyelesaian masalah janji yang telah abang utarakan,” ingatkan istriku.
Cairan bening tak kuasa kubendung. Menimbulkan rinai-rinai gerimis. Meleleh. Membasahi wajahku lalu turun ke dada.
“Ya Allah. Sungguh aku rindu ketupat buatan umakku. Izinkanlah aku agar dapat mencicipinya....” lirih zikir airmataku tumpah di hati. Di pembaringan ini. Menggenang semakin dalam.
Pontianak, 27 Oktober 2005
Catatan:
~Apak : bapak
~Umak : ibu
~Selai : sehelai
~Plasah : dipukul dengan lidi sehelai
~Dodol cengkarok : dodol yang dibuat dari beras yang telah digoreng
~Pukimak : makian yang menjijikkan dan menyakitkan hati
~Cerpen ini dibuat spesial untuk apak dan umak beserta keluargaku di kampung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar