Wak Dolah melepaskan letih sehabis bekerja merakit kayu. Dia melonjorkan kakinya yang pegal. Sekilas matanya memandang pintu rumahnya yang sedikit
tertutup. Sesekali tangannya memijit kakinya yang kepenatan. Kemudian
terdengarlah jeritannya memanggil istrinya.
“Bu Itaaaaa, ambilkan air putih. Aku hausssssssssssssssss.”
“Ya, Pak!” sahut istrinya dari dalam.
Wak Dolah menunggu air putih yang dibawakan
istrinya. Istri yang ditunggunya memunculkan diri juga dari balik pintu rumah dengan membawa secerek air putih beserta gelasnya.
“Ini Pak air putihnya,” kata istrinya mempersilakan.
Secerek air putih dan gelas diletakkan istrinya
di hadapan suaminya. Wak Dolah segera menuangkan air putih yang
ada dalam cerek ke dalam gelas sampai penuh. Lalu air putih yang ada dalam
gelas itu diteguknya sampai tandas. Seketika kesejukan air putih mengalir dari
mulutnya menuju ke seluruh aliran darahnya. Menyegarkan kembali tubuhnya dari
keletihan bekerja merakit kayu. Istrinya merasa aneh, karena suaminya pulang sendirian. Padahal tadi
anaknya bernama Ita meminta izin padanya untuk mengikuti Bapaknya merakit kayu.
Keanehan itu membuat istrinya bertanya kepada suaminya.
“Pak, aku tidak melihat Ita pulang bersama Bapak? Memangnya Bapak tinggalkan di mana anak kita?” tanya istrinya yang duduk di samping suaminya.
Wak Dolah sedikit mengerutkan dahinya dengan
pertanyaan istrinya. Pertanyaan yang ganjil menurutnya. Dia menoleh ke arah
istrinya.
“Ita tidak bersama Bapak, Bu!” jawab suaminya.
“Jadi Ita, anak kita ke mana? Katanya, mau ikut dengan Bapak kerja merakit kayu?”
“Mana kutahu, Bu. Mungkin saja dia tidak jadi ikut dengan Bapak, karena Bapak
sudah duluan kerja merakit kayu. Ita membatalkannya. Mengubah haluannya. Mungkin Ita bermain di tempat teman-temannya. Coba Ibu cari
di rumah teman-temannya.”
“Ya, Pak. Ibu akan cari Ita ke rumah
teman-temannya. Karena, tidak biasanya dia
belum pulang jam-jam begini. Jam lima sore. Biasanya sebelum jam lima sore dia
sudah berada di rumah. Mengapa tiba-tiba perasaan hatiku jadi tak enak, Pak?
Jangan-jangan anak kita...”
“Tidak boleh Ibu berpikiran begitu.”
“Tapi, perasaan tidak enak seakan kuat mendera
perasaanku.”
“Sudahlah. Buang jauh perasaan tidak enak itu.
Begini saja. Mari kita cari anak
kita bersama-sama saja,” ajak Wak Dolah mengalah. Dia kasihan melihat istrinya mencari Ita sendirian.
“Bapak tidak keletihan?”
“Tidak Bu!”
Wak Dolah bersama istrinya segera mencari anaknya ke rumah teman-teman Ita, seperti Oti, Mari, dan Ifa. Teman-teman Ita mengatakan bahwa Ita
tidak bermain dengan mereka pada hari ini. Sehingga membuat Wak
Dolah dan istrinya letih sendiri untuk bertanya ke semua teman-teman Ita.
Karena, jawabannya Ita tidak
bermain dengan mereka.
Wak Dolah terlihat kuyu. Istrinya juga sama.
“Di mana lagi anak itu berada, Pak?” tanya istrinya melepaskan letihnya.
Istrinya duduk di rumah Intan. Wak Dolah juga duduk tidak jauh di samping
istrinya. Wak Dolah menoleh istrinya yang sama-sama letih.
“Mana aku tahu lagi, Bu!” jawab Wak Dolah.
Setelah hilang letih. Suami istri itu mencari
lagi anaknya bernama Ita ke seluruh pelosok yang ada di desa tersebut. Bahkan
penduduk desa yang mereka tanya tentang keberadaan Ita. Semuanya menjawab tidak
tahu. Semakin menyemaklah hati suami istri itu.
Mengetahui bahwa Ita, anak Wak Dolah hilang. Membuat
penduduk Desa Durian heboh. Mereka pun ikut terjun langsung membantu Wak Dolah dan istrinya mencari Ita. Penduduk desa bekeraong1 memanggil nama Ita. Pencarian terus berlanjut
sampai menjelang malam. Pencarian tidak hanya dipusatkan di daratan tapi juga beralih
pada semak belukar dan rampuk2 bagian laut. Daerah bagian laut yang masih banyak ditumbuhi rambang3, rumput
liak4, cengkodok, dan tumbuhan lain yang tidak
diketahui namanya. Biar pencarian berjalan lancar, ada sebagian penduduk desa membawa parang untuk menebas rumput dan tumbuhan yang berdiri sangat
tinggi. Rampuk yang tidak terlalu keras, diempik5 saja oleh penduduk desa. Dalam pencarian itu penduduk desa menggunakan alat penerangan berupa lampu strongking, lampu gantung,
dan senter. Penduduk desa mencari Ita dengan bekeraong. Dengan bekeraongan maka antu yang menyembunyikan Ita akan
mengembalikannya. Karena, kalau antu tidak mengembalikan Ita otomatis dia bisa diketahui penduduk desa dan dibunuh. Itu menurut kebiasaan yang
diturunkan dari orang tua terdahulu sampai sekarang.
Pencarian itu dipimpin ustad dan dukun
desa. Semalaman penduduk desa terus melakukan pencarian tiada letihnya. Hingga setengah daerah laut, sudah dijelajahi. Tapi,
Ita, anak Wak Dolah belum juga diketemukan. Pencarian di hari pertama tidak
membuahkan hasil. Pencarian akan dilanjutkan besok pagi.
Pencarian di hari kedua dilakukan. Penduduk desa berbondong-bondong lagi mengempik
dan menebas rampuk di bagian laut yang masih tersisa sambil meneriakan nama Ita. Tapi, Ita yang
dicari tidak ditemukan. Hampir semua rampuk
telah dijelajahi penuduk desa. Tapi, sekali lagi belum membuahkan hasil. Jangankan tubuhnya, kentut Ita saja tidak kelihatan. Penduduk desa tidak patah semangat. Penduduk desa terus melakukan pencarian. Tiba-tiba Ujang
mengusulkan sesuatu.
“Bapak-bapak semua yang ada di sini, mengapa tidak kita yasinkan saja biar
antu yang menyembunyikan Ita dapat mengembalikannya. Karena, antu takut
dengan bacaan yasin. Bacaan yasinkan panas untuk tubuh mereka. Jika sekiranya Antu Bengkek menyembunyikan Ita. Antu Bengkek itu akan mengembalikannya. Karena, dia tidak
tahan dengan kepanasan bacaan yasin.”
“Antu Bengkek?” aku kaget.
“Memangnya Antu Bengkek itu ada?” tanyaku penasaran.
“Adalah,” jawab Ujang.
“Memangnya seperti apa Antu Bengkek itu?”
“Kalau kamu ingin tahu Antu Bengkek tanya saja dengan Wak Andak Onget dan Pak Mok Adan. Mereka mengetahui perihal Antu Bengkek,” kata Ujang.
Aku mengangguk tanda mengiyakan. Nanti akan
kutanyakan perihal Antu Bengkek dengan
Wak Andak Onget dan Pak Mok Adan. Usulan Ujang juga mendapat pertimbangan semua
penduduk desa yang mencari Ita. Mereka akan coba mengikuti saran Ujang.
***
Aku duduk santai bersama Wak Andat Onget di
beranda rumahnya. Di halaman Feri dan teman-temannya asyik bermain guli. Main
guli kurong6. Dalam permainan guli kurong. Guli tagonan7 ditaruh di dalam lingkaran
yang menyerupai nyiru. Setiap orang
mulai menuju guli yang ada dalam lingkaran itu. Kalau keluar satu dia muntah8 satu. Kalau keluar dua, dia muntah dua dan seterusnya.
Seseorang dinyatakan menang kalau sudah mengalahkan semua lawannya.
Aku tidak memedulikan Feri dan temannya bermain
guli, tapi aku sibuk berbicara dengan Wak Andak Onget membicarakan tentang Antu Bengkek. Wak Andak Onget sedikit
memberikan informasi tentang Antu
Bengkek. Antu Bengkek wujudnya
seperti anak kecil. Seluruh tubuhnya sampai ke rambutnya berwarna kuning remawang9. Dia mengambil semangat orang yang ingin dimakannya.
Cara Antu Bengkek mengambil semangat
orang yaitu orang itu dibuatnya lemas tak bertenanga. Selanjutnya, orang itu
dibawanya ke dalam air untuk dimakannya. Tapi, namanya antu tetap takut dengan
bacaan ayat-ayat Allah, seperti yasin, doa kursi, dan lain sebagainya.
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Wak
Andak Onget tentang Antu Bengkek. Teh
yang dihidangkannya kuteguk tandas.
“Wak Andak, asal mula Antu Bengkek darimana?” tanyaku.
Wak Andak Onget terdiam. Bukannya menjawab
pertanyaanku, malahan Wak Andak Onget balik bertanya.
“Ada apa kamu ingin tahu tentang Antu Bengkek?”
“Penasaran saja. Semua yang ada di dunia inikan
punya asal-usulnya. Masak Antu Bengkek
tidak punya asal-usul. Itukan aneh.”
“Betul katamu, Rasyid. Tapi maaf, pengetahuanku
tentang Antu Bengkek hanya sebatas
itu. Selebihnya aku tidak tahu. Dengar-dengar dari penduduk desa bahwa yang
banyak tahu tentang Antu Bengkek adalah
Pak Mok Adan. Pak Mok Adan dukun besar di desa ini. Tapi, susah sekali mengorek
informasi tentang Antu Bengkek darinya.
Sudah banyak masyarakat mau tahu tentang asal-usul Antu Bengkek dari Pak Mok Adan, tapi tak pernah dapat. Walau
diiming-iming dengan apapun. Dia tetap tidak memberitahukan asal-usul Antu Bengkek. Dia seolah-olah takut
menceritakan perihal Antu Bengkek kepada
siapa saja. Sepertinya ada rahasia terselubung, mengapa dia tidak berani
menceritakan hal tersebut? Kalau kamu mau coba, silakan saja tanyakan dengan
Pak Mok Adan. Wak Andak hanya berdoa semoga kamu berhasil. Kalau kamu berhasil,
berarti kamu adalah orang pertama yang mendapatkan informasi jelas tentang Antu Bengkek dari Pak Mok Adan. Sumber
yang dapat dipercaya.”
“Oh begitu, Wak Andak. Baiklah. Aku akan
tanyakan tentang Antu Bengkek ini
dengan Pak Mok Adan. Aku akan mencari cara agar Pak Mok Adan mau menceritakan mengenai
Antu Bengkek kepadaku.”
“Semoga saja kamu berhasil. Rasyid, Wak Andak
pamit dulu ya. Mau membantu penduduk desa mencari Ita. Tidak enak juga kalau
tak membantu penduduk desa. Apa nanti kata penduduk desa?” kata Wak Andak Onget
turun dari rumahnya mendatangi penduduk desa yang terus mencari Ita.
“Baiklah Wak Andak, aku juga ikut mencari,” kataku
sambil melangkah mengikuti arah langkah kaki Wak Andak Onget. Ikut berpartisipasi
mencari Ita.
***
Rambang
dan rampuk yang tinggi sudah rata
dengan tanah diempik orang-orang.
Yasin dan ayat kursi dibacakan penduduk desa beramai-ramai sehingga riuh rendah.
Pencarian tetap terus dilakukan penduduk desa. Pencarian tidak hanya berkisar
di daratan tepi laut. Malahan lautan juga dijelajahi. Berpuluhan sampan dikayuh
penduduk desa dari ulu ke ilik. Tujuannya untuk mendapatkan Ita. Pawang buaya
juga diminta jasanya. Pawang buaya memasang alerannya. Dengan aleran itu buaya
yang bersalah akan mengembalikannya. Semua cara sudah dilakukan. Tapi,
tanda-tanda Ita ditemukan belum juga terlihat. Jadi, pencarian di hari kedua
ini tidak membuahkan hasil. Pencarian di hari kedua dihentikan karena menjelang
magrib. Nanti setelah magrib dilanjutkan lagi.
Setelah magrib penduduk desa melakukan pencarian
lagi yang dipusatkan di lautan. Sampan-sampan dikayuh penduduk desa dari ulu ke
ilik dengan menggunakan penerangan lampu gantung dan lampu suar. Lampu suar
adalah lampu yang ada semporongnya. Cahaya lampu suar memancar pada satu arah
yang digunakan penduduk desa untuk menyuluh udang. Sehingga jalanan yang
dilalui setiap sampan-sampan tersebut menjadi terang benderang seperti siang. Sampai
tengah malam, Ita belum juga ditemukan. Pencarian dihentikan akan dilanjutkan besok
pagi.
Pagi-pagi sekali sampan pencari mulai bekerja
mencari Ita. Dari ulu ke ilik. Sampan yang di ilik, gempar. Mereka menemukan
mayat Ita yang mengapung di air laut. Mayat Ita dibawa ke rumah orang tuanya.
Orang tuanya menjerit melihat nasib anaknya seperti itu. Matanya sepoak10.
Kakinya sepoak. Pahanya sepoak. Susu sepoak. Di bagian jantung dan hatinya juga sepoak. Kelaminnya juga sepoak.
Tapi, anggota tubuhnya yang lain utuh.
Orang-orang yang melihat mayat Ita mulai berpikir.
Dimakan buaya tidak mungkin. Karena, kalau buaya yang makan tidak akan pernah
disisakan lagi tubuhnya. Paling-paling kalau ditemukan mayatnya, pasti tubuhnya
tinggal sebelah saja. Seperti kejadian seorang pekerja kayu di Kualan Guntung.
Dia dimakan buaya. Badannya sebelah sudah tidak ada lagi. Itu pun cepat dikerenahkan11 dukun. Kalau tidak cepat dikerenahkan dukun. Pasti tubuh pekerja
kayu yang malang itu tidak ada lagi. Dimakan ikan juga tidak mungkin. Mana
mungkin ikan makan alat-alat vital manusia. Jika sekiranya dimakan ikan, semua
tubuh Ita sudah cabik sana-sini tak karuan lagi. Ini pasti dimakan Antu Bengkek. Ya. Dimakan Antu Bengkek. Antu Bengkek kan memang suka
makan semangat dan alat-alat vital manusia. Itulah sedikit informasi yang
diperoleh masyarakat mengenai Antu
Bengkek secara turun-temurun dari generasi sebelumnya sampai generasi
sekarang. Namun, informasi dari turun-temurun itu belum ada menjelaskan secara gamblang
bagaimana cara membunuh Antu Bengkek.
Penduduk desa yang melihat mayat Ita kengeriaan.
Ada sampai bergidik melihatnya. Sampai Ita dimakamkan, kengerian itu masih penduduk
desa rasakan. Pulang ke rumah masing-masing juga masih terbayang-bayang
kengerian itu oleh penduduk desa. Seolah-olah kengerian itu tidak mau pergi
dari benak pikiran penduduk desa. Sampai-sampai
mau tidur kengerian itu datang lagi sehingga membuat penduduk desa beristighfar
menyebut nama Allah. Setelah menyebut nama Allah, barulah bayangan kengerian itu
berangsur-angsur memudar dan memupus. Sehingga penduduk desa bisa tidur dengan
tenang.
Kejadian Ita dimakan Antu Bengkek membuat penduduk Desa Durian bersikap waspada. Penduduk
desa melarang anak-anaknya untuk belimbor12 ke laut saat petang serepat13. Takut anak-anak mereka dimakan Antu Bengkek seperti yang dialami Ita anak
Wak Dolah. Penduduk desa juga mengadakan penjagaaan. Mengantisipasi Antu Bengkek untuk mengambil korban
berikutnya.
***
Selepas Zuhur aku ke rumah Pak Mok Adan. Tapi,
Pak Mok Adan tidak ada. Aku hanya bertemu dengan Sulas, anak bungsunya. Kata
Sulas, apaknya14 pergi memancing. Sore baru pulang. Akhirnya, aku hanya
titip pesan sama Sulas untuk disampaikan pada apaknya. Bahwa aku akan datang setelah Magrib. Sulas mengangguk
tanda mengiyakan.
Selepas magrib, aku datang ke rumah Pak Mok
Adan. Aku disambut ramah Pak Mok Adan. Aku berpikir, mungkin pesanku sudah disampaikan oleh Sulas. Aku dipersilakan Pak
Mok Adan duduk. Aku pun duduk di kursi yang sudah disediakan. Di depan mejaku sudah
tersedia ubi rambat rebus yang masih hangat. Terlihat kepulan asap ubi rambat
rebus terus keluar menembus lubang-lubang angin rumah Pak Mok Adan.
“Rasyid, mau minum teh atau kopi?” tanya Pak Mok
Adan.
“Terserahlah, Pak Mok,” jawabku sekenanya.
“Kalau begitu kita minum kopi saja biar hangat,”
balas Pak Mok Adan.
“Bolehlah.” Aku mengiyakan.
Pak Mok Adan memanggil anak bungsunya minta dibuatkan
kopi dua gelas. Anak bungsunya segera membuatkan kopi yang diminta oleh apaknya. Tidak begitu lama dua gelas
kopi dihidangkan anak bungsunya di depan meja kami yang berwarna cokelat.
Setelah menghidangkan dua gelas kopi, anak bungsunya permisi masuk kamar. Anak
bungsunya tidak ingin mengusik pembicaraan apaknya
denganku.
“Silakan diminum Nak Rasyid selagi masih hangat.
Sekalian ubi rambatnya dimakan.” Pak Mok Adan mempersilakanku untuk menikmati
air kopi dan mencicipi ubi rambat rebus.
“Ya, Pak Mok,” sahutku.
Aku menarik gelas kopi yang tersedia di atas
meja. Menghirup pelan-pelan. Terasa kehangatan mengaliri tenggorokan. Tanganku tidak
ketinggalan menjumput15 ubi rambat rebus dalam piring yang terletak di
atas meja. Mengupas kulitnya lalu memakannya dengan penuh kenikmatan. Setelah
itu, aku mengutarakan maksud kedatanganku menemui Pak Mok Adan. Pak Mok Adan
berhenti sejenak. Dia menatapku. Selanjutnya dia membuka mulut.
“Nak Rasyid, aku akan cerita ikhwal Antu Bengkek. Tapi setelah kamu tahu,
jangan kamu ceritakan ke orang lain. Janji?”
“Kok, bisa begitu Pak Mok? Mengapa musti tidak
boleh diceritakan kepada orang lain? Memangnya kalau diceritakan akan berdampak
pada kita?”
“Ya. Pasti berdampak pada kita. Karena, itu sudah
sumpahnya.”
Aku manggut-manggut. Aku teringat kata Wak Andak
Onget. Benar kata Wak Andak Onget. Untuk mengetahui cerita tentang Antu Bengkek, aku disuruh Pak Mok Adan
berjanji. Pasti ada rahasia terselubung di balik asal-usul Antu Bengkek ini. Sepertinya, Antu
Bengkek tidak ingin semua orang mengetahui asal-usulnya. Apakah aku harus
berjanji hanya untuk mengetahui asal-usul Antu
Bengkek?
Belum habis aku memutuskan ya atau tidak janjiku.
Pak Mok Adan melanjutkan ucapannya.
“Kalau kamu tidak mau berjanji, ya sudah. Pak
Mok juga tidak memaksa. Berarti Pak Mok tidak akan bercerita ikhwal Antu Bengkek padamu. Bagaimana? Mau
berjanji atau tidak? Terserah Nak Rasyid?”
Aku mulai mempertimbangkan lagi kemauan Pak Mok
Adan. Berpikir dengan jernih. Akhirnya, aku setuju.
“Oke Pak Mok Adan. Aku berjanji tidak akan
memberitahukan ikhwal Antu Bengkek ini
kepada siapapun. Kalau aku melanggar, aku siap menerima sumpahnya,” kataku
tegas dan mantap hati.
Setelah mendengar janji yang kukatakan. Pak Mok
Adan memulai ceritanya tentang Antu
Bengkek.
***
Beng
hidup berdua dengan ibunya di sebuah rumah sederhana. Rumah itu peninggalan
apaknya yang sudah duluan meninggal dunia. Rumah sederhana itu dikelilingi
dengan gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi di setiap sudutnya. Rumput liak
dan bunga kembang sepatu menghiasinya. Tumbuhan tersebut tumbuh dengan
suburnya. Tingginya mencapai 20 sentimeter. Ibu Beng bekerja mengambil kayu
bakar di hutan. Hasil dari kayu bakar dijual kepada penduduk desa yang
membutuhkan. Tidak hanya itu ibunya juga mengambil pakis dan kulat untuk dijual
ke penduduk desa. Selain itu, sebagian tumbuhan yang diperoleh ibunya juga digunakan
untuk memenuhi makan mereka setiap hari. Ibu Beng merasa gembira kalau hari
hujan. Sebab pakis dan kulat akan tumbuh dengan subur bila hari hujan. Jadi, ibu
Beng akan banyak mendapatkan pakis dan kulat untuk dijual.
Beng
kerjanya hanya bermain di halaman rumahnya, tidak boleh jauh-jauh bermain,
pesan ibunya selama ibunya pergi ke hutan. Beng hanya bermain dengan tumbuhan
liak dan kembang sepatu. Kadang-kadang Beng mengorek-ngorek tanah, membuat
lubang, atau mengambil tanah dibentuknya sedemikian rupa menjadi sesuatu yang
dikhayalkannya. Anak-anak tetangga tak pernah mengajak Beng bermain. Beng
selalu dikucilkan.
Tiba-tiba
Beng merasa bosan juga bermain sendiri. Dia mulai mencari teman untuk diajaknya
bermain. Tapi, semua anak-anak Desa Durian tidak mau bermain dengannya. Malahan anak-anak Desa Durian mengejeknya.
“Anak kerdil. Anak ceking. Anak kampang16.”
Satu kali ejekan teman-temannya dianggap Beng biasa saja. Tapi, sudah berkali-kali
Beng marah juga dengan ejekan teman-temannya. Maka satu per satu anak yang
mengejeknya diserangnya. Ada yang digigit pahanya, susunya, matanya, dan
kelaminnya oleh Beng. Anak-anak tersebut menjerit kesakitan. Anak tersebut
mengadukan perihal tersebut kepada ibu bapaknya. Sehingga ibu bapak anak
tersebut memarahi ibu Beng agar dapat mengajar anaknya dengan baik. Ibu Beng
sangat marah kepada Beng. Beng diplasah17
ibunya habis-habisan dengan buluh kuning bertemu ruas sehingga belebaman18 tubuhnya. Beng tidak
melawan diplasah ibunya. Hanya air matanya menetes di pipinya menahan rasa sakit
diplasah ibunya dengan buluh kuning bertemu ruas.
Akibat
diplasah ibunya dengan buluh kuning bertemu ruasnya Beng jatuh sakit. Tubuhnya
kurus kering. Matanya kuyu. Hampir saja dia meninggal. Kalau saja Ibu Beng tidak
membuang Beng ke laut. Setelah Ibu Beng mendapat wangsit dari seseorang yang
tidak dikenalnya dalam tidur. Wangsit seseorang itu menyuruh Ibu Beng untuk
membuang Beng ke laut agar penyakit Beng dapat disembuhkan. Semula Ibu Beng
ragu dan tidak mau melaksanakan wangsit tersebut. Tapi, setelah kejadian itu
dialaminya tiga kali berturut-turut. Akhirnya, Ibu Beng melaksanakan juga
wangsit tersebut. Dengan berat hati ibu Beng membuang Beng ke laut. Setelah Beng
dibuangnya ke laut, Beng tidak muncul-muncul lagi. Membuat ibu Beng
meraung-raung menangisi kepergian Beng. Seharian Ibu Beng masih menunggu di
laut, menanti kedatangan anaknya. Sampai malam menjelang, Beng tak pernah
memunculkan dirinya. Ibu Beng tak patah semangat. Dia terus menanti kedatangan
anaknya. Sehingga tanpa disadarinya dia tertidur di tepian laut. Dalam
tidurnya, dia diberi wangsit lagi oleh orang yang sama. Orang yang menyuruh dia
membuang Beng ke laut. Orang itu menyuruh Ibu Beng pulang saja ke rumah. Melupakan
dan mengikhlaskan Beng untuk dirawat oleh mereka.
“Tidakkkkkkkkkkkkkkk!”
jerit Ibu Beng ketika terbangun dari tidurnya.
Ibu Beng
mengatur pernapasannya agar normal kembali. Sehabis dia mengalami mimpi yang
membuat napasnya tak teratur. Setelah pernapasannya normal. Ibu Beng mulai
berpikir. Mempertimbangkan keputusan yang diambilnya. Ibu Beng memutuskan
kembali ke rumahnya.
***
Sejak menghilangnya
Beng dan ibunya. Terjadilah kejadian aneh tersebut. Anak-anak yang memusuhi
Beng hilang tiada rimbanya. Selain itu, orang tua anak tersebut juga menghilang
tanpa diketahui pasti oleh penduduk desa Durian yang lain. Membuat Desa Durian
menjadi heboh. Penduduk Desa Durian bahu-membahu mencari mereka yang hilang,
tapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Menemui jalan buntu. Seolah-olah
mereka hilang raib ditelan bumi. Kasak-kusuk mulai terjadi. Penduduk Desa
Durian mulai banyak angkat bicara. Ada yang mengatakan diambil orang kebenaran.
Ada yang mengatakan diambil antu janji19.
Tapi yang mengejutkan ada yang mengatakan bahwa mereka dimakan Antu Bengkek. Antu
Bengkek yang merupakan jelmaan Beng yang sudah jadi antu. Antu Bengkek balas
dendam kepada orang-orang tersebut.
Masuk
akal juga. Penduduk Desa Durian mulai menyadari bahwa Antu Bengkeklah pelaku
kejadian aneh yang menimpa anak dan orang tua anak tersebut yang menghilang
tiada rimbanya, hilang raib ditelan bumi. Untuk mengantisipasi Antu Bengkek memakan
korban yang lain penduduk Desa Durian mengadakan ronda desa. Setiap penduduk
Desa Durian mendapat giliran ronda. Setiap malam dan siang, siap selalu. Sampai
berpuluhan tahun, kejadian aneh tersebut tidak terulang lagi. Tapi, pada tahun
kedua puluh lima, salah satu penduduk Desa Durian dimakan Antu Bengkek lagi. Desa
Durian heboh lagi.
“Mengapa sampai terjadi lagi kejadian tersebut
Pak Mok?” potongku pada cerita Pak Mok Adan.
“Karena, ada seseorang yang telah melecehkan Antu Bengkek. Orang yang melecehkannya
itu yang jadi sasaran kematiannya,” jawab Pak Mok Adan.
“Tapi mengapa Antu Bengkek tidak dibunuh
saja oleh penduduk desa?” tanyaku lagi.
“Kamu tak tahu Nak Rasyid, bahwa Antu Bengkek tidak bisa dibunuh dengan
senjata apapun, kecuali dengan satu barang,” jawab Pak Mok Adan.
“Barang apa Pak Mok Adan?”
“Masak kamu lupa dengan barang tersebut? Barang
tersebut sudah ada dalam cerita tentang Antu
Bengkek yang aku ceritakan barusan. Barang tersebut digunakan ibunya untuk
menghukum Beng sampai demam dan hampir mati. Barang tersebutlah yang diyakini
dapat mengalahkan Antu Bengkek dan
keturunannya.” Pak Mok Adan menjelaskannya padaku.
Aku merenung sebentar. Mengingat jalan cerita
yang sudah diceritakan Pak Mok Adan. Akhirnya, aku mengerti barang yang
dimaksud Pak Mok Adan.
“Buluh kuning yang bertemu ruasnya ya, Pak Mok?”
kataku senang.
“Ya, itulah barangnya,” jawab Pak Mok Adan.
Aku manggut-manggut. “O ya Pak Mok, sebelum Pak
Mok menceritakan panjang lebar cerita Antu
Bengkek, Pak Mok pernah menyuruhku untuk berjanji. Kalau tidak mau
berjanji, Pak Mok tak mau menceritakan tentang Antu Bengkek. Jika melanggar janji tersebut akan terkena tulah20.
Tulah semacam apa yang akan dialami?”
tanyaku.
“O ya mengenai tulah itu kalau kita melanggar janji tersebut, nanti Pak Mok beritahukan
besok malam. Sekarang Pak Mok mau istirahat dulu. Maaf ya Nak Rasyid bukan
maksud mengusir,” kata Pak Mok minta pengertian dariku.
Aku paham dengan kata Pak Mok Adan seperti itu.
Bahwa Pak Mok Adan mau istirahat sehabis bekerja tadi. Sudah untung, Pak Mok
Adan dapat menyempatkan waktunya mau bercerita tentang Antu Bengkek kepadaku. Alhamdulillah. Sedikit. Aku sudah mendapat
gambaran tentang Antu Bengkek. Selain
itu, aku juga harus sadar diri. Memberikan kesempatan kepada Pak Mok Adan untuk
istirahat. Sebelum pamit diri, aku sempat mengerling melihat jam dinding yang
tergantung di dinding kamarnya yang tidak jauh dari kami berdua. Jam dinding
tersebut menunjukkan angka sebelas.
Pantasan
Pak Mok Adan mau istirahat. Sudah malam rupanya.
“Ya, Pak Mok. Aku pulang dulu. Besok malam, aku
datang ke sini lagi. Selamat beristirahat,” kataku.
“Ya, Nak Rasyid. Hati-hati di jalan,” sahut Pak
Mok Adan.
Pak Mok Adan mengantarku sampai depan rumahnya.
Aku terus melangkah meninggalkan rumah Pak Mok Adan membawa sesuatu yang
menyenangkan. Karena, aku orang pertama di desaku, mendapatkan cerita lengkap
tentang Antu Bengkek dari sumber
dipercaya. Walaupun malam ini baru sebagian ceritanya. Tapi malam besok akan
tuntaslah ceritanya.
***
Penduduk Desa Durian terlihat meronda.
Mengantisipasi kejadian agar Antu Bengkek
tidak menelan korban lagi. Penjagaan diperketat saat petang serepat. Karena, waktu itulah Antu Bengkek sering memunculkan dirinya. Di pos ronda, terlihat
Ripai, Amin, Antok, dan Simul berjaga-jaga. Pentungan terselip di pinggang kiri
mereka. Siap ditarik untuk dipukulkan ke Antu
Bengkek. Aku sudah bersiap diri pergi ke rumah Pak Mok Adan. Ingin
mengetahui kelanjutan cerita Antu
Bengkek.
Selepas Magrib. Aku sudah berada di rumah Pak
Mok Adan. Seperti biasa, di ruang tamu, aku duduk santai. Disuguhkan segelas
teh manis oleh Sulas anak bungsu Pak Mok Adan. Pak Mok Adan lagi memakai baju di
kamarnya. Kemudian Pak Mok Adan keluar dari kamarnya. Pak Mok Adan memakai
piyama putih dan kain sarung terusan garis-garis. Pak Mok Adan duduk di
sampingku. Pak Mok Adan tersenyum menatapku. Aku membalas senyumannya. Tapi, malam
ini seperti malam sebelumnya. Aku tidak disuguhkan ubi rambat rebus. Hanya air
teh saja. Tapi tak mengapa. Itu sudah cukup. Terpenting cerita Antu Bengkek dapat kuketahui
sejelas-jelasnya dari Pak Mok Adan.
“Oya sampai di mana cerita kita kemarin malam?”
tanya Pak Mok Adan. Tangannya bergerak meraih gelas teh yang dihidangkan
anaknya sedari tadi. Teh itu diteguknya pelan-pelan sehingga sejuk mengaliri
pernapasannya. Gelas teh diletakkannya di atas meja.
“Sampai salah satu penduduk desa dimakan Antu Bengkek,” jawabku.
“O, sampai di situ. Baiklah kulanjutkan
ceritanya,” sambung Pak Mok Adan.
“Tunggu dulu Pak Mok Adan? Kata Pak Mok Adan
akan menjawab pertanyaanku kemarin. Tulah
apa yang akan menimpa orang melanggar janji setelah mendengar cerita Antu Bengkek?” potongku.
Pak Mok Adan berhenti sejenak. Dia tersenyum.
Sekali lagi diteguknya air teh di gelasnya kemudian diletakkan kembali di depan
mejaku. Setelah itu dia bersuara.
“Mengenai tulah
apa yang dialami orang yang melanggar janji tersebut akan kamu dapatkan
dalam lanjutan ceritanya,” kata Pak Mok Adan kembali. Pak Mok Adan mulai
melanjutkan cerita Antu Bengkek. Aku
mendengarkannya dengan saksama.
Ada salah
satu penduduk Desa Durian yang mengetahui kelemahan Antu Bengkek. Kelemahan
Antu Bengkek diceritakannya kepada penduduk desa yang lain. Maka hampir seluruh
penduduk Desa Durian mengetahui kelemahan Antu Bengkek. Mereka mulai mencari
buluh kuning bertemu ruas untuk melawan Antu Bengkek. Tapi, buluh kuning
bertemu ruas itu sulit didapatkan. Hanya keberuntunganlah bagi orang-orang yang
dapat menemukan buluh kuning bertemu ruas.
Karena,
tidak mendapat buluh kuning bertemu ruas. Kemalanganlah yang harus mereka
terima. Mereka yang mengetahui kelemahan Antu Bengkek menjadi korban Antu
Bengkek. Mereka satu per satu dibunuh oleh Antu Bengkek. Sehingga tinggal satu
orang saja yang tidak dapat Antu Bengkek bunuh. Karena, orang tersebut memiliki
buluh kuning bertemu ruas. Orang itu bernama Lauri. Dari Laurilah turun temurun
cerita Antu Bengkek yang jelas. Lauri juga berpesan kepada penerusnya agar
tidak mencari masalah dengan Antu Bengkek. Selain itu, cerita tentang Antu
Bengkek jangan diceritakan pada orang lain yang tidak dapat menjaga rahasianya.
Karena, kalau diceritakan kepada orang lain, takut orang tersebut tidak bisa
menjaga rahasia itu. Akibatnya, orang itu akan diburu dan dibunuh oleh Antu
Bengkek. Sebab, Antu Bengkek tidak ingin rahasianya diketahui oleh orang lain.
Begitulah ceritanya.
“Oooo, sekarang aku mengerti Pak Mok Adan.”
“Syukurlah kalau kamu sudah mengerti. Aku hanya
berpesan padamu. Hati-hatilah. Sekarang, kamu salah satu orang yang jadi
incaran Antu Bengkek.”
“Ya Pak Mok Adan. Aku akan berhati-hati,”
sahutku.
Jam telah menunjukkan angka sepuluh. Aku pamit
diri. Pak Mok Adan tersenyum. Seperti biasa, Pak Mok Adan mengantarku sampai di
depan rumahnya. Pak Mok Adan melepaskan kepergianku dengan ketenangan. Aku
melangkah meninggalkan rumahnya dengan ketenangan juga. Karena, malam ini
cerita mengenai Antu Bengkek sudah
kudapatkan dengan sejelas-jelasnya. Walaupun, aku menyadari bahaya dari Antu Bengkek akan mendatangiku. Tapi,
aku sudah mempersiapkan diriku untuk menghalau bahaya yang ditimbulkan Antu Bengkek. Aku akan membentengi
diriku dengan buluh kuning bertemu ruas dan keyakinan kuat kepada Allah. Dua
hal tersebut akan menghalau bahaya yang ditimbulkan Antu Bengkek.
***
Petang
serepat itu, Antu Bengkek mendatangi rumahku. Saat aku duduk santai di depan
teras rumah. Antu Bengkek mencoba
mengambil semangatku. Biar bisa diajaknya masuk ke laut. Kalau sudah masuk ke
laut. Antu Bengkek akan leluasa
memakanku. Tapi, Antu Bengkek tak
mampu mengambil semangatku. Karena, aku memiliki semangat kuat yang bersumber
dari keyakinan kuat pada Allah. Membuat Antu
Bengkek mengkeret. Antu Bengkek melarikan
diri. Aku mengejarnya. Saat aku mengejar Antu
Bengkek terlihat oleh penduduk Desa. Maka beramai-ramai penduduk desa ikut bersamaku
mengejar Antu Bengkek dengan membawa
peralatan apa saja yang bisa digunakan untuk membunuh Antu Bengkek.
Salah satu penduduk desa memberitahukan pengejaranku
bersama penduduk desa kepada Pak Mok Adan. Sehingga Pak Mok Adan ikut mengejar Antu Bengkek dengan membawa buluh kuning
bertemu ruas sepanjang 50 sentimeter.
Antu
Bengkek terus berlari kencangnya. Antu Bengkek terdesak sampai di tepian
laut. Sejenak Antu Bengkek berhenti.
Membuat kami semua juga berhenti. Antu
Bengkek memandangi kami semua dengan wajah garang. Selanjutnya Antu Bengkek mau menyelamatkan diri
dengan melompat ke laut. Tapi, Pak Mok Adan dengan kesigapan. Membaca apa yang
akan dilakukan Antu Bengkek. Pak Mok
Adan melemparkan buluh kuning bertemu ruas yang berada di tangan kanannya ke
arah Antu Bengkek.
Tak. Lemparan Pak Mok Adan tepat mengenai dada Antu Bengkek. Terdengar kata mengaduh
dari mulut Antu Bengkek. Setelah itu
hanya terlihat rinik Antu Bengkek. Dari
rinikannya yang keluar ke permukaan air terlihatlah cairan biru.
Tanpa diperintah oleh siapapun, aku segera
mengarahkan mataku menatap air laut yang berwarna biru bekas menghilangnya Antu Bengkek tersebut. Arah tatapan
mataku rupanya diikuti juga arah tatapan mata Pak Mok Adan dan penduduk desa.
Negeri Betuah, Maret 2012
*******
Catatan:
1.
Bekeraong : berteriak beramai-ramai secara serentak untuk menyebutkan
sesuatu atau nama seseorang.
2.
Rampuk : kumpulan tumbuhan-tumbuhan kecil yang tumbuh lebat di hutan.
3.
Rambang : sejenis tumbuhan yang durinya tajam membeset kulit sehingga kulit berdarah.
4.
Rumput liak : sejenis rumput yang berwarna hijau yang batangnya agak keras.
5.
Diempik : didorong menggunakan tubuh sehingga tumbuhan tersebut rebah ke bumi.
6.
Kurong : kurung
7.
Tagonan : guli yang disajikan dalam lingkaran seperti nyiru dalam permainan guli.
8.
Muntah : guli yang diperoleh seseorang setelah seseorang menembak guli dalam
kurungan seperti nyiru dalam permainan guli.
9.
Remawang : sangat pekat; sangat kental tentang warna.
10.
Sepoak : hilangnya sebagian daging pada tubuh yang sebesar kotak sabun b 29.
11.
Dikerenahkan : mengerjakan sesuatu sesuai dengan ilmu perdukunan yang dikerjakan oleh
seorang dukun.
12.
Petang serepat : waktu sore hari sebelum masuk waktu magrib.
13.
Belimbor : berenang.
14.
Apak : ayah; bapak.
15.
Menjumput : mengambil sesuatu barang dengan menggunakan telapak dan jari tangan.
16.
Anak kampang : anak yang dilahirkan tanpa memiliki ayah.
17.
Diplasah : memukul seseorang dengan menggunakan lidi atau alat pukul lain.
18.
Belebaman : bengkak-bengkak biru pada tubuh akibat pukulan.
19.
Antu janji : antu yang datang kepada seseorang karena ada janji seseorang dengan antu
tersebut.
20.
Tulah : terkena kualat atau sumpah.
21.
Antu Bengkek : sejenis antu yang wujudnya seperti anak kecil yang tubuh dan rambutnya
berwarna kuning yang dipercaya penduduk desa mengambil semangat orang dan
memakan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar