“Subhanallah!” jeritnya pelan.
Tubuh tertekuk. Kaki juga. Tangan menekan perut kuat-kuat
agar rasa sakitnya berkurang. Dia tak ingin teman satu kamarnya tahu bahwa dia sakit. Dia tak ingin merepotkan temannya.
Dia katakan pada Dwi bahwa dia tidak bisa mengikuti diskusi hari ini, karena dia kurang enak badan. Insya alllah, kalau sakitnya
berkurang, dia akan menyusul temannya di ruang diskusi. Dwi
mengangguk.
“Benar, kamu bisa mengatasi sakitnya? Atau saya
panggilkan Panitia P3K-nya untuk menolongmu,” kata Dwi sebelum beranjak ke
ruang diskusi.
“Tidak usahlah Dwi. Sakitnya tidak terlalu parah. Oya
sudah, kamu jangan khawatir. Nanti dalam waktu tidak begitu lama, saya akan
menyusulmu.”
“Okelah, teman. Saya duluan. Saya tunggu di ruang diskusi.”
“Beres teman.”
Dwi menghilang di balik pintu.
Ditinggal Dwi. Dia sibuk menekan perutnya agar rasa sakit berkurang. Rintihan sakit diperhalus, biar tak terdengar orang. Dia berusaha belajar bertahan dari
deraan penyakit perut. Dia tidak ingin merepotkan orang lain. Dia tidak ingin menjadi orang cengeng. Selalu minta bantuan orang lain sedangkan dia sendiri masih bisa melakukannya.
Tanpa disadarinya muncul dua orang wanita memasuki kamarnya. Dia kaget. Karena, dia tidak pernah
mengundang dua orang wanita itu. Siapa lagi yang menyuruh dia ke sini? Mungkinkah
Dwi yang menyuruhnya?
Dua wanita itu semakin mendekat.
“Mas, ini diminum obat sakit
perutnya?” kata salah satu wanita berbaju hijau. Wanita
itu menyodorkan sebutir obat dan segelas air minum.
“Maaf Mbak, saya tidak sakit perut.”
“Tapi, kata temanmu. Kamu
sakit perut. Jangan begitu Mas. Nanti sakit perut Mas tambah parah.”
“Benar Mbak. Saya tak sakit perut. Sungguh. Saya hanya kurang enak badan saja. Sebentar lagi pasti sembuh. Mbak, tak usah khawatir. Saya
bisa mengatasinya.”
Wanita itu terus memaksa. Tapi, dia terus bertahan dan meyakinkan wanita itu bahwa dia tidak sakit perut. Wanita
berbaju hijau tak kalah akal. Dia memanggil sebuah nama.
“Ningrum, ke sini. Tolong
bantu kami.”
Dalam hatinya berkata-kata. Siapa Ningrum yang dipanggil wanita berbaju hijau itu? Belum sempat pengembaraan khayalannya mencapai puncak. Sesosok wajah menyembul di balik pintu.
Ah, bibirnya bergetar. Perasaannya mengejang. Mengapa perasaan aneh ini datang tiba-tiba padanya? Mengapa dia begitu grogi menghadapinya? Padahal gadis itu hanya orang lain. Mengapa
perasaan tidak enak menjalarinya? Mengapa? Dia hanya diam ketika Ningrum hadir di depannya.
“Untung kamu cepat datang, Ningrum. Coba kamu atasi pasien yang tidak mau minum obat sakit perut ini. Kami sudah
berusaha menyuruh dia minum obat. Tapi, dia tidak mau. Mungkin saja denganmu, dia mau,” kata wanita berbaju hijau.
”Beres teman. Saya akan mencobanya. Mudah-mudahan
saja dia mau,” jawab Ningrum.
Selesai ucapannya. Ningrum bergerak mendekat ke arahnya.
Membuat debaran jantungnya semakin menjadi-jadi dan tak biasanya. Begitu besar geloranya menghempas tepian pantai hatinya. Dia berusaha semaksimal mungkin menenangkannya, tetapi tidak bisa. Debaran jantungnya terus mengencang. Beberapa kali dia mengeluarkan asap halus dari mulut untuk
menenangkan gejolak perasaannya yang membara. Dalam hati kecilnya berkata. Dia tidak boleh
begini. Gadis itu bukan kekasihnya. Gadis itu adalah gadis
seberang lautan. Dia tidak boleh jatuh cinta lagi pada pandangan pertama. Dia harus setia kepada kekasihnya. Dia harus....
Belum sempat dia menuntaskan pengembaraan pikirannya menjadi lebih luas. Dia
disentakkan dengan suara lembut Ningrum. Menyentuh jiwanya.
“Mas, diminum obatnya. Nanti
sakit perutnya bertambah parah.”
Dia terdiam. Tidak bisa berkata-kata. Hanya matanya tidak berkesip memandang wajah Ningrum yang mirip dengan wajah kekasihnya.
“Lho, disuruh minum obat, kok
memandang wajah saya, Mas.
Memang wajah saya menarik ya
untuk dilihat?” kata Ningrum penuh kelembutan. Mengagetkannya dari
lamunan.
Dia tersadar. Malu. Karena, dia sudah ketahuan memandang wajah cantik itu berlama-lama. Wajah cantik yang mengingatkannya pada wajah kekasihnya. Wajah kekasihnya yang selalu dirindukannya di saat seperti begini. Ah, ini hanya kemiripan belaka.
Dia menguatkan hatinya. Dia tidak boleh begini. Dia harus kuat. Walau diakuinya, wajah cantik di depannya ini lebih lembut dan ramah dari kekasihnya. Wajah cantik ini lebih perhatian dan bersuara merdu. Ah, dia tidak boleh
membanding-bandingkan kekasihnya dengan wajah cantik
itu. Dia tidak boleh larut dalam perasaan yang membuai ini. Dia harus mampu
menepis semuanya. Dia harus bisa. Dia menguatkan hatinya.
“Mas, obatnya sudah siap diminum. Minumlah. Dengan minum obat ini
semoga sakit perut Mas sembuh.” Tangan Ningrum bergerak ke mulutnya. Sangat cepat. Membuat dia makin tak berkedip. Tetapi, dia cepat sadar
diri.
“Maaf Mbak, sakit perut saya sudah sembuh,” katanya menghindar. Biar Ningrum tidak berada dekat-dekat di sampingnya. Apalagi berlama-lama. Membuat dia belingsatan saja. Sebab, bila Ningrum berlama-lama di dekatnya,
dia takut tidak bisa menahan gejolak perasaan cintanya. Perasaan mencintai kekasihnya. Walau,
dia tahu bahwa Ningrum bukan kekasihnya. Tetapi, Ningrum benar-benar sama dengan kekasihnya. Dari potongan tubuh, cara bicara, warna jilbab kegemaran, perlakuan, semuanya sama. Hanya Ningrum punya sedikit
kelebihan dari kekasihnya. Ningrum lebih lembut
memperlakukannya dari kekasihnya.
“Secepat itukah sembuhnya,
Mas. Jangan bergurau. Jangan bandel. Tidak baik kalau jadi orang bandel. Mas,
harus minum obat sakit perut ini biar sakit perut Mas sembuh. Jika Mas menolak
meminum obat sakit perut ini berarti Mas tidak menghargai saya yang susah payah membawakan obatnya. Selain
itu, Mas membuat saya dimarahi
ketua panitia kegiatan. Karena, saya tak becus menjalankan tugas saya sebagai ketua P3K. Saya mohon Mas
dapat mengerti posisi saya. Mas dapat menghargai kepedulian saya. Diminum ya Mas obatnya,” bujuk Ningrum. Ningrum tambah mendekatkan obat
sakit perut itu ke mulutnya. Bersamaan dengan tubuh
Ningrum yang mendekat dan hanya sejengkal berada di depan matanya. Tangan
lembut Ningrum bekerja cekatan. Memegang kepalanya. Tangan sebelah kiri Ningrum
menopang kepalanya sedangkan tangan sebelah kanan Ningrum memasukan obat ke
dalam mulutnya. Dia tidak berkutik. Sebab, dia tidak ingin Ningrum tersinggung
dan marah padanya atas penolakan itu. Tidak dihargai kepedulian dan jerih
payah. Selain itu, dia tidak ingin Ningrum dimarahi ketua panitia kegiatan,
karena tidak becus mengurusnya.
Kelembutan Ningrum memberinya obat membuat perasaan
terdalamnya tersentuh. Menumbuhkan perasaan sayangnya mencuat. Dikatakannya perasaan
itu lewat tatapan mata dan senyuman. Dia berharap semoga Ningrum mengerti arti lirikan
mata dan senyumannya. Lupalah dia dengan keteguhannya. Tetapi sebentar dia
tersadar.
“Masya Allah,” katanya.
“Alhamdulilah mas, obat sakit perutnya sudah diminum. Begitukan
bagus. Sekarang Mas boleh istirahat. Dengan cukup istirahat semoga sakit perut Mas sembuh,” kata Ningrum penuh ketulusan.
Sekali lagi. Dengan telaten dan hati-hati Ningrum
membaringkannya. Kepalanya diberi bantal penyangga oleh Ningrum. Dia tidak
membantah dan membiarkan saja Ningrum melakukan hal tersebut. Dia menurut saja,
seperti menurutnya anak kecil kepada ibunya. Ningrum berlega napas dan
tersenyum manis. Karena, Ningrum dapat menjalankan tugasnya sebagai Ketua P3K
dengan baik.
“Terima kasih Mas atas
pengertiannya,” kata Ningrum.
Dia mengerjipkan matanya tanda mengiyakan.
Ningrum segera keluar dari kamarnya. Di depan pintu,
Ningrum disongsong teman-temannya.
“Mantap Ningrum. Kamu memang
ketua P3K yang hebat. Dapat membuat lelaki tak penurut itu menuruti kemauanmu.
Apa rahasianya menaklukkan lelaki tak penurut itu? Beritahulah kami!” kata
teman-temannya.
“Biasa saja. Tidak ada cara khusus,” jawab Ningrum sekenanya.
“Tidak mungkin, tidak memakai cara khusus. Kami saja
melakukannya tidak bisa.”
“Betul. Tetapi, kalau kalian masih penasaran. Nanti saya
beritahu cara saya membuat lelaki itu menurut. Sekarang, mari kita tinggalkan
ruangannya. Biarkan dia beristirahat yang cukup agar sakit perutnya cepat
sembuh,” sahut Ningrum berlalu santai
dari kamarnya meninggalkan teman-temannya.
“Tunggu Ningrum,” kata teman-temannya menyusul.
* * *
Ningrum memang seorang bidadari. Mempunyai kulit
tubuh yang tidak semuanya kelihatan. Sebab, Ningrum memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuhnya.
Hanya muka dan tangannya yang kelihatan berwarna kuning langsat, tidak putih
mulus. Sungguhpun begitu banyak orang yang mengaguminya dan memuji kelembutan
perilaku dan ketulusan hatinya
dalam memberikan bantuan kepada orang lain. Tidak heran banyak orang jatuh
cinta padanya.
Rasyid dari Palangkaraya pernah mendekati Ningrum untuk
mendapatkan perhatian. Tetapi, Rasyid tidak mendapatkan hati Ningrum. Rasyid
tetap berjuang. Terus mendekati Ningrum. Hingga Rasyid bisa dekat dengan
Ningrum. Kedekatan sebagai teman. Tetapi bagi Rasyid, kedekatan itu diartikan
lain. Bahwa Ningrum memberikan harapan atas hatinya. Sehingga Rasyid
memberanikan diri menembak Ningrum, setelah dirasakannya tepat. Tetapi, Rasyid
kecewa. Karena, Ningrum menolak cintanya secara halus.
Tidak hanya Rasyid. Ternyata Rapiq dari Banjarmasin juga
punya hati pada Ningrum. Tetapi, Rapiq malu mengatakan perasaan cintanya secara
langsung. Karena, Rapiq takut cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Untuk
itu, Rapiq memendam cintanya.
Sampai kapan Rapiq harus bertahan dengan siksaan cinta
seperti itu. Siang dan malam selalu menyiksanya. Selalu membayangkan keanggunan
Ningrum. Membuat Rapiq sedikit linglung. Rapiq, tidak ingin terus begini. Rapiq
pun meminta tolong padanya untuk mencomblanginya. Karena, dilihat Rapiq, dia
lebih bijak menyikapi persoalan apapun dan dia terkena supel. Bisa masuk dalam
lingkungan apapun. Rapiq, tidak tahu bahwa dia juga sedang berusaha meredam
perasaan cintanya pada Ningrum. Perasaan cinta pada kekasihnya.
Deraan itu membuat dia lebih banyak mendekatkan diri pada
Allah. Dia bermohon agar dikuatkan hati untuk mencintai kekasihnya di seberang
lautan bukan Ningrum. Dia juga memohon agar perasaan cintanya pada Ningrum
berubah. Perasaan cinta bukan kepada kekasih tetapi hanya sebagai teman saja.
Oleh karena itu, dia berusaha menghindar dan tidak ingin selalu bertemu dan
bertatap muka dengan Ningrum.
Rapiq, temannya dari Banjarmasin menguakkan lagi
perasaannya yang mulai berangsur-angsur dapat dikendalikannya. Saat Rapiq
memintanya mendekati Ningrum. Setelah dekat, Rapiq ingin dia dapat mewakili
perasaannya untuk menyatakan cinta kepada Ningrum. Dia sangat kaget. Dia keras
menolak permintaan Rapiq. Tetapi, Rapiq keras kepala. Rapiq tetap memintanya.
Sehingga ketegarannya luluh. Akhirnya diluluskannya permintaan Rapiq. Membantu
Rapiq mendapatkan Ningrum.
* * *
Dia dapat juga dekat dengan Ningrum. Rapiq tersenyum.
Rapiq memuji keberhasilan dia yang bisa bergaul dekat dengan Ningrum. Rapiq
tidak tahu bahwa setiap dekat dengan Ningrum, dia selalu beristighfar
menenangkan perasaannya. Biar perasaannya tidak terlarut dalam perasaaan cinta
yang menyakitkan banyak orang.
Suatu ketika dia mengajak Ningrum duduk lesehan di sebuah
warung pojok pecel lele. Sebab, dia disuruh Rapiq untuk mewakili dirinya menyatakan
perasaan cinta kepada Ningrum. Bagaimana reaksi Ningrum tentang perasaan cinta
Rapiq? Rapiq ingin tahu tanggapan Ningrum. Ditolak atau diterima.
Mereka saling berhadapan. Mata saling menatap satu sama
lain. Mulut tidak berbicara. Saling mengukur kedalaman hati. Dia terus
menenangkan perasaan yang tidak tentu rudu. Dalam hatinya terus memuji asma
Allah agar dikuatkan dalam menjalani perasaannya. Ningrum duluan buka suara.
“Rifki, selain mengajak makan bersama. Ada keperluan yang
lain ya? Tidak biasanya kamu mengajak saya seperti ini?”
Dia masih diam. Belum menyahut. Sebab, dia masih menata
hati. Meredam perasaan cintanya yang membuncah. Dia berusaha menenangkan diri.
Dia hembuskan udara sesak untuk menghilangkan rasa grogi. Setelah tenang, dia
mulai menyusun kata-kata yang ingin diucapkannya kepada Ningrum.
“Kamu kenal Rapiq?”
“Kenal. Dia utusan dari
Banjarmasin. Ada apa dengan dia?”
“Dia sudah lama
memerhatikanmu. Dari awal kegiatan sampai sekarang. Dari perhatian itu
menumbuhkan sesuatu yang istimewa dalam hatinya tentangmu. Dia menyuruh saya
mewakili perasaannya untuk mengatakan hal istimewa itu padamu. Ningrum, Rapiq menyukai bahkan mencintaimu.
Bagaimana tanggapanmu?” Plong rasanya saat dia
mengatakan itu.
Belum sempat Ningrum memberikan tanggapan. Hidangan pecel lele datang. Pelayan
menghidangkan pesanan itu di depan mereka.
Tanggapan Ningrum terhenti
sejenak. Karena, mereka harus menyantap hidangan yang disediakan. Sambil makan
mata Ningrum tak berhenti menatapnya. Tidak lupa Ningrum
tersenyum. Dia juga tersenyum. Mereka sama-sama berusaha mengartikan arti
senyuman yang diberikan. Dalam hati Ningrum berdesah.
Rifki, mengapa bukan kamu
yang mengatakan bahwa kamu cinta saya. Mengapa malahan kamu mewakili perasaan
hati temanmu? Apakah kamu tidak ada perasaan cinta terhadap saya? Ataukah kamu
membohongi hatimu demi membantu temanmu. Rifki, sejujurnya dari awal kita
berjumpa. Saya sudah merasakan getaran cinta itu. Saat pertama kali saya mengobati sakit perutmu. Itulah pertama
kali saya jatuh cinta padamu. Rifki, saya berharap semoga saja cinta saya
padamu tidak bertepuk sebelah tangan. Kamu juga merasakan cinta itu pada saya.
Kita sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Semoga keluhan hati ini
dapat direstui Allah.
“Mantap. Pecel lelenya enak sekali,” katanya menyudahi makanan. Segelas air putih diteguknya untuk melancarkan pencernaannya sehabis makan.
“Ya enaklah, kan pecel lele
buatan Yogya,” jawabmu. Kamu juga menyudahi makanan. Segelas air putih juga kamu teguk. Kemudian
tanganmu mengambil sehelai tisu yang disediakan
pelayan warung lesehan. Membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di
mulutmu.
“Betul katamu. Yogya memang
mantap!” pujinya.
“Ya, sama mantapnya seperti dirimu,” sahutmu.
“Apa?” kagetnya
“Maaf, saya ketelepasan bicara.”
Aduh, mengapa saya bisa
terlepas bicara seperti ini. Bisa-bisa Rifki berpikiran lain. Mengganggap saya
mencintainya. Malukan. Ketahuan. Mudah-mudahan saja Rifki tidak berpikir sampai
ke arah itu.
Rifki terdiam sebentar. Mencerna kata mantap yang barusan
diutarakan Ningrum. Mungkinkah Ningrum
mengagumi saya. Wah gawat ini, kalau benar dia mengagumi saya. Apalagi
mencintai saya. Walau sebenarnya, saya juga merasakan hal sama seperti yang
dirasakannya. Saya sudah jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Tapi, saya
harus realistis. Bahwa saya sudah punya kekasih. Saya tidak boleh membagi cinta
ini pada orang lain.
“Oya Rifki, hanya itu
keperluanmu selain mengajak saya makan bersama?” tanyanya. Memecah kesunyian yang
sempat hadir.
”Ya,” jawabnya tegas.
“Oh begitu. Maaf ya Rifki, untuk
sementara saya belum bisa memberikan keputusan tentang perasaan saya pada temanmu. Karena, saya harus
menanyakan pada hati saya dulu. Apakah hati saya juga
cinta pada temanmu? Beri saya waktu untuk
mempertimbangkannya.”
“Silakan. Tapi, jangan lama-lama mengambil keputusannya biar saya cepat
menyampaikan kepada teman saya tentang perasaanmu padanya.”
“Begini saja, Rifki. Biar tidak lama menunggu.
Tujuh hari dari sekarang. Insya allah, saya akan memberi keputusannya. Tapi, beritahu temanmu, lain kali kalau cinta
pada orang, jangan menggunakan jasa perantara.”
“Oke. Nanti, saya beritahukan pesanmu itu pada teman saya. Oya, di mana tempatnya kamu memberikan
jawabannya?”
“Di Pantai Kukup dan Pantai
Baron. Saat kita kegiatan rekreasi. Nanti, saya akan memberitahukan padamu. Sekaligus kamu bawa temanmu yang
suka pada saya itu. Saya tunggu
kalian pukul 17.30. Jangan sampai terlambat.”
“Baik.”
“Kalau begitu, saya pamit
dulu. Terima kasih atas jamuan makannya. Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam,” jawabnya.
***
Pantai Kukup dan Pantai Baron sudah di depan mata. Semua
peserta kegiatan mengambil posisi masing-masing. Firman berpuisi sambil
menantang ombak menerpa pantai. Terlihat Firman riang sekali. Setiap ada omb akmenerpa
tubuhnya. Firman mengeraskan semangat membaca puisinya. Firman membacakan puisi
karya Sutardji Calzoum Bachrie.
Di dekat
staglamit, Indra dan Fitri berfoto bersama. Mereka begitu lengket.
Mereka memang dua orang insan yang selalu akur. Selalu bersama-sama. Ihsan dan
Ozi berdiri di batu menjulang. Merasakan sejuknya angin berhembus menerpa tubuh
mereka. Mereka menghayatinya penuh kesenangan. Wati mengajaknya berfoto bersama
di dekat staglamit. Terlihat begitu manjanya Wati memegang lengannya.
“Buat kenang-kenangan untuk saya bawa ke daerah saya.
Bahwa saya pernah punya teman yang baik dari Kalimantan,” kata Wati.
“Boleh juga saya satu ya. Dicuci. Buat kenang-kenangan
juga. Dapat teman cantik dari Bengkulu,” sahutnya.
“Ah, kamu bisa saja Rifki.”
“Yalah, apanya tidak bisa.”
Sekilas matanya memandang teman-temannya yang bermain
sepak bola pantai. Hatinya tertarik ikut bermain. Dia pamit pada Wati untuk
bergabung dengan teman-temannya untuk bermain sepak bola pantai. Wati
mengiyakan.
Dia pun bermain sepak bola pantai bersama teman-temannya.
Dia lincah berlari ke sana ke mari, seperti pemain profesional. Dia juga dapat
mencetak gol. Tepuk tangan teman-temannya bergemuruh. Teman-temannya juga
mengatakan,“Mantap Rifki.”
Rapiq memisahkan diri dengan teman-temannya. Sebab, Rapiq
ingin menemui Ningrum di batu bersusun rata sebelah kanan. Rapiq berdebar-debar
menemui Ningrum. Rapiq tidak sabaran mendengar keputusan Ningrum tentang
perasaan cintanya. Sesampai di depan Ningrum. Rapiq duduk dengan manisnya.
Ningrum ramah menyambutnya. Ningrum telah mempersiapkan keputusannya.
“Rapiq, saya berterima kasih, karena kamu sudah mencintai
saya. Tetapi, saya minta maaf padamu. Saya tidak bisa menerima cintamu. Sebab,
saya tidak punya getar cinta padamu. Lebih baik kita berteman saja ya?” kata
Ningrum memberikan keputusan.
Rapiq tidak bisa berkata-kata. Rapiq tertunduk lesu.
Seketika Rapiq berdiri. Terakhir kali diperhatikannya wajah Ningrum dengan
pandangan sayu.
“Terima kasih Ningrum atas jawabanmu. Saya memang salah.
Seharusnya saya tidak boleh mencintaimu. Gadis yang selalu diidolakan
pria-pria. Seharusnya saya tahu diri dari awal. Jangan menaruh cinta padamu.
Permisi,” kata Rapiq meninggalkan Ningrum sendirian dengan wajah kuyu. Rapiq
patah hati.
Dia melihat Rapiq melangkah dengan lemahnya.
Pasti cinta Rapiq ditolak
Ningrum. Kasihan Rapiq. Saya harus menghiburnya biar dapat melupakan
kesedihannya.
Dia menyusul Rapiq. “Rapiq tunggu?” serunya.
Rapiq tidak memedulikan seruan itu. Rapiq terus melangkah
gontai dan lesu. Membawa kekecewaan hatinya. Dia mengejar Rapiq sambil berseru
memanggil minta ditunggu. Rapiq tidak berhenti malahan mendengar seruan itu,
Rapiq mempercepat langkahnya. Rapiq ingin sendiri dan menenangkan hatinya. Rapiq
tidak mau diganggu oleh siapapun. Dia terengah-engah mengejar Rapiq yang
semakin menjauh dan tidak memedulikan seruanya. Saat dia ingin mengejar Rapiq
lagi. Sebuah seruan memanggil namanya. Dia menghentikan langkahnya. Dia tahu
suara itu. Suara Ningrum. Dia mulai bertanya-tanya dalam hati.
Ada keperluan apa Ningrum
memanggilnya?
Dia serba salah. Meneruskan mengejar Rapiq yang sudah
semakin jauh atau memenuhi panggilan Ningrum. Belum sempat dia memutuskan
pilihan yang berkecamuk dalam hatinya. Ningrum sudah berada dekat di
sampingnya. Dia salah tingkah. Matanya berserobotan dengan mata bening Ningrum.
Dia memberanikan membuka mulut.
“Ningrum, ada keperluan apa kamu memanggil saya? Ada yang
bisa dibantu?”
“Tentu ada perlu. Tepat sekali. Saya memang perlu
bantuanmu!”
“Bantuan apa yang bisa saya berikan?”
“Kamu bawakan sepeda motor saya. Maukan?”
“Membawakan sepeda motormu.”
Belum sempat dia memberikan keputusan. Ya atau tidak. Ningrum
sudah berkata lagi.
“Jangan lama mikirnya. Okelah. Sekali-kali bantu teman.
Yaya?” Ningrum memintanya penuh harap. Melihat Ningrum berharap seperti itu.
Dia tidak tegaan. Dia mengiyakan.
“Begitu dong baru mantap. Oya, sebelum mengantar sepeda
motor saya ke sekretariat UNY. Kita berdua mengelilingi Kota Yogya dulu ya?
Saya ingin mengajakmu menunjukkan keunikkan Kota Yogya yang belum kamu ketahui.”
“Apa? Mengelilingi Kota Yogya berdua denganmu? Apa saya
tidak salah dengar?” kejutnya.
“Tidak Rifki. Sekarang jangan banyak tanya dan berpikir?
Sekarang juga kita berangkat. Sepeda motor, saya simpan di balik batu itu. Mari
kita ke sana!” tunjuk Ningrum.
“Tapi, saya tidak tahu jalan Kota Yogya, Ningrum? Selain
itu, saya tidak enak berjalan berduaan denganmu? Apa kata teman-teman yang
mencintaimu? Apa kata pacarmu melihat saya berdua denganmu.”
“Sudahlah. Jangan kamu permasalahkan lagi urusan yang
tidak penting itu. Biarkan saja. Terpentingkan, kita tidak macam-macam. Masalah
pacar, apakah dia marah atau tidak? Itu urusan saya. Kamu tenang saja. Saya
jamin tidak akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan padamu. Sebab, sampai
saat ini saya belum punya pacar. Sekarang mari kita berangkat,” tarik Ningrum
pada tangannya.
Dia tertarik ke depan dan tidak mampu melepaskan tarikan
tangan Ningrum yang begitu kuat. Dia tak menyangka dipaksa seperti itu. Dia pun
terpaksa mengikuti langkah kaki Ningrum. Tanpa disadarinya sepasang mata
kegeraman mengawasinya. Sepertinya sepasang mata itu sangat marah.
Setibanya di tempat Ningrum memarkir sepeda motornya. Dia
meragu, tetapi Ningrum menguatkannya. Dia dipaksa Ningrum menaiki sepeda motor.
Ningrum pun mulai naik ke boncengan. Belum sempat mereka meninggalkan tempat
tersebut. Pria berwajah garang menghadang mereka. Pria itu memaksa Ningrum
untuk pulang. Tangan Ningrum berkali-kali ditariknya. Tetapi Ningrum berusaha
melepaskan tarikan tersebut. Dia hanya terpana melihat adegan tarik-menarik
itu. Kemudian Ningrum berteriak lantang dan minta tolong padanya. Baru dia
tersadar. Dia harus menolong Ningrum agar lepas dari cengkeraman pria berwajah
garang itu. Dia menegur pria itu.
“Hai Bung, jangan memaksa orang seperti itu. Kalau ingin
mengajak pulang seseorang. Lakukan dengan cara baik-baik. Jangan kasar seperti
itu.”
Mendengar ada yang menegurnya. Pria itu menoleh ke arahnya.
Pria itu menatap garang padanya.
“Hai Bung, jangan turut campur urusan saya. Kamu tahu
tidak siapa saya?”
“Tidak perlu saya tahu siapa Anda. Saya bilang lepaskan
Ningrum.” Sedikit meninggi suara saya.
“Beraninya kamu membentak saya. Mau jadi sok jagoan ya!”
gelegar pria itu. Nampaknya pria itu makin marah.
“Saya hanya tidak tega kalau seorang wanita diperlakukan
seperti itu.”
“Tidak tega? Kamu siapa Ningrum sehingga berani
membelanya?”
“Saya teman karibnya.”
“Hanya teman karib. Tidak mungkin. Bung, saya peringatkan
pada Anda. Jangan turut campur urusan saya. Ningrum, ayo kita pulang!” tarik
pria itu makin kencang. Setengah terseret Ningrum dipaksanya.
“Tidak! Saya tidak mau pulang,” ronta Ningrum. “Rifki,
tolong saya!”
“Harus. Kamu harus pulang!” pekik pria itu.
Kesabarannya mencapai finalnya. Tidak terbendung lagi.
Dia berteriak kepada pria itu.
“Lepaskan Ningrum!!!!”
Pria itu dan Ningrum kaget. Mereka tidak menyangka Rifki
bisa melakukan hal seperti itu. Pria itu terpana. Tidak lama pria itu sudah
bisa menguasai keadaan. Pria itu bisa bersikap tenang lagi.
Bagus Rifki, tunjukkanlah
kepedulianmu pada saya yang menunjukkan bahwa kamu sebenarnya sayang pada saya.
Akting ini harus saya lanjutkan terus. Saya ingin tahu respon Rifki
selanjutnya.
Tidak disangka. Tangannya menarik lengan Ningrum untuk
dilepaskan dari cengkeraman kuat tangan pria itu. Pria itu tidak mau kalah.
Sehingga terjadila tarik-menarik memperebutkan Ningrum. Ningrum meringis
kesakitan. Sebentar ke kanan sebentar ke kiri.
“Hai bung, rupanya kamu sudah berani melawan saya ya.
Saya ini tunangan Ningrum.”
“Tunangan Ningrum?” Cekalan tangan saya pada Ningrum
mengendor.
Tunangan Ningrum? Kalau
begitu saya tidak boleh mengusiknya. Tetapi, kasihan sekali Ningrum
diperlakukan tunangannya seperti itu. Saya harus menolongnya.
“Biar kamu tunangan Ningrum. Saya tak peduli. Karena,
kamu kasar dengannya. Lepaskan Ningrum sekarang juga!” pekiknya sekali lagi.
“Tidak! Banyak bacot kamu! Ini rasakan hadian saya atas
kelancanganmu mengganggu tunangan saya.” Pria itu melayangkan tinju ke arahnya.
Walau dalam keadaan seperti itu. Dia masih sigap. Dia menghindari tinju pria
itu.
Pria itu melepaskan cekalan tangannya pada Ningrum. Pria itu
sudah berancang-ancang melakukan tendangan. Pria itu ingin tahu sejauh mana
ilmu bela diri dia. Dia sudah bersiap-siap untuk menangkis serangan itu.
Ningrum yang dilepaskan pria itu buka suara. Mencegah pria itu melakukan
tendangan ke arah dia.
“Sudah cukup Tiwok! Tidak perlu dilanjutkan lagi. Aku
sudah tahu hasilnya.”
Tiwok menghentikan serangan. Tiwok tersenyum. Dia
kebingungan. Sesekali dia memperhatikan Tiwok dan sesekali dia memperhatikan
Ningrum. Apa maksud dari semua kejadian ini? Ningrum melakukan ini untuk
mengetahui apa darinya? Pusing kepalanya memikir itu. Dia belum menemukan
jawabannya. Yang dilakukannya hanya tergamam saja.
“Karena urusannya sudah selesai. Saya pamit ya Ningrum.
Selamat ya!” Tiwok menjabat tangan Ningrum. Ningrum juga menjabat tangan Tiwok.
“Terima kasih ya Tiwok atas bantuannya. Sekarang saya sudah
mendapatkan jawabannya.”
“Biasalah Ningrum. Kitakan berteman. Harus saling
tolong-menolong.” Tiwok mendekat ke arahnya.
“Bung Rifki, maafkan saya ya atas kejadian tadi. Itu
hanya akting belaka. Jaga teman saya ini baik-baik.” Tiwok menepuk bahu saya.
Menyadarkan saya dari ketergamaman. Belum sempat saya ingin menanyakan arti
kejadian tadi pada Tiwok. Rupanya Tiwok sudah jauh berjalan. Pandangan saya beralih
kepada Ningrum. Dipandang begitu, Ningrum tersenyum sumringah. Nampak segar
dari biasanya. Seolah-olah Ningrum memperoleh kebahagiaan hidup hari ini.
“Rifki, saya tahu tatapanmu itu. Kamu ingin tahukan,
mengapa saya menyuruh Tiwok melakukan hal tersebut? Nanti, sambil jalan-jalan
saja saya beritahu maksud dari kejadian tadi. Ayo! Sekarang kita berangkat.”
Ningrum segera duduk manis di boncengan.
“Baiklah.” Dia mengiyakan.
Dia menghidupkan sepeda motor. Suara sepeda motor
meraung. Dia mulai masukan gigi persneling. Ningrum merapatkan tubuh. Memegang
pahanya agar tidak jatuh dari boncengan. Sepeda motor yang ditumpangi dua orang
tersebut melaju meninggalkan Pantai Kukup dan Baron yang sudah sunyi. Melaju
membawa perasaan Ningrum yang bahagia dan perasaan dia yang tidak menentu.
Negeri Betuah, 30 Januari
2012
****
4 komentar:
mantap Pak,tapi endingnya memang gitu ya,,,
ya, memang begitulah endingnya. Kalau dikembangkan bisa jadi novelet atau novel. Jadi, lanjutannya silakan pembaca menilainya sesuai persepsi mereka masing-masing. terima kasih sudah membacanya.
makasih, selalu menulis dan menulis adalah suatu kebanggaan
betul sekali @gusnitaEfni. semoga kita selalu diberikan keberkahan untuk terus menulis dan menulis.
Posting Komentar