Selasa, 24 Juli 2007

Target Merah

Oleh : M.Saifun salakim

Pasukan Teliksandi adalah pasukan khusus yang bertugas untuk mencari informasi mengenai hal penting. Juga bisa tentang hilangnya sebuah tongkat pada diri anak manusia di hamparan luasnya jenggot Pantai Pulau Datuk.
Pantai Pulau Datuk terletak di kecamatan Sukadana. Tepatnya berbatasan dengan daerah Tanah Merah dan Pangkalan Buton. Pantai Pulau Datuk merupakan salah satu daerah objek wisata terkenal di daerah Kabupaten Ketapang. Oleh karena itu, hutan yang ada di kawasan daerah Pulau Datuk masih tanggungan Pemerintah Kabupaten Ketapang. Daerah hutan di sekitar Pulau Datuk menjadi hutan lindung, yang dijaga keberadaannya dan keasliannya. Biar tetap orisinil. Pulau Datuk sebagai objek wisata ramai dikunjungi orang-orang pada waktu pas lebaran puasa atau idul fitri dan lebaran haji atau idul adha. Bahkan yang membuatnya semakin semarak, dengan adanya hiburan rakyat selama tiga hari pertama… Wah, sungguh meriah ! Pantai Pulau Datuk tersenyum setiap saat.
Oh ya, kehilangan tongkat yang jadi pedoman dalam kehidupan ini membuat kebutaan yang melanda bercokol erat disana. Mendekam dalam-dalam. Seakan betah berdiam disana. Kegelapan juga bersemayam dalam langit jiwa. Sebab orang-orang sudah terlena dibuai keindahan-keindahan semu. Selama ini mereka kejar. Mendewakan harta benda, menyamarkan materialistis dengan topeng kedermawanan dan kepemurahan. Meninggikan modernis yang salah, tanpa sadarnya telah terjadi dekadensi akidah dan keimanan. Katanya sih, jangan kolotlah. Inilah seni. Seni apaan? Seni keindahan. Wah, …. Sudahlah! Tidak kurang dari itu ambisi dan rasa ketidakpuasan membuat orang jadi lupa diri dan semakin jauh keluar dari rel keagamaannya. Karena yang mereka kejar bukan kebaikan diri tapi kehancuran akidah dan itu tanpa mereka sadari atau sebaliknya mereka menyadarinya. Tapi diabaikannya saja. Itulah kebutaan yang melanda. Boleh dibilang buta dilindungi oleh tirai kelam dan terang mendekam di balik itu. Mata mereka melihat tapi jiwa mereka adalah blindness. Oleh karena itu, diperlukan penerangan seperti sebuah pelita menerangi ruangan penuh kesunyian dan kesenyapan agar terang benderang.
Pasukan Teliksandi tidak pernah mengenal kata menyerah. Walau medan yang diarungi serba sulit bahkan berlika-liku dan penuh dengan intaian maut. Setiap saat akan menggerogoti jiwa kalau tidak berhati-hati melangkah dan melaksanakan tugas tersebut. Kekuatan jiwa dan ketabahan hati sangat diperlukan. Semua itu adalah ujung tombak dalam bergerak dan mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Tugas tetap tugas. Harus diselesaikan dengan baik.
Lagu maju tak gentar mengiringi derap pasukan Teliksandi yang berjalan menyusuri keluasan jenggotnya Pantai Pulau Datuk dan keputihan pasir melambai-lambai setiap saat. Terjangan ombak juga diperhitungkan. Karena kalau terpeleset saja, akan menujukan nyawa ke daerah sukabumi, tidur untuk selama-lamanya. Namun mereka adalah pasukan yang sudah terlatih. Intuisi dan prediksi mereka sangat tajam. Jarang kali meleset atau malahan melenceng. Itu jarang terjadi.
Dengan penuh semangat yang menggebu-gebu dan jiwa gelora badai berpadu, mereka terus meniti rel itu. Mengarungi air pasang, menataki langit mendung, meloncati batu yang satu dan yang lain dengan terjalan menukik. Mereka terus tegar bergerak dan melangkah menuju arah yang telah ditentukan. Tak perduli hujan panas membelai tubuh dan tak perduli topan badai menghadang jalan. Terpenting informasi yang mereka cari harus didapatkan. Karena informasi tersebut berkenaan dengan kemaslahan umat. Mereka memang pasukan yang paling setia. Tidak pernah mengingkari janji. Tidak pernah melalaikan tugas. Walau tugas yang diberikan dengan pengorbanan nyawa sekalipun, mereka tetap melaksanakannya.
Hujan menangis berkuah-kuah membanjiri bumi. Menyirami tubuh pasukan Teliksandi yang terus bergerak. Makin memasuki hutan di tepian Pantai Pulau Datuk, yang katanya penuh dengan keangkeran. Hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka. Long march tetap menampilkan pelangi yang indah. Tujuan tetap harus diperoleh. Itulah tekad yang terpatri dalam sanubari pasukan itu.
Gelombang begitu marahnya. Entah apa penyebabnya? Terlihat gulungannya yang begitu padat dan kental, terus berkesinambungan menghantam siapa saja yang ada di hadapannya. Angin melontarkan timah-timah panasnya berujud siurannya bergendang riuh. Seakan alam tak bersahabat dengan mereka. Atau inikah suatu pertanda? Pertanda jelek atau baikkah? Moga saja ini pertanda baik.
Nampaknya perjalanan pasukan Teliksandi begitu lambannya. Habis angin, lautan, dan hujan menyerang mereka, seperti tembakan salvo dikeluarkan musuh. Terus beruntun mendera dan tak pernah berhenti menghajar. Dengan begitulah mereka berjalan lamban. Penuh kehati-hatian dan terus mencoba melawan kemarahan alam yang tidak bersahabat.
Itu kalau dikiaskan dengan kehidupan ini. Bahwa kehidupan ini penuh terpaan yang menghalangi setiap langkah. Kita jangan gentar menghadapinya. Bisa juga terjalan hidup ini berupa cobaan hidup yang harus kita jalani penuh dengan hujan, gelombang, dan angin. Hujan bisa diartikan kesedihan yang menumpahkan air mata. Gelombang bisa diartikan arah langkah kita yang semakin tinggi akan semakin tinggi cobaan hidup yang dirasakan. Semuanya itu merupakan hal untuk dapat melatih ketahanan dan ketegaran jiwa kita. Angin bisa diartikan dengan cobaan yang datang tidak pernah kita ketahui besar dan kecilnya. Terpenting kita harus bisa berbuat sabar dan tegar menjalani kehidupan. Walau didera cobaan hidup yang datang silih berganti. Kita kembalikan segala persoalan kepada Allah SWT dan terus bersyukur atas anugerah-Nya. Bahwa Allah tidak akan menguji umatnya kalau dibatas kemampuan umatnya. Hikmahnya pasti ada dibalik kejadian ini. Tetap teguhkanlah iman dan bersyukurlah!!! Mungkin manis akan diperoleh.
Di saat kelelapan mencengkeram. Barulah kemurkaan alam reda dan sirna tidak berbekas. Hari mulai tersenyum lagi. Mentari tertawa riang dengan penuh kebahagiaan. Seakan kecewa tidak pernah menyentuh mereka. Jenggotnya Pantai Pulau Datuk sudah jauh mereka tinggalkan. Sebab mereka sudah berada di tepian batuan yang menuju ke hutan. Disanalah dikabarkan bahwa informasi tongkat berbentuk intan mutiara putih akan mereka dapatkan untuk dibawa pulang. Diberikan pada atasan mereka untuk dijaga baik-baik. Agar suatu saat bila bencana akan menimpa kehancuran manusia menjelma.
Disebabkan oleh suatu gerakan masa maha dahsyat berupa perubahan sikap dan tingkah laku manusia, akan saling berbunuhan dan saling menghancurkan. Masa itu hukum rimba berlaku lagi. Siapa yang kuat itulah menang! Manusia di masa itu sudah tidak memiliki hati nurani. Sudah buta sebuta-butanya. Yang terekam di komputer otak dan kalbu hanyalah kemewahan dan kejayaan. Siapa yang mewah dan jaya, dialah Sang Penguasa. Orang lain tunduk di bawah kakinya. Untuk itulah orang-orang akan berlomba-lomba menduduki kursi Sang Penguasa. Saling sikut menyikut akan terfilmkan. Saling bunuh dan menghilangkan nyawa akan terpampang nyata. Itulah tujuan pokok yang akan diraih. Terpenting kursi Sang Penguasa tetap mereka duduki. Masa itu lebih dikenal masa gila-gilaan. Jadi, menurut prakiraan dan tafsiran paranormal, ulama, kiai, orang warak, dan aulia bahwa masa itu akan bisa diatasi kalau disaat ini tongkat berbentuk intan mutiara putih yang mengandung keajaiban bisa ditemukan. Maka dengan bantuan tongkat itu kehancuran manusia akan dapat diselamatkan. Ketenangan dan kedamaian tetap terjaga dan tersimpan rapi dalam lemari kehidupan ini. Wah, sebuah penyelamatan yang bagus benar. Tepat sekali dan terbilang jenius.
Sesudah rehat sebentar. Kepulihan sudah bersemi kembali. Kesegaran sudah terpancarkan lagi penuh pesona. Pasukan Teliksandi melanjutkan perjalanannya. Jalan setapak di depan mata mereka terobos dengan kebanggaan. Baru dua puluh meter menyusuri jalan setapak, terdengar jeritan lantang.
Akkkkhhhhhhhhh…
Pasukan Teliksandi bagian paling belakang tersungkur mencium tanah. Semua mata berbalik ke arah belakang. Ingin mengetahui apa yang telah terjadi pada kawan mereka.
“Ahmad….,” desis mereka serentak.
Mereka bergidik melihat matinya Ahmad dengan mata melotot. Salah satu dari pasukan Teliksandi coba memeriksanya untuk mengetahui sebab kematian. Nihil. Tanda kematiannya tidak ditemukan.
Mereka jadi bingung dan bertanya-tanya.
Siapa pembunuhnya? Kalau sekiranya ia mati dibunuh oleh seseorang dari jarak jauh, pasti ada penyebabnya. Bisa berupa luka, mulut biru, dan cacat tubuh. Tapi ini hanya mata melotot. Aneh…. Angker memang…. Apakah kematian Ahmad ada hubungannya dengan keangkeran pulau ini? Jawabannya tidak pernah didapatkan.
Sebagian dari personil pasukan Teliksandi itu ada mulai ciut nyalinya. Keder hatinya. Patah semangat.
“Ses, hutan ini memang tidak bisa diajak kompromi. Lebih baik kita batalkan misi ini. Baru masuk dua puluh meter saja sudah ada yang mati. Matinya tanpa sebab lagi,” komentar Parjan.
“Betul kata Parjan, Ses. Hutan ini selamanya tetap misterius. Daripada jatuh korban lagi dengan kematian yang tidak jelas lebih baik kita pulang saja. Misi mencari informasi tongkat berbentuk intan mutiara putih itu dibatalkan. Atau bisa jadi informasi yang kita cari hanya omongan belaka. Tidak benar!!!” tambahkan Kanji.
“Sudah….! Diam!!!!” teriak Ramses marah.
Pekikannya membahana. Anak buahnya yang memberi usul diam seketika. Menunduk takut. Ramses terkenal cepat marahan. Tapi dia orangnya solider. Bisa menghargai orang lain. Namun dalam situasi genting seperti ini, apa dia tidak marah mendengarkan kata anak buahnya yang sudah lemah semangat.
Baru melihat tontonan yang belum seberapa dahsyatnya. Mereka sudah lemoy, letoy… dan lesu darah. Padahal merekakan sudah digembleng ketahanan fisik dan ketahanan hati yang mantap. Namun gemblengan itu pudar hari ini. Dengan melihat kejadian di luar perhitungan mereka dan terkesan aneh penuh dengan kemisteriusan. Membuat otak jadi butek untuk mengungkapkan pangkal musababnya. Aneh di atas keanehan lagi, yang pernah mereka jumpai selama mengemban tugas. Ini dirasakan begitu beratnya. Hingga mereka meleleh nyali atau keberaniannya untuk menemukan pencarian tersebut. Menemukan tongkat berbentuk intan mutiara putih di ujung daerah yang bernama Mandi Bintang.
Mandi Bintang adalah daerah yang berupa sebuah padang ditumbuhi rumputan liar, seperti ilalang, pakis haji, simpor, rumput teki, cengkodok, dan tidak ada tumbuh pohon besar yang berupa kayu keras. Cuma ada tumbuh sebatang pokok kabu-kabu sudah lanjut di makan usia. Pokok itu tidak pernah menghasilkan kabu-kabu lagi untuk dibuat pengisi bantal biar jadi empuk. Tidur jadi enak. Daunnya pokok kabu-kabu tidak rindang dan rimbun seperti kebanyakan pohon yang biasanya. Dia malahan meranggas dengan berdaun jarang-jarang. Di tepi dekat mentari memunculkan wajahnya ada sebuah telaga berair jernih. Layaknya sebuah pemandian. Memang sebuah pemandian kok. Pemandian para bidadari yang turun dari galaksi di atas sana. Terutama bidadari yang berdiam diri di galaksi bintang dari bintang oreon, bintang venus, bintang kejora maupun bintang kartika. Kalau malam hari, ramailah daerah itu. Terdengar senda gurau yang begitu merdu dari para bidadari tersebut. Senang dan gembira. Kalau hampir subuh menjelang barulah mereka kembali ke peraduannya, yaitu bintang-bintang disana. Karena itu daerah tersebut dinamakan Mandi Bintang. Sampai sekarang daerah tersebut belum pernah dijamah orang. Karena mempunyai kemisteriusan yang tidak pernah diuraikan dengan logika bening. Atau dengan pikiran yang masuk akal. Ada orang yang pernah coba ingin kesana tapi dia ditemukan mati mengenaskan dengan segala keanehan, di bawah Mungguk menuju daerah Mandi Bintang. Atau bisa jadi orangnya raib tak bertanda. Konon kabarnya disanalah bersemayamnya tongkat berbentuk intan mutiara putih yang akan didapatkan Ramses dan pasukannya. Tongkat itu sebagai penyelamat umat dari kehancuran masa di kemudian hari.
Ramses berusaha meredakan kemarahannya yang sudah tersalurkan dengan teriakan senyaring deburan ombak mengelus kemolekan pantai. Hingga sesaat keheningan yang hanya bicara. Anak buahnya yang lain tidak berani lagi bicara. Semuanya tefekur dengan gelora batin masing-masing. Was-was menahan rasa takut dan mencoba memunculkan sebuah keberanian. Selama ini terus mereka senandungkan. Berusaha pula mereka membangkitkan lagu pantang menyerah agar menghidupkan jiwa melemah.
“Kalau memang kalian tidak berani lagi, silakan pulang. Aku akan terus menjalankan tugas. Yang ikut denganku, kita teruskan misi ini sampai memperoleh hasil,” kata Ramses bersuara setelah dicekam kesunyian.
Diberikan tawaran seperti itu ada tujuh orang langsung kabur meninggalkan daerah tersebut. Mereka tidak ingin mati. Tersisa tinggal empat orang bersama Ramses sebagai komandan pasukan. Berempat itu segera menguburkan jenazah Ahmad. Seterusnya mereka meneruskan misi tersebut.
~oOo~

Di tengah perjalanan mereka mendengar bekakakan suara wanita. Terdengar empat penjuru angin. Sebentar suara itu membahana dan lebih keras terdengar. Suaranya sudah terpusat membulat semakin santer mengaung. Mereka berempat mengambil inisiatif. Masing-masing akan mengejar suara itu dengan sesuai arah mata angin. Bila sudah menemukan orangnya. Temannya harus memberikan panggilan pada teman-temannya. Kesepakatan diambil. Mereka menyebar ke arah masing-masing. Ramses menuju arah selatan, terus berkejar dengan kekuatannya penuh mengikuti suara itu. Hingga ia kelelahan dan suara itu menghilang.
Dia celingak-celinguk mencari suara itu.
Kemana ya? Kok, bisa hilang tiba-tiba? Kemana lagi aku mencarinya? Ah, dia terkejut. Melihat sebuah rumah tidak berdinding. Ini mungkin sebuah jebakan. Aku harus berhati-hati.
Ramses mencabut pistolnya kaliber 25. Dikokangnya sekali. Siap diletuskan kalau ada sasaran yang mencurigakan.
Barulah dia melangkah penuh kehati-hatian. Dia tidak ingin dirinya terjebak oleh sebuah jebakan. Bisa membuat kefatalan dalam hidupnya. Mata siaga dan jiwa antisipasi sebelum terjadi sesuatu sudah dikeraskan Ramses. Dia mulai mendekati rumah tersebut. Lalu dikitarinya rumah itu. Tidak ada menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Dia pun memasukan senjatanya lagi. Karena dirasakannya sudah aman. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan dan membahayakan dirinya. Dia berehat sebentar di depan rumah itu. Kakinya dilunjurkan dan badannya bersandar ke tiang penyangga rumah. Angin sepoi-sepoi bercinta asmara, hampir membuatnya mengantuk dan hampir tertidur. Kalau tidak, suara teriakan anak buahnya dari arah lain mengagetkannya.
Dia berpikir bahwa anak buahnya sudah menemukan pemilik suara itu.
Dengan terigas dia menyusul kesana. Rasa letih dilupakannya seketika. Bukan kekaguman yang diperolehnya tapi keterkejutan. Anak buahnya mati dengan kepala putus dari badannya. Rupanya teriakan itu adalah teriakan kematian. Ramses mulai bergidik sebentar. Tapi kengerian itu hilang seketika. Waktu dalam hatinya menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa. Dia mencari badan anak buahnya yang hilang entah kemana. Badannya itu ditemukannya dekat pohon perdu dengan posisi sedang kencing. Terasa lucu namun terkesan aneh. Pembunuhan ini penuh dengan kemisteriusan.
Aku harus dapat mengungkapkannya sekalian mendapatkan informasi tentang tongkat berbentuk intan mutiara putih itu.
Belum habis Ramses berpikir jernih. Suara siulan senang dengan suara wanita serupa, betul, dan mirip suara wanita didengarnya pertama menuju arah barat.
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan anak buahku yang menuju ke arah sana. Aku harus kesana, kajinya sebrilian itu.
Perkiraannya tidak meleset. Bahwa anak buahnya juga ditemukan mati. Matinya dengan bibir tersenyum. Tergantung di sebuah pohon Ketapang. Pohon itu hanya memiliki ranting sebatang dan punya daun selembar.
Aneh lagi…! Kok, orang mati bisa tersenyum. Ini mati sedih atau mati bahagia? Semakin aneh saja.
Ramses menurunkan jasad anak buahnya yang tergantung di pohon Ketapang. Diperiksanya seluruh tubuh itu, tidak tanda yang jelas menunjukkan kematiannya. Memang hal impossible. Sudahlah. Dikuburkannya jasad anak buahnya di tempat itu. Sejenak dia hanyut dalam suasana kesedihan. Mengenang anak buahnya. Semua yang mengikutinya mati tiada tersisa. Tinggal satu orang lagi yang berada di timur.
Aku harus cepat kesana. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi.
Dia bergegas menuju ke arah timur. Walau rasa capek sudah memberat. Dia tidak perduli. Dia lebih mementingkan keselamatan anak buahnya yang hanya tinggal satu orang.
Di timur dari kejauhan dilihatnya anak buahnya bergumul melawan binatang berkepala manusia.
Masya Allah, mahluk siluman rupanya, desis kalbu Ramses bergetar.
Mardon, anak buahnya terus berusaha untuk terlepas dari cengkeraman mahluk tersebut. Seluruh tubuhnya penuh luka berjaluran. Tapi semangat kehidupannya terus membuat dia berjuang sekuat kemauan dan sekeras jiwa karangnya. Karena dia sudah digembleng teguh. Perjuangan harus sampai tetes darah penghabisan.
Aku harus menolongnya. Kalau aku biarkan, bisa jadi dia juga akan meninggal.
Ramses duduk bersila di rerumputan basah. Keheningan jiwa dipusatkannya pada Tuhan Yang Maha Esa. Dia menenangkan kalbunya minta bantuan pada-Nya. Karena kekuatan Tuhanlah di atas segalanya. Konsentrasi dibulatkannya dan dipadukannya dengan doa untuk mengusir mahluk yang saat ini bergumul dengan Mardon.
Bismillahirrahmannirrahim…, serunya sembari tangannya teracung ke arah mahluk tersebut.
Angin putih yang keluar dari tangan Ramses membuat mahluk tersebut menjerit garang. Cengkeramannya pada Mardon mulai mengendor, tapi matanya menatap garang.
Kurang ajar! Akan kubunuh dia, geramnya beralih menuju Ramses yang duduk bersila di rerumputan basah.
Dia akan membunuh Ramses. Namun tanpa diperhitungkannya dari tangan dan tubuh Ramses mengepulkan angin putih berputar ligat membentuk suatu bulatan. Lalu menghantam tubuh mahluk tersebut. Kali ini jeritannya melengking tinggi tiada kepalang tanggung nyaringnya. Sepertinya dia mengalami penderitaan yang begitu hebat. Penderitaan kematian yang menjemputnya. Jeritan kematian yang mengakhiri kehidupannya. Kemudian hanya kabut hitam terlihat menghilang.
Alhamdulillah, kata Ramses membuka matanya.
Mardon memulihkan semangatnya yang terkuras.
“Terima kasih Ses, untung kamu datang secepatnya. Kalau tidak, aku sudah mati tinggal tulang,” kata Mardon disela keletihannya.
“Sudahlah, Don. Semua ini berkat keajaiban Tuhan Yang Maha Esa. Don, kita rehat saja disini. Nanti perjalanannya kita lanjutkan esok pagi. Berhubungan harinya sudah senja. Kita dirikan tenda disini.” Ramses berbicara lalu membuka perbekalan yang dibawanya.
Dia mencari kayu untuk mendirikan tenda. Mardon membantunya. Dengan kecekatanan mereka, tenda bisa berdiri cepat. Mereka melepaskan letihnya.
~oOo~

Sesekali suara binatang malam bersenandung. Kereyang dan jangkrik pamer suara. Kunang-kunang tidak mau ketinggalan. Walau mereka tidak bisa menyumbangkan suara merdu untuk mengisi kesunyian biar indah. Mereka menyumbangkan lampu disko dari tubuh mereka. Berikan keindahan malam ini. Apalagi di alam terbuka seperti ini. Bermalam akan memberikan ketenangan dan kedamaian dengan cara menghayati keheningan malam dan kebeningan kemahabesaran-Nya. Malam ini malam purnama lagi. Menaburkan wajah putihnya menghiasi keindahan bumi kelam. Menyapa tubuh letih Ramses dan Mardon jadi bersinaran. Semakin semarak saja malam ini.
“Sungguh indah malam ini ya, Don?”
“Ya, Ses.”
“Megahnya keindahan ini kalau kita hayati dengan perasaan jiwa. Enak, untuk melupakan kepenatan dan keletihan yang dirasa.”
“Betul kali, Ses.”
“Oh ya Ses, kini kita tinggal berdua lagi. Semuanya sudah tiada. Supaya kita bisa mengantisipasi hal yang terjadi di antara kita, lebih baik kita berjalan jangan berpencar lagi. Kita berjalan beriringan saja. Kalau berduakan, kekuatan kita bisa lebih besar daripada sendirian.”
“Benar juga katamu, Don. Aku setuju usulmu. Don, arah yang kita tuju adalah menaiki tanjakan Mungguk rendah itu,” tunjuk Ramses pada Mungguk itu.
Mungguk itu terpampang dengan ketenangan. Mardon melihat arah yang ditunjukkan oleh Ramses. Mardon mengangguk-angguk kepalanya tanda mengiyakan apa yang dikatakan Ramses. Karena mata sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya mereka berangkat ke alas tidur, mengejamkan mata. Tidur mereka pulas.
Baru tersadar saat mentari ufuk timur dengan sinar garangnya membelai tubuh mereka. Serasa menghanguskan kulit saja. Panasnya minta ampun. Duluan bangun adalah Ramses. Dia lalu membangunkan Mardon.
“Don, bangun sudah siang. Kita lanjutkan lagi perjalanannya.”
Mardon bangun dengan terigas. Tenda digulung dimasukkan dalam ransel. Ransel ditangking Ramses di bahu. Perjalanan mereka lanjutkan lagi dengan berduaan saja. Jalanan setapak tetap mereka lalui. Sambil berjalan mereka melihat sinar terang di atas Mungguk.
“Don, lihat itu. Lihat sinar terang itu. Itu pasti cahaya tongkat tersebut,” seru Ramses penuh kegirangan.
“Betul, Ses. Syukurlah akhirnya kita menemukan juga. Tidak sia-sia pengorbanan kita. Walau hasilnya ini ditebus dengan kematian saudara kita ya, Ses?”
“Betul katamu, Don. Mari kita cepat kesana!”
Semangatnya mereka melangkah kesana. Sebentar, sudah sampai mereka di bawah Mungguk itu. Mereka tertegun. Apa yang mereka lihat dari kejauhan saat malam hari. Penglihatan sepintas bahwa Mungguk ini tidak susah didaki. Itu praduga dan prakiraan mereka. Ternyata dugaan mereka dienyahkan oleh kenyataan yang ada dipampang mata terbuka. Bahwa Mungguk itu sulit didaki. Karena penuh tanjakan. Setiap tanjakan hanya berupa batu bersusun yang saling menempel antara satu dengan yang lain. Tidak ada tanah sedikit pun. Seakan batu bersusun itu dilekatkan oleh lem yang keras. Lem batu. Sungguh ajaib. Setiap batu membentuk undakan menuju ke atas Mungguk, daerah Mandi Bintang. Mendaki batu bersusun itu harus berhati-hati. Kalau tergelincir nyawa taruhannya. Karena kita akan bergulingan menghantam batu di bawah, sudah siap menerkam dan melumat tubuh kita tinggal serpihan.
Ramses mengeluarkan peralatan untuk mendaki. Mardon juga sama. Mereka mulailah mendaki hati-hati. Antara satu dengan yang lain saling mengawasi. Agar kalau terjadi kecelakaan mereka bisa saling menolong. Semangat jaya terus mengudara, tenaga kuat sudah mengental, berpadu jadi satu dalam gerakan pendakian Mungguk ini.
Akhirnya mereka sudah mencapai tepian atas Mungguk. Sekali sentakan mereka sudah akan menginjak atas Mungguk yang berupa pedataran luas. Mereka kaget. Karena dibalik sinar itu berdiri seorang wanita tua. Masih berwajah cantik dengan pakaian kuning keemasan. Masing-masing serentak mencabut pistolnya yang mendekap di samping kiri pinggang. Mereka telah menginjak atas mungguk. Wanita tua sepertinya sedang merapal mantera. Lalu tangannya teracung ke arah Mardon.
“Awas Don, tiarap!” seru Ramses tahu gelagat.
“Ah…,” Mardon terkejut.
Tapi terlambat gerakan yang dilakukannya. Terdengarlah jeritan Mardon menyayat kalbu memecahkan dinding langit, membuyarkan bisikan angin, melembutkan tatapan garang sang mentari. Jeritan mengakhiri kehidupannya.
“Mardon. Tidak!!!” pekik Ramses garang.
Tangannya tergapai untuk menangkap tangan Mardon yang terlempar ke bawah Mungguk. Tangan Ramses hanya menangkap angin kosong. Tubuh Mardon terus meluncur deras.
Kile-Kile Jantung, desis Ramses bergumam.
Ilmu ini adalah ilmu sangat langka. Hanya dimiliki oleh orang tua dari pedalaman. Ilmu ini membunuh orang dari jarak jauh tanpa bersuara. Hanya membaca rapalan lalu menunjuk orang yang diinginkan maka orang yang ditunjuk itu akan meninggal seketika. Karena jantungnya putus atau pecah. Jadi, ilmu ini menyerang organ bagian dalam.
“Bangsat! Jahanam! Aku bunuh kamu! Matilah kamu!” seru Ramses memuntahkan peluru timah dari pistolnya.
Mengarah pada wanita tua itu. Tapi dengan sebat wanita tua itu sudah menghilang. Hanya suara tertawanya saja yang terdengar. Sering berpindah-pindah tempat. Ramses terus mengamuk. Pistolnya terus bersenandung menuju wanita tua itu, seperti suara petasan bernyanyi. Hingga dia kecapaian, karena tembakan yang dilepaskannya. Tidak ada satu pun yang mengenai tubuh wanita itu. Kini wanita tua itu sudah di hadapannya.
Tamatlah riwayatku, Ramses lirih berbicara.
Dilihatnya wanita tua itu sudah siap untuk membunuhnya. Tapi jadi batal. Setelah wanita tua itu melihat jelas wajah Ramses dalam jarak dekat begini.
“Ah, dia! Tidak mungkin…! Tidak mungkin….!” Pekiknya keras. Lalu dia menangis mengguguk.
“Aku telah bersalah padanya.”
Inilah kesempatan buatku menghabisinya.
Ramses mengumpulkan sedikit kekuatan tenaganya. Digunakan Ramses kelengahan sesaat wanita tua itu. Pistolnya pun berbicara pada si wanita tua.
“Jangan Ramses, anakku! Hentikanlah!” serunya mencegah.
Namun kecepatan peluru tidak bisa dicegah lagi. Dia terus melaju. Terdengarlah suara petasan Dor.
“Akh… Teganya dirimu anakku!.”
Hanya itu yang bisa keluar dari mulut si wanita tua bersama terlihat gapaian tangannya melejang.

Balai Berkuak, 25 April 2004
~~~&&&~~~
CATATAN :
Cerpen ini dibuat untuk mengenang keindahan Pantai Pulau Datuk dan sekitarnya serta memori saya yang masih tertinggal di pasir putihnya disana…………!

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...