Oleh : M. Saifun salakim
“Saf, kamu ini bagaimana? Carilah pendamping hidupmu. Itu cewek kayaknya ada sir sama kamu. Gaet saja. Mumpung ada peluang. Nanti keburu disambar orang lain,” cerocos teman saya.
Ditunjukkannya seorang cewek yang duduk manis di seberang sana. Senyumannya begitu manis, selegit buah semangka masak bila sudah masuk dalam perut besar. Saya tersenyum.
“Bagaimana Saf, sip tidak?” tanya teman saya sekali lagi.
“Apanya yang sip?” malah saya balik bertanya.
“Saf, kalau saya nilai cewek itu jarang kali dia mau keluar rumah. Baru ada kamu nongkrong disini, dia baru mau keluar. Saya nilai Saf, orangnya baik, wajahnya cantik, dan punya keperibadian yang sogut. Kalau kamu jadian sama dia beruntung deh. Bisa satukan dua kekuatan besar.”
“Kekuatan besar gimana?”
“Apakmu kan tokoh agama terkenal dan apaknya tokoh masyarakat disegani. Kalau dua kekuatan itu dipadukan akan jadi kekuatan besar.”
“Ngaco ah kamu.”
“Tidak juga Saf…. Atau jangan-jangan kamu orangnya suka-suka pilih calon pendamping. Sebenarnya gadis gimana sih masuk kriteriamu?”
“Tidak milih-milih sih Kil. Cuman belum ketemu jodohnya saja. Sudah dicari-cari tapi belum ketemu yang pas. Nantilah suatu saat, Insya Allah akan diketemukan juga.”
“Kalau dengan dia gimana?”
“Nantilah saya pikirkan. Insya Allah…” ujar saya untuk memutus omongan itu biar tidak berlanjut terlalu jauh.
~oOo~
Memang aneh ya… ? Saya disuruh cepat-cepat kawin. Memangnya tampang saya sudah tuik-an. Kan masing banyak umurnya sudah tuik-an dari saya. Mereka anteng-anteng saja. Ada umur tiga puluh delapan tahunan baru menikah. Saya yang umur dua puluh tahun disuruh cepat menikah. Atau mungkin gaya saya yang sudah seperti orang tua. Sudah selayaknya saya untuk memiliki seorang istri? Mungkin saja. Ini sih sebuah praduga saja. Namun semua omongan itu tidak saya perdengarkan betul. Keluarnya telinga kiri masuknya telinga kanan. Berseberangankan? Itulah informasi yang tidak nyambung. Berarti informasi yang diperoleh tidak diambil benar-benar kegunaannya.
Kehidupan memang kehidupan. Penuh hal-hal di luar dugaan atau prakiraan manusia. Penuh keanehannya sendiri. Penuh sesuatu yang misterius. Perlu diungkapkan dengan berbagai metode dan cara. Metode itu adalah manusia itu sendiri yang mencarinya. Tapi kalau sudah buntu, kembalikanlah pengaduan kita pada Sang Maha Pencipta. Karena Dialah tempat kita mengadukan hal sebenarnya. Dengan hidayah-Nya, moga saja kita bisa melancarkan kebuntuan metode tersebut. Persoalan dapat diselesaikan secara baik. Tuntas dan menimbulkan efek samping. Kayak pil saja. Sedikit kelakar.
~oOo~
Saya jadi heran sama dia. Tuh cewek yang saya lihat sekilas itu yang ditunjukkan Kila. Ada terus dimana saya berada. Waktu saya tidak di desa, berada di kecamatan, dia juga ada. Dia selalu mengikuti kemana saya pergi. Lebih membingungkan saya, dia selalu hadir setiap saya melakukan shalat. Pas saya mengangkat niat shalat sendiri. Karena saya melihat tidak ada siapa-siapa lagi. Seketika muncul dia di belakang menegur.
“Shalat jamaah dong Saf,” katanya manis dengan senyuman juga manis. Tergamam dan kaget saya. Karena waktunya shalat, saya tidak ingin memperdebatkan keanehan itu. Saya meniatkan shalat berjamaah. Selesai shalat, dianya pergi entah kemana. Saya makin bertambah kaget.
Mungkinkah dia hantu menjelma? Oh…. Resah berbaur bingung. Atau mungkinkah dia bidadari menyerupai? Oh … desah bersenandung kegalauan. Ah, kalau dia semua itu. Gimana waktu di desa teman saya Kila bisa melihatnya nyata. Benar. Saya kira, dia bukan sebangsa mahluk halus. Berarti dia mahluk hidup juga. Tapi, mahluk hidup ini bisa menembus dimensi ruang dan waktu, ini baru saya lihat. Belum pernah terjadi. Saya lupa sih menanyakan namanya siapa? Nantilah… suatu saat berjumpa lagi akan saya tanyakan siapa namanya? Siapa dia sebenarnya? Bikin penasaran saja. Membuat gregetan saja. Hehe… jangan-jangan saya sudah mulai tertarik untuk mengenalnya.
Kalau dinilai dia sih memang caem dengan tutupan kerudung putih dan baju panjang kuningnya, serasi amat. Apalagi senyumannya sungguh mahal. Manis! Deretan giginya putih cemerlang, cling di atas cling. Putih giginya mengalahkan keputihan kapas dan kebeningan air serta keputihan warna putih, sinar matahari, dan awan komulus. Membuat jiwa seakan merasakan desiran angin surgawi, sejuk, dan begitu hakikinya. Begitu intensnya. Saat dia melemparkan senyumannya. Senyumannya hanya diberikannya untuk saya.
Orang lain pernah juga melihat dia. Orang jadi heboh. Seheboh pergulatan awak-awak politik saat ini ingin duduk di kursi empuk wakil rakyat. Dengan menggunakan berbagai trik agar duduk. Mencari simpati rakyat dengan metode persuasif, agar rakyat jadi simpati padanya. Simpati dan menunjuknya jadi wakil mereka. Dengan iming-iming akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah mendukungnya. Direalisasikan atau tidak, itu dikembalikan pada penilaian rakyat banyak atau masyarakat. Merekalah yang bersuara. Merekalah yang berhak menilainya. Hanya sekedar memberikan penilaian saja. Penilaian yang tidak menyebabkan perubahan. Tahu saja sendiri. Karena makanan tahu hanya sebuah makanan lembek, dipenyek sudah lembek sendiri dan hancur berlerai. Uraian meaningnya, tariklah inferensi sendiri. Oke…
Disamping itu, awak-awak politik atas juga sudah siap menentukan calonnya untuk duduk di kursi kepresidenan. Untuk memimpin bangsa kita ini. Cara-cara untuk memenangkan calonnya sudah dipersiapkan dengan sematang mungkin. Sasaran mereka adalah rakyat. Karena pemilihannya terletak di tangan rakyat. Melakukan pemilihan secara langsung. Gimana caranya supaya rakyat bisa memilih calon mereka. Itulah pemikiran heboh yang bersarang di kepala awak politik atas. Tiap hari terus berpikir nan berpikir dan berkomentar terus berkomentar untuk menjatuhkan pesaingnya. Walaupun dengan pelontaran timah-timah yang pedas. Terpenting tujuan tercapai dengan kata sukses ditulis dengan huruf besar. SUKSES. Itulah tujuan final dari pergulatan heboh mereka. Tapi kehebohan itu belum seberapa jika dibandingkan kehebohan ini. Ada wanita yang bisa menembus dimensi ruang dan waktu. Ini kan lebih heboh. He….. He… saya hanya tertawa. Sedikit guyonan.
Ah, ya… ya… yang sering melihat wanita itu adalah tukang jual peralatan shalat. Biasanya seminggu sekali, wanita itu membeli tasbih. Tasbih yang dibeli berwarna putih. Kalau tidak ada warna putih, warna kuning keemasanlah pilihannya. Tukang jual peralatan shalat ada juga menggodanya.
“Bu, untuk apa tasbih ini?” tanyanya.
“Untuk orang-orang yang dekat dengan saya. Tapi maaf ya mas, saya belum jadi ibu.”
“Oh, bukan ibu,” muncung mulut si penjual tasbih kepanjangan, seperti juluran hidung pinokio yang panjang dan memelar.
“Jadi Nona nih?”
“Tidal juga mas!”
“Aneh. Ibu bukan. Nona bukan. Jadi apaan sih?” kata penjual tasbih ingin tau.
“Saya hanya hamba Allah yang kalian lihat berujud wanita. Jadi panggil saja saya Wani.”
“Oh, Wani. Ya… ya… ya… deh… Wani. Tasbih yang dibeli seminggu sekali itu untuk kekasihnya ya?”
“Bukan…!”
“Oh untuk orang yang dekat dalam hidupmu, tadi kamu bilang. Siapa dia?”
“Pangeran saya.”
“Oh, pangeran. Keren juga tuh sebutannya.”
“Tapi Wani, hadiahnya banyak kali. Memangnya pangeran Wani suka tasbih?”
“Tidak sih, cuman tasbih ini untuk bekalnya. Menyadarkannya bila dia khilaf. Oh ya mas, permisi dulu. Assalamualaikum,” katanya beranjak pergi.
“Waalaikumsalam,” jawab penjual tasbih.
Kalau saya belum beristri ingin rasanya saya menggaet wanita tadi. Sungguh spesial. Beruntung kali orang yang menjadi pangerannya. Didampingi ratu yang cantik luar dalam. Kebahagiaan akan selalu menghampar, kenang penjual tasbih.
Bila dia berjalan di keramaian. Mata semua orang tertuju padanya. Kekaguman tersalurkan. Pujian manis melambung tinggi. Kalau ada yang usil menggodanya, dia tidak mengubrisnya. Kalau ada yang menegurnya dengan rayuan, dia hanya mengingatkan dan memberitahukan.
“Gimana sih cara teguran seorang muslim bertemu saudaranya?”
“Assalamualaikum cantik.” Salam yang masih berbau kekaguman.
“Waalaikumsalam,” jawabnya pendek. Dia terus berjalan. Dia terus pulang menuju arah barat dan datangnya dari arah timur. Itu dirasakan aneh. Sehingga ada seseorang yang penasaran dengannya. Menguntit perjalanan pulangnya secara diam-diam. Si penguntit menemukan lautan maha luas. Dilihatnya si wanita menaiki gondola terus menuju ke arah tengah. Si penguntit terus menyusulnya. Seketika kabut putih menghalanginya. Si wanita tidak kelihatan lagi. Malahan yang terdengar suara lantang membahana tapi penuh kearifan dan kebijaksanaan.
“Kamu belum boleh mengikuti saya. Kamu belum boleh menelusuri aluran saya sampai ke tengah kemahaluasan lautan ini. Karena jiwa dan sanubarimu masih kotor berdebu. Sekarang kamu pulang saja. Anggaplah kamu tak pernah merasakan ini. Rahasiakan perjumpaan dan apa yang kamu lihat hari ini. Karena kalau kamu mengungkapkan rahasia ini pada orang lain atau orang banyak bahkan ada balak menimpamu. Hari ini kamu saya maafkan karena telah lancang mengikuti saya. Lain kali jangan pernah ikuti saya lagi.”
Selesai ucapan itu menghilang. Angin badai entah datang darimana menghajarnya bertubi-tubi. Membuat si penguntit ketakutan. Sekuat tenaga dia mendayung perahu menepi. Namun angin badai telah membuntalnya dan memecahkan perahunya. Si penguntit pingsan. Waktu sadar, dia terkejut mendapati dirinya telah berada di rumah. Di hadapan anak istrinya.
“Pulas tidurnya ya? Hingga dibangunkan susah betul. Liat tuh sudah magrib. Keburuan mandi. Shalatlah, Bang!” kata istrinya.
“Ya… Ya…,” sahut si penguntit lemah. “Kamu duluan mandi. Nanti saya nyusul kemudian. Saya mau ngendorkan otot lemas ini sebentar.”
“Ya Bang!” ditinggal istrinya. Si penguntit masih berpikir. Aneh kali wanita itu? Padahal saya betul-betul kali menguntitnya. Tapi kok aneh, saya sudah berada di rumah. Sepertinya kejadian yang saya alami ini hanya sebuah ilusi. Sungguh tidak terjangkau oleh otak atau nalar. Sebenarnya dia tuh siapa? Apakah dia malaikat? Apakah dia orang warak? Kok, dia tau bahwa saya masih belum bersih kalbu. Ah, perduli amat dengan dia…! Dia kan bukan saudara saya. Oh ya, saya penasaran juga apakah betul yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran? Akan saya langgar larangannya.
~oOo~
Jaram (si penguntit) memberitahukan penguntitannya terhadap wanita heboh itu secara diam-diam pada orang banyak. Orang pun manggut-manggut mendengar ceritanya. Semua orang jadi percaya. Mereka ingin minta buktinya. Jaram mengajak semua orang untuk melihat tempat tersebut. Dimana dia terakhir menguntit si wanita aneh. Ternyata apa yang dilihatnya sekarang, tidak ada lagi. Yang berupa lautan maha luas, kini hanya berupa hamparan sawah penduduk yang menghijau. Seluas mata memandang hanya kehijauan yang terpampang.
“Makna buktinya Jaram? Mana tempatnya?” seru orang riuhnya.
“Disinilah tempatnya. Saya masih ingat. Tapi kemana ya lautan itu?” Jaram mencari kesana kemari. Apa yang dicarinya tidak pernah ditemukannya lagi. Jadi Jaram dicap orang banyak telah berbohong. Karena tak bisa menunjukan bukti yang nyata, tempat tinggal wanita aneh itu. Dia dicap pendusta besar. Jaram hanya sedih. Orang sudah tidak percaya lagi sama dia. Nama Jaram telah berganti Pak Bol. Pak pembulak atau pembohong. Pedih hatinya menerima gelar itu. Setiap orang selalu menghinakannya.
Keanehan muncul pada Pak Bol. Dia jadi orang gila. Gilanya suka makan rumput. Rupanya alih profesi dia. Menggantikan posisi kambing. Makin santerlah ejekan rakyat banyak padanya. Bahwa Pak Bol jadi gila karena kebohongannya.
“Pak Bol embek. Pak Bol kambing. Kambing berok.”
Ejek semua penduduk. Yang tidak mampu mendengar semua itu adalah istrinya. Tiap hari istrinya bermohon terus untuk kesembuhan suaminya. Tak lupa dia berusaha berobat kepada dukun dan paranormal. Tapi hasil yang diperolehnya, tidak ada perubahannya. Nihil belaka. Rupanya hidayah dan taufik Allah belum bertandang padanya. Belum memberikan perkenan dan keajaibannya untuk kesembuhan Pak Bol. Tetap saja Pak Bol tiap hari makan rumput. Makan rumput hijau. Hingga rumput di halaman depan rumahnya jadi botak. Kulis. Maksudnya gundul, tinggal tanahnya saja yang kelihatan. Pak Bol pun oleh istrinya dimasukkan ke rumah sakit jiwa dengan iringan kesedihan mendalam. Hatinya seperti diiri-iris sembilu.
Sebenarnya kesalahan apa yang dibuat suaminya hingga menderita begini? Penyakit aneh seperti ini? Itulah question mark yang menghantui benak istrinya. Question mark yang kini belum terjawab .
Orang-orang masih melihat wanita aneh berkerudung putih dan seminggu kali tetap membeli tasbih. Tetap melalui jalan yang dilaluinya. Tetap seperti biasanya. Waktu shalat, dia tak pernah dijumpai masyarakat ramai. Karena setiap shalat, dia selalu menemani saya. Dimana saja. Kalau saya ikut pengajian, dia juga ikut hadir di barisan wanita. Saya makin tertarik untuk mengenalnya. Tergerak untuk mengenalnya lebih dekat lagi. Waw, saat melantunkan ayat suci alquran, suaranya paling merdu dari semuanya. Membuat orang tergamam semuanya. Suaranya merdu kayak suara Nabi Daud. Tiada tandingnya. Menghentikan peredaran sinar matahari begitu panas menjadi dingin. Pepohonan berhenti sejenak dari kegiatannya, ikut nimbrung dengarkan alunan merdu itu.
Dia yang paling cepat menangkap untaian makna hikmah yang dituturkan KH. Didin Mahfudh. Sungguh wanita yang luar biasa dalam segala hal. Pesonanya memancar luar dalam. Pintar dan cerdas luar dalam. Ini baru wanita dibilang sempurna. Memiliki semua kriteria ditentukan oleh Nabi Besar kita, sosok yang dijadikan pendamping hidup. Sampai sekarang saya belum tau siapa dia? Hanya saja dia selalu hadir dalam kehidupan saya. Di setiap waktu. Seakan dia adalah bagian dalam kehidupan saya, tidak bisa dilepaskan lagi. Selalu menyatu sampai ajal menyanyikan efoni jiwa.
“Assalamualaikum ukhti,” sapa saya ramah.
“Waalaikumsalam Saf,” jawabnya dengan senyuman bulan merindukan purnama. Inilah salah satu daya tariknya yang saya suka.
“Ukhti. Sebenarnya ukhti ini siapa? Setiap kala selalu mengikuti langkah saya. Setiap waktu berbuat baik dan shalat selalu menemani saya. Bahkan setiap tarikan napas saya. Masach sudah beberapa kali bertemu, saya belum tau nama ukhti. Kini bolehkah saya tau nama ukhti.”
“Boleh saja Saf. Saya rela meberitahukannya padamu. Karena hanya kamu yang beruntung. Karena kamu juga orang yang dekat dalam jengkalan kehidupan saya jalani. Saf, kamu panggil saja saya, Sentuhan Rasa Illahi. Dengan masing-masing huruf awalnya ditulis huruf kapital.”
Saya kaget. Kok, panggilan namanya tidak seperti sebuah nama. Tapi seperti sebuah ungkapan kata saja. Saya sedikit tertawa. Abis baru kali ini, saya dengar nama seseorang berupa ungkapan kata, bukan mencirikan sebuah nama. Aneh kali. Memang semuanya serba aneh. Selesai ketawa. Saya tidak melihat dia lagi.
Aneh. Ajaib. Kemana dia? Saya mencarinya kesana kemari. Arah selatan, utara, barat, dan timur. Dianya tidak ditemukan. Menghilang kemana dia? Wah, saya geleng kepala.
“Saf, kamu mencari siapa?” tepuk KH. Didin pada bahu saya. Saya menoleh.
“Ah, Kiai. Saya mencari seseorang. Hilangnya seketika Kiai!”
“Pantesan bingungnya kontras banget. Siapa orang itu?”
“Anu Kiai… Anu….” Berat juga lidah saya untuk mengungkapkannya. Kalau diberitahukan, bisa-bisa Kiai menertawakan saya. Saya dikatakan gila. Jangan gudhul bashar Safir. Berpikiranlah positif. Kejujuran jangan mengendor di langkah kehidupanmu.
“Sentuhan Rasa Illahi, Kiai. Dia adalah wanita yang paling pandai tadi. Ikut dalam pengajian tadi.”
“Oh, wanita itu.” Senyum KH. Didin begitu segarnya. Alhamdulillah. KH. Didin tidak menertawakan saya. Saya tidak jadi malu. Berarti KH. Didin tau siapa wanita itu.
“Kiai, tau siapa dia?”
“Tau sih tidak Saf. Cuma saya kenal dia. Karena waktu pulang tadi dia menitipkan sesuatu barang pada saya untuk diserahkan padamu. Dia berpesan, jaga barang ini baik-baik. Nanti suatu saat akan dimintanya barang itu. Saf, ini barangnya.” KH. Didin mengeluarkan tasbih putih dari saku bajunya.
Hanya sebuah tasbih. Apa artinya barang ini. Di pasar juga banyak dijual.
“Saf, terimalah barang ini,” kata KH. Didin selanjutnya. Agar dapat menghargai pemberian orang lain, maka tasbih itu saya ambil juga. Seenaknya saja tasbih itu saya masukkan dalam saku celana.
“Saf, kamu memang orang yang beruntung. Tetaplah meningkatkan ketakwaan dan kesabaranmu. Insya Allah, suatu saat kamu akan menyatu dengannya,” beri petuah KH. Didin.
Menyatu oleh Kiai Didin seperti apaan? Apakah saya jodohnya? Apakah saya akan menikah dengannya? Atau sebaliknya menyatu dia dengan saya adalah saya dan dia akan membentuk satu tubuh dua nyawa. Menyatu yang gimana ya? Hal itu terus kepikiran oleh saya. Terus saya analisis maknanya. Namun belum ketemu juga maknanya.
~oOo~
Berjumpa lagi dengan Kiai Didin. Saya menanyakan makna dari ucapannya. Dia tidak memberikan jawabannya. Karena dia tidak ingin berbohong dan mengingkari janjinya. Rupanya omongan itu juga berasal dari wanita itu. Masalah maknanya memang sudah diberikan pada Kiai Didin untuk disimpan baik-baik. Nanti suatu saat, waktu yang ditentukan maknanya baru boleh diungkapkan Kiai Didin.
Pada bulan syawal. Saat akan dilangsungkan perkawinan antara wanita itu dengan saya. Kiai Didin akan merangkap sebagai penghulu untuk mengesahkan perkawinan itu. Sehingga resmilah penyatuan tersebut. Karena wanita itu memang jodoh saya.
Kiai Didin menasihati saya untuk mengungkapkannya sendiri. Biar saya tau kejelasannya dan mengerti. Paham. Ini adalah sebuah tantangan untuk saya. Saya akan coba. Saya akan tuntaskan ketidakmengertian saya itu. “Bahwa saya bisa menyatu dengannya kalau saya menjadi orang yang tetap bertakwa dan sabar”. Saya akan berusaha melaksanakan apa yang diperintahnya. Menjadi orang yang takwa dan sabar.
~oOo~
Terdorong oleh rasa kemanusiaan. Ingin menolong orang lain dari kesusahannya. Meringankan beban penderitaan. Menumbuhkan semangat keceriaan orang tersebut. Saya meminta padanya agar dapat memberikan obat untuk kesembuhan Pak Jaram, masih mendekam di rumah sakit jiwa. Dia menolaknya.
“Saf, orang yang tidak bersih dan tidak mau percaya pada omongan orang lain, tidak perlu ditolong. Padahal apa yang saya katakan adalah benar. Saya tidak akan memberi kasihani padanya. Biarkan saja dia seperti itu.”
“Tidak gitu Sentuhan Rasa Illahi. Sesama manusia kita harus saling memaafkan. Karena memaafkan kesalahan orang lain adalah perbuatan yang terpuji. Disamping itu, ingatlah Sentuhan Rasa Illahi. Pak Jaram punya istri. Pak Jaram punya anak. Akibat Pak Jaram mendekam di rumah sakit jiwa. Istrinya kalang kabut mencari nafkah dan selalu dirundung kesedihan. Tiap hari selalu memikirkan kesembuhan suaminya, agar dapat berkumpul seperti semula. Tidak hanya itu, si anak juga kena imbas sedihnya…”
“Sudah cukup, Saf. Saya sudah paham apa yang nantinya kamu katakan. Baiklah, demi kamu. Saya akan bermunajat pada Allah untuk kesembuhannya,” katanya lemah dan senyuman manisnya tak pupus dirundung kegelapan. Alhamdulillah, akhirnya dia luluh juga. Mau memaafkan kesalahan Pak Jaram. Dia, saya biarkan mengheningkan jiwanya bermunajat pada Allah untuk kesembuhan Pak Jaram. Sedetik saja dia sudah selesai.
“Saf, minumkanlah barang ini lima butir sehari semalam. Selebihnya tinggal empat untuk minuman hari terakhirnya diminum. Tambahkanlah satu kopiah putih agar lengkap lima buah juga. Itulah obatnya dan petunjuk cara menggunakannya. Insya Allah dengan perkenan-Nya. Dia akan sembuh seperti semula,” jelasnya. Dia mengeluarkan tasbih berwarna kuning satu untai yang berjumlah sembilan puluh sembilan butir. Lalu diberikannya pada saya.
“Yang benar saja Sentuhan Rasa Illahi. Kok, obatnya berupa untaian tasbih bukan pil seperti biasanya dimakan orang kalau sedang sakit,” protes saya .
“Sudah saya duga, kamu akan berkata seperti itu. Memang saya berikan ini bertolak belakang dengan apa yang berlaku secara umum. Tapi jangan sangsi Saf, karena memang inilah obatnya. Obat penyembuh penyakitnya…” paparkanmu.
Saya pun menerimanya. Lalu obat itu saya bawa ke rumah sakit jiwa. Saya berikan kepada penjaga disitu untuk diberikan pada Pak Jaram. Saya juga menjelaskan cara memakainya. Semula orang tidak percaya. Mencemoohkan saya. Mereka menilai saya, terlalu mengada-ngada. Orang gila. Hampir saja tasbih kuning itu mereka buang. Alhamdulillah, ada seseorang memperingatkannya.
Tidak salahnya kita coba saja. Siapa tau, dia memang benar adanya. Walau kita lihat obatnya ini sangat aneh dari ketentuan umum. Berupa sebuah tasbih.
Mereka pun melaksanakan apa yang sudah saya katakan. Secara kontinu tasbih itu dimakan Pak Jaram setiap hari, seperti menelan makanan yang lezat selama dua puluh hari. Di hari dua puluh itu Pak Jaram sembuh total. Pegawai rumah sakit jiwa hanya dapat menggelengkan kepalanya.
Sungguh ajaib sekali. Hebat! Hanya pujian itu yang dapat dilontarkannya.
Pak Jaram pun diizinkan pulang. Betapa senang hati istrinya menerima Pak Jaram sudah sembuh sedia kala.
Sejak peristiwa itu Pak Jaram mulai rajin melaksanakan shalat. Meninggalkan pekerjaan yang menyebabkan kekotoran hatinya. Dia mulai banyak melakukan kebaikan. Sehingga kehidupannya menjadi makmur dalam ukuran penilaian keluarganya.
Banyak orang mulai mempergunjingkan saya. Gunjingan tentang yang baik-baik.
“Beruntung kali kamu Saf.”
“Kamu memang pantas untuk dia.”
“Kami pasti hadir di hari perkawinanmu”
Saya akan kawin. Dengan siapa?
“Mey, katamu saya akan kawin. Kawin dengan siapa?” tanyaku heran.
“Masach perkawinanmu sendiri kamu tidak tahu Saf? Jangan berguraulah….”
“Siapa bergurau. Saya serius Mey. Saya kawin dengan siapa?”
“Kawin dengan wanita kerudung putih yang sering dihebohkan orang. Banyak orang ingin memilikinya. Dia memang wanita cantik luar dalam. Sentuhan Rasa Illahi, Saf!” beritahu Memey.
“Dia….”kata saya tercekat.
Rupanya dia yang menyebarkan undangan ini. Wah semakin pusing saja saya dibuatnya. Walau sebenarnya saya juga menginginkan seperti itu. Bisa memilikinya untuk selama-lamanya. Dia memang pendamping hidup yang sempurna.
Wah perkawinan saya pas tanggal 1 Syawal 2005 lagi. Kan hari itu bertepatan dengan pesta kemenangan umat islam. Hari itu adalah hari kebahagiaan yang hakiki. Hari wajah-wajah penuh pesona berkilauan, wajah ceria nan cerah. Sesudah melewati batas-batas hari penuh ujian untuk menambah dan mempertebal keimanan. Disitulah kulminasi keceriaan terpancarkan. Padahal saya belum sepenuhnya mengenal kepribadiaanya. Hanya sekilas saja. Diwaktu sholat. Disaat melakukan kegiatan yang baik-baik dan positif. Gimana ya? Kacau berbaur gelisah. Gelisah bermandikan resah. Akhirnya logika berlandaskan realita yang turun tangan menyelesaikannya. Kalau dia memang menginginkan seperti ini. Saya hanya bisa penuhi saja. Mungkin dialah jodoh saya. Jangan-jangan inilah makna dari ucapan Kiai Didin bahwa dialah jodoh saya….
~oOo~
Di hari yang telah ditentukan. 1 Syawal 2005. Selesai melaksanakan sholat ied. Para penduduk memadati masjid Baburrahman untuk menyaksikan perkawinan saya dengannya. Jalan penuh semua oleh tua muda, kecil besar. Kalau ditaksir, mungkin ada jutaan orang memadati jalanan sampai ke masjid Baburrahman. Layaknya perkawinan orang-orang besar saja. Tapi memang gitulah kenyataannya. Ada perasaan senang juga di hati saya.
Kiai Didin sudah siap sedari tadi. Dialah yang akan mengawinkan saya dengan wanita berkerudung putih, yang lebih dikenal Sentuhan Rasa Illahi. Meresmikan kami menjadi sepasang suami istri. Kemudian acara pun akan dimulai. Sentuhan Rasa Illahi menemui saya, Kiai Didin, dan para undangan yang sudah lama berkumpul. Dia terlihat sederhana saja dengan tampilannya alakadar saja. Tapi kecantikan dan senyumannya memukau orang-orang banyak. Sehingga mata tertuju ke arahnya. Dia didampingi oleh orang tuanya yang sudah diundangnya hadir, sedangkan saya hanya didampingi oleh ibu. Ayah saya lagi berhalangan. Memberikan dakwah ditempat lain. Kegiatan untuk kemaslahan rakyat banyak.
Sentuhan Rasa Illahi didudukan dekat saya. Saya dengan kebahagiaan yang meluap dan gerakan spontan, secepat lecutan kilat di langit, saya memeluk dan mencium pipinya yang ranum, belum dijamah orang lain. Kamu pun kaget dan kotak putih di tanganmu terlepaskan. Berhamburanlah puluhan untaian tasbih berwarna putih dan kuning memenuhi lantai masjid Baburrahman. Perubahan terjadi. Pada tubuhmu mulai menyusut dengan timbulnya kabut putih memenuhi sekujur tubuhmu. Puluhan tasbih yang terlampar di lantai masjid memancarkan sinarnya sesuai dengan warna tasbih tersebut.
“ Keajaiban apa lagi yang akan terjadi?” pikir saya. Semua orang yang hadir hanya bisa terlongo-longo menyaksikan peristiwa takjub di depan mereka. Karena seumur hidup mereka baru kali ini mereka menyaksikannya. Secara langsung lagi.
Kabut putih terus membuntal tubuhmu yang merubah wujudmu semakin kecil. Walau begitu bibirmu masih membekaskan senyuman termanis. Lirih suaramu bergetar.
“Saf, kamu telah melakukan kesalahan besar di saat terakhir seperti ini. Rupanya keteguhan dan kesabaranmu hancur dan luluh juga. Kamukan tahu bahwa kamu belum boleh menyentuh tubuhku. Karena kita belum resmi menjadi suami istri. Tetapi hal itu sudah kamu lakukan, dengan memeluk dan mencium saya. Padahal tinggal beberapa menit saja kita diresmikan jadi suami istri setelah pengesahan ijab dan kabul yang dipandu penghulu. Tapi kamu sudah tidak sabaran. Ya, sudahlah!
Saf, inilah akhir dari kerapuhanmu. Maafkanlah saya tidak bisa dilihat lagi. Wujud kasar saya akan hilang dan menemui Sang Penciptanya. Kamu hanya bisa memiliki jiwa dan sanubari saya. Yang ada dari wujud sesuatu, akhir perubahan saya. Jagalah dia baik-baik. “ Kamu tidak menangis. Kamu tidak bersedih. Malahan kamu tetap tersenyum.
Sebelum sinar tasbih putih dan kuning menyatu dengan kabut putihmu. Masih terlihat tulisan:
Sentuhan Rasa Illahi…. Berganti dengan Subhanallah Rahman Iqra… lalu terakhir berganti SRI….
“Sri. Tidak!!! Jangan!!!” cegah saya lantang terucap. Entah mengapa saya fasih menyebut namanya, Sri! Selama ini hanya saya kenal dengan nama Sentuhan Rasa Illahi. Namun hanyalah kesia-siaan. Sinar kumpulan tasbih membulat jadi satu dengan kabut putihmu. Lalu memancarkan sinar berkilauan putih cemerlang. Rupanya kamu berubah menjadi untaian tasbih putih yang butirannya besar-besar dan selalu memancarkan sinar cemerlang dengan jumlahnya sembilan puluh sembilan, tergeletak di depan saya. Seakan kecemerlangan sinar tasbih itu adalah kecemerlangan senyuman putihmu.
Deraian air hujan penyesalan saya, tumpah ruah membanjiri lantai masjid Baburrahman.
“Sri, maafkan kekhilafan dan kesalahan saya…. Terlalu rapuh. Terlalu lemah. Terlalu dhoif. Hingga menyebabkan lubang pada sebuah ketegaran saya, selama ini saya jaga untuk terakhir kali ini. Akibatnya saya merasa tak ada artinya…………….”
Balai Berkuak, 01 Mei 2004
~~~~~&&&&&~~~~~
CATATAN:
Cerpen ini diciptakan untuk mengenang Sri Lestari, S.Pd.I., Dewi 2 kuadrat, Camar (hidrogen satu) yang menetap di CHETAPANK CITY….!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar