Oleh : M. Saifun salakim
Memasuki daerah Megasing harus melewati desa Benawai Agung, Sedahan dan lain-lain. Kata orang daerah Megasing terdapat DAM berair jernih dan bening. Kalau kita mengaca ke air DAM akan terlihatlah wajah kita dengan jelas.
Daerah itu sunguh indah dan nyaman untuk melepaskan ketegangan sehabis bekerja seharian suntuk. Kadangkala daerah DAM digunakan kawula muda untuk berkasih sayang. Karena panorama alamnya memang sungguh memukau.
Kicauan burung dari satu orang ke lain orang membangkitkan semangat saya, yang memang pencinta keindahan. Kiranya saya beranjak ke sana untuk membuktikan kebenaran. Seberapa indah daerah itu menurut pemikiran saya?
Hari minggu. Saat langit cerah. Karena awan putih melepah di cakrawala mahligai kahyangan saputan lembut tangan Illahi. Ditambah lagi tiada kelihatannya bintik-bintik mendung di kilasan karpet lazuardi biru. Seakan alam memberikan kans baik buat saya untuk menyinggahi daerah Megasing. Yang bikin penasaran dalam logika saya tentang keindahannya, selalu dikicaukan orang-orang.
Vega saya bedah melaju gilas aspal memasuki daerah Megasing yang jadi tujuan saya hari ini. Gilasannya dengan aspal bersenandung rock hingar bingar menambah semangat saya jadi meningkat agar memacunya terus, cepat sampai daerah yang dituju.
Daerah Benawai Agung sudah saya lalui, dan desa yang lainnya. Saya pun telah memasuki daerah dakian yang berbukit rendah. Vega saya perlambat lajunya takut terpeleset masuk jurang. Dari vega yang terus mendaki, saya leluasa memandang hamparan sawah penduduk yang luas dan himpunan rumah penduduk terpandang eksentrik dari kejauhan.
“Wow, indahnya,” seru saya tanpa sadar.
Daerah ini mungkin tidak kalah elegannya dengan daerah yang ada di Pulau Jawa. Konon terkenal dengan keindahan dan kemenarikan daerahnya. Bak daerah yang pernah saya lalui, yaitu kawasan yang mengambil rute dari Terminal Bus Surabaya menuju Terminal Semarang.
Waktu itu saya berada di Terminal Surabaya. Saya melihat orang berjubel dan berdesakan memasuki Bus sesuai jurusan yang dituju. Para pedagang asongan juga sibuk menawarkan dagangannya. Yang turun dari bus satu ke bus lain. Bermacam-macamlah barang dagangan yang ditawarkannya. Dari bahan makanan sampai barang antik. Barang antik yang mencirikhaskan daerah itu. Saya rasanya tertarik untuk membeli barang antik itu, namun saya urungkan pula keinginan itu karena takut ongkos yang saya bawa tidak cukup lagi untuk biaya pulang ke Pontianak.
Bus patas yang saya tumpangi melaju menembus kepekatan sore yang menari dalam pelupuk mata sang harimau kelam menuju Semarang. Bus patas melintasi daerah Demak. Terkenal dari daerah ini adalah Masjid dan peradabannya. Oh ya, Demak dulunya merupakan pusat kerajaan Islam dengan raja pertamanya adalah Raden Patah. Rajanya ini masih keturunan wali songo.
Masjid umum Demak merupakan warisan dari para wali songo yang masih ada sampai sekarang. Di masjid Demak ini ada tatalan masjid yang begitu unik dan kokohnya yang dipasang oleh Sunan Kalijaga, wali songo yang termuda. Tatalan itu melambangkan per-satuan dan kesatuan, kekompakan mereka antarsesama waliyullah dalam memajukan Islam waktu itu agar menjadi jaya.
Lamunan saya menjadi buyar. Sebab vega yang dibedah sudah sampai di daerah tujuan, yaitu DAM berair jernih dan bening. Saya memarkirkan vega di samping rumah penduduk. Selanjutnya saya melihat kejernihan air DAM.
Di samping kiri DAM ada sebuah rawa. Asyik juga nih untuk kegiatan memancing. Selain itu, jejeran bukit yang menghijau, mengampar indah seperti untaian jamrud khatulistiwa. Membuat alunan perasaan saya menjadi tenang, sejuk, dan damai. Seakan saya saat ini berada di keluasan alam yang betul-betul perawan paten, tidak ada kerusakan-kerusakan kulitnya sedikit pun. Sungguh mulus. Semulus kelokan alam sorgaloka.
Di samping saya, duduk santai seorang dara yang asyik memancing ikan dengan memakai penutup kepala seperti kuali terbalik. Dia asyik memancing, tidak terusik oleh keributan orang hilir mudik di sekitarnya. Walau suasananya cukup berisik. Dia tetap enjoy aja. Sesaat saya terpandang wajahnya, tanpa sadar mulut saya berkicau.
“Amisha Patel!” terkejut nian.
“Amisha Patel?”
“Bung, memanggil saya?” tanyanya.
“Maaf Nona!”
“Tidak apa-apa koq Bung. Biasa saja.”
“Terima kasih ya nona atas pengertiannya.”
“Ya, deh.”
Akhirnya saya berkenalan juga sama gadis itu. Mempunyai nama Ni Ketut Layung Mindai. Rupanya dia adalah gadis Bali. Tinggalnya tidak jauh dari DAM ini. Perkampungan Bali. Yang hanya dihuni oleh orang-orang Bali. Mereka semuanya pendatang di West Borneo ini. Mereka bisa hidup rukun berdampingan dengan tetangga sebelahnya. Suku Melayu. Suku Jawa. Suku Batak dan lain-lain.
Setiap minggu, saya main ke DAM. Abis saya mau jumpa Mindai. Mindai yang terlalu manis tuk dilupakan. Perbedaan agama bukanlah suatu masalah asalkan kita bisa toleransi dengan baik. Menghargai dan menghormati sesama. Sehingga hubungannya dapat berjalan lancar dan sukses. Mindai juga kesana. Kami bertemu disana. Kami ingin abiskan hari dengan kesenangan.
“Bang Din, kita lihat DAM dari bawah ya?” kata Dai ngajak.
“Nggak ah. Nanti saya kebasahan,” jawab saya.
“Ayolah kali ini aja deh,” rajuknya. Dia pun narik lengan saya. Saya pun nurutinya. Dia mulai duluan turun lewat tangga besi yang melintang seperti tangga menurun dengan hati-hati. Saya pun ngikutinya. Wah, di bawah pemandangannya sungguh menakjubkan. Percikan air memercik dari lubang-lubang papan penahan DAM, layaknya pancuran air di tengah taman indah.
Pada bagian bawah papan penahan DAM, airnya tetap berjalan lancar dengan deras. Kalo jatuh kesitu, bisa dihanyutkan air ke rawa. Tempat olakan air ngumpul satu.
Dia nyorongkan rambutnya ke percikan air. Basahlah rambutnya. Tergerai bebas. Nggak sampai disitu. Dia pun membasahi tubuhnya dengan percikan air yang keluar dari lubang-lubang papan penahan DAM. Girangnya dia sambil berteriak-teriak.
“Bang Din, mari nikmati kesegaran air nih.”
“Nggak ah Dai. Kamu aja deh.”
“Harus mau Bang Din,” katanya lalu nyentakkan tangan saya hingga terdorong mendekati percikan air dan dekat di sampingnya.
“Kamu sungguh nakal Dai. Tapi asyik juga ya?” kata saya. Baru kali ini saya rasakan air sesejuk dan sesegar ini. Bisa ngilangkan kekusutan pikiran. Ngilangkan keletihan mendera. Ngelupakan semua permasalahan yang sering nginggap di hidup kita.
wah, terima kasih ya Dai telah ngajak saya kesini.
Suatu ketika dia ingin ngetahui juga mengenai Amisha Patel. Yang merupakan awal pertemuan saya dengannya. Dia ingin tahu.
Apakah Amisha Patel itu kekasih saya? Abis dia mulai pula nyukai saya. Kalo Amisha Patel bukan kekasih saya, khan ada kesempatan tuk dia ngedekatin saya.
Kami duduk dekat rawa agak di pojok bagian selatan. Alhamdulillah, sore ini iklim dan cuaca cerah nian. Hingga keindahan pemandangan alam dan kebeningan DAM terkilaukan nyata. Dia memakai topi seperti kuali terbalik. Sungguh lawar nian.
“Bang Din, saya ingin nanyakan suatu hal, boleh khan?” katanya.
“Boleh Dai, siapa ada ngelarangmu,” sahut saya kalem.
“Bang Din, waktu kita berkenalan abang pernah nyebutkan nama Amisha Patel. Siapa sih dia sebenarnya? Tolong abang jawab dengan jujur.”
“Dia adalah wanita imajinasi saya,” sahut saya kalem.
“Maksud abang. Saya nggak ngerti, karena pakai bahasa sastra segala. Tolong abang jelaskan.”
“Maksudnya. Dia selalu saya kenang dalam jiwa. Dia selalu ngiasi perasaan dan sanubari saya. Dan tiap jengkal waktu dia trus ngikuti kemana aluran kemauan saya berjalan. Pokoknya dia selalu ada di hati saya.”
“Berarti dia kekasih abang ya?”
“Bukan. Dia bukan kekasih saya.”
“Kalo githu, dia adalah ibu abang?”
“Bukan. Dia juga bukan ibu saya.”
“Kekasih, bukan? Ibu juga bukan? Tambah nggak ngerti aja saya. Jadi dia siapa? Tolong Bang Din jelaskan dengan sedetail-detailnya. Jangan pakai bahasa yang memusingkan saya. Please dong Bang Din, biar kegundahan saya terjawabkan sudah.”
“Okelah, kalo githu Dai. Kalo kamu ingin tahu jelas ngenai Amisha Patel, kamu boleh nanyakannya dengan si ganteng dan berotot kekar Sunil Shetty, dan Salman khan serta teman-temannya seperti Ajay Devgan, Saif Ali Khan, Amir Khan, Ayub Khan, Hrithik Roshan, Tushar, Amitha Bachan, Abishek Bachan, Arjun Rampal, Ashay Kumar, Ashay Khanaa, Bobby Deol, dan lain-lain. Itu adalah teman-temannya yang pria. Sedangkan kalo teman-temannya sesama wanita adalah si suara serak basah Rani mukerji, si hitam manis Kajol Mukherji, si lesung pipit sebelah Preity Zinta, si ratu joget Silpha Shetty, si periang Kareena Kapoor, si kecil mungil Karisma Kapoor, si cantik dan lugu Manisha Koirala, si cantik manis Madhuri Dixit dan Sri Devi, dan teman wanitanya yang lain adalah Twinkle Khana, Urmila Matondkar, Esha Deol, Miya Dirza, Mahima Chaudory, Susmitha Sen, Aiswarya Rai, Sonali Bendre, dan lain-lain. Karena Amisha Patelnya wanita, sebaiknya untuk jelasnya kamu tanyakan aja pada teman-temannya wanita. Ditanggung beres. Semuanya akan memberikan keterangan yang benar ngenai Amisha Patel.”
“Oh githu,” muncung mulutnya sambil mikir.
Nama semua teman-teman Amisha Patel, koq nama India semua. Berarti Amisha Patel orang India. Oh ya, baru saya ingat, bukankah Amisha Patel adalah salah satu artis India. Berarti Amsiha Patel hanya artis idola Bang Din.
Sebentar dia mulai senyum.
“Bang Din, ngerjain saya ya?”
Saya pun nggak bisa ngebendung ketawa yang udah muncak di otak. Tawa yang berderai. Memecahkan kemolekan sore ini. Dia hanya cemberut dikit. Sungguh terlihat manis dan legit. Macam sogus aja. Hingga dalam keasyikan ketawa itu, saya nggak sadar tangan halus dan lembut bidadari dorong tubuh saya masuk DAM.
Byuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrrrrrrrr…………………………….
Bunyi tubuh saya mencium kebeningan air. Seketika tawa saya yang meledak berhenti dengan sendirinya berganti suara kelabakan. Trus berusaha ngambat air DAM masuk dalam lubang hidung dan telinga. Gantian tawa merdunya yang mengoyak langit bertengger di awan.
“Itulah hadiahnya kalo suka ngerjain orang lain,” tunjuknya pada saya. Saya berusaha menepi. Ketika itu tawa Mindai mulai reda. Ngelihat saya kedinginan timbul rasa kasihannya.
“Dingin ya?” tanyanya.
“Ya Dai, saya kedinginan. Air ini betul-betul dingin nian,” sahut saya sambil melihatkan mulut yang gemetar. Sekedar berpura-pura. Karena saya udah ngerancang sebuah metode, ngebalas perlakuannya. Ngeceburkan dia dalam air Dam. Biar seimbang.
Mau naik ke atas sendirian saya nggak bisa. Karena tepian DAM githu licin dan curam. Kalo coba naik, kepleset terus. Selalu githu yang terjadi. Untuk itu saya minta tolong padanya.
“Dai, tolong tarik saya ke atas. Saya takut dengan dengan Puake Tapah,” seru saya sambil ngulurkan tangan.
“Bang Din… Bang Din…. Segala legenda kamu asi. Sebenarnya Puake Tapah itu nggak ada. Itu hanyalah kabar angin yang ditiup burung kebohongan pada semua orang yang bertandang ke sini, termasuk abang. Yang ada hanya kamu sekarang.”
“Tapi, saya masih ragu dengan perkataanmu. Jangan-jangan kamu hanya sekadar nguatkan perasaan saya aja.”
“Nggak Bang Din, saya berkata apa adanya. Jujur nian. Saya harap Bang Din, bisa ngerti apa yang telah saya utarakan,” kuatkannya lagi.
“Insya Allah, Dai. Tapi jangan keasyikan ngomong melulu. Saya mohon tolongi saya. Saya udah kedinginan nih,” seru saya.
“Oh ya, saya hampir lupa. Baiklah Bang Din, saya akan bantu abang agar dapat naik,” sahutnya dari atas. Dia lalu jabat tangan saya dengan eratnya. Dia mulai menarik. Sayang, keburuan saya dulu yang nariknya hingga dia masuk juga dalam air DAM.
“Asyik basah bersama,” seru saya girang.
“Abang curang,” protesnya. Sedikit merengutkan bibirnya yang terlihat sungguh manis dan indah.
“Curang dikit khan nggak pha-pha asalkan jangan banyak. Bisa kebablasan. Masach saya aja yang ngerasakan dingin, kamunya nggak. Itu nggak adil namanya. Sekarang khan udah adil. Sekarang udah impas. Sama-sama basah kuyup,” tanggap saya.
“Bang Din nakal kali,” cubitnya pada pinggang saya hingga saya ngeringis kesakitan dibauri rasa senang. Abis yang nyubit dengan rasa sayange… Rasa sayange…. Berdekat berdua, saling berbagi keceriaan.
Kami benar-benar bersuka ria hari ini. Ngilangkan beban dan kegundahan yang melanda. Memanfaatkan kesejukan dan kesegaran air DAM sebagai pengobatnya. Obat yang ampuh dan mujarab. Sungguh mempesonakan. Sungguh menggembirakan dan menyenangkan. Karena bisa ngerasain secara langsung air DAM yang jernih dan bening ini. Suasana hati pun dirasakan jadi hidup dan berkembang seperti mekarnya kembang setaman di halaman rumah.
Selama ini saya belum pernah pergi ke rumahnya. Abis dia selalu ngelarang saya.
Katanya, bahwa ayahnya nggak suka dengan kemunculan saya. Karena saya berlainan agama dengannya. Orang tuanya masih berpikir ortodoks. Konservatif. Dia hanya mementingkan agamanya, dan teman anaknya harus orang yang seakidah. Kalo nggak, akan ditolaknya mentah-mentah. Sungguh fanatik buta.
Saya tiap saat ngelihat dia sembahyang di pura. Dengan bawaan sesajen yang beraneka ragam jenisnya tuk dipersembahkannya pada Hyang Widhi Wasesa. Dia pun selalu saya temani, walau saya harus setia nunggu dia selesai sembahyang di halaman depan pura. Membuat dianya tersenyum dan selalu cerah.
Entah ngapa hari ini, dia nggak bersemangat ngelaksanakan sembahyang ke pura. Abis dalam kalbunya sedang terjadi pergolakan yang seru.
Karena tadi malam, antara sadar dan nggak, dia ngelihat sebuah fenomena faktual. Sebuah layar kaca putih terpampang di depannya. Disitu dilihatnya bahwa dirinya sedang ngelakukan sembahyang yang berbeda dengan ajaran agamanya. Dia sembahyang bukan dengan ngantarkan sesajen, tetapi dengan nundukkan kepalanya dan bibir lembutnya mencium lipatan tikar yang selalu dianggapnya hina. Aneh nian dirasakannya.
Kemendungannya yang ngelayut awan terpancar kontras, terlihat jelas oleh kebeningan pikiran dan ketajaman tilikan mata hati saya. Mungkin dia sakit atau ada masalah yang ngantuinya. Sebagai teman saya ingin ngebantunya.
“Dai, kamu sakit ya hari ini?” tanya saya.
“Nggak koq Bang Din,” jawabnya.
“Tapi, ngapa kamu kelihatan nggak bergairah. Ada masalah ya?”
“Nggak ada juga Bang Din.”
“Atau ada sesuatu yang ganjal pikiran kamu. Katakanlah kerisauanmu. Mungkin sebagai temanmu saya bisa ngebantumu meluruskan kerisauanmu,” korekku semakin dalam. Dia hanya terdiam. Kemudian dia angkat bicara jua masih dengan rona kemendungan.
“Bang Din, tadi malam antara sadar atau nggak, saya ngelihat diri saya dalam sebuah layar lebar berkain putih panjang. Saya ngelakukan sembahyang yang lain dari sembahnyang yang agama kami ajarkan. Saya ngelakukan sembahyang dengan gerakan indah dan kadangkala bibir saya juga menyentuh lantai penuh alas yang kami anggap sungguh menghinakan. Abis tempat injakan kaki khan penuh kotoran dan debu. Apalagi nundukan kepala ke lantai sungguh memalukan sekali.
Tapi Bang Din, di sembahyang ini sungguh terasa kemuliaannya. Kemuliaan yang membawa perasaan saya pada sesuatu yang menyenangkan sehingga menimbulkan perasaan sejuk dan tenang dalam jiwa. Memberikan pelajaran pada saya gitu kecilnya saya saat ngelakukan sembahyang ini di hadapan Tuhan. Ingin rasanya saya selalu seperti itu. Bisa tenang dan damai. Itulah yang merisaukan saya Bang Din. Apakah hal itu sebuah kebenaran atau bukan? Menurut Bang Din gimana?”
“Alhamdulillah Dai. Hal itu adalah kenyataan dan kebenaran. Bersyukurlah kamu. Karena kamu telah mendapatkan hidayah dari Allah,” kata saya sungguh senangnya.
“Kenyataan. Saya beruntung. Dapatkan hidayah dari Allah,” ucapnya mengulang-ngulang kata saya.
“Bang Din. Apa sih itu hidayah? Apa itu sih Allah?” tanyanya benar-benar nggak ngerti.
“Dai, Allah itu adalah sama dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dia tunggal dan tidak diperanakan. Dialah yang mengatur kehidupan dan kematian kita. Sedangkan hidayah adalah petunjuk yang diberikan Allah pada seorang hambaNya agar dapat mengikuti apa yang dia berikan itu atau dia katakan. Yang bisa diberikannya lewat apa saja,” jelas saya dengan bahasa singkat yang mudah dipahami.
“Gitu rupanya, Bang Din.”
“Bang Din, dengar penjelasan abang. Saya makin yakinlah…! Bang Din, saya ingin kali mempelajari cara sembahyang itu yang telah memberikan ketenangan, kesejukan, dan kedamaian dalam jiwa saya. Maukah abang ngajarkannya pada saya?”
“Ngajarimu. Itu adalah soal yang mudah kali. Dengan senang hati. Tapi gimana dengan keluargamu?”
“Maksud abang apa?”
“Keluargamu beragama Hindu. Sedangkan kamu, kalo ingin ngelakukan sembahyang yang menimbulkan ketenangan dan kedamaian di hatimu, harus meresmikan dirimu masuk agama baru, yaitu agama Islam. Sebab sembahyang yang membawakan ketenangan dan kedamaian dalam hatimu adalah sembahyang penganut agama Islam dalam menyatakan tunduk bakti jiwa raganya, hanyalah untuk Allah. Saya yakin keluargamu akan melarang untuk merubah akidahmu. Kamu khan anaknya satu-satunya untuk meneruskan agama leluhurnya. Khan bisa jadi percekcokan nantinya. Kamu dengan keluargamu,” terang saya padanya.
“Namun Bang Din, saya khan ingin memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam jiwa saya yang hanya saya dapatkan dari sembahyang itu. Selama ini hal itu belum saya peroleh. Salahkah menurut Bang Din, kalo saya mencoba menentukan jalan saya sendiri tanpa adanya unsur paksaan dari orang tua?”
“Nggak salah Dai. Namun perlu pemikiran yang serius untuk menentukan keputusanmu. Karena keputusan yang kamu ambil mempunyai dampak berisiko tinggi?”
“Sepertinya abang mau mementahkan keinginan saya.”
“Nggak Dai. Saya nggak ingin mementahkan keinginanmu. Cuman saya memberikan pandangan, apakah kamu sudah siap menerima kenyataan yang terjadi bila kamu merubah akidah dan agamamu yang berlainan dengan orang tuamu? Bisa dipastikan hubungan keluarga di antara kalian akan menjadi retak lalu berangsur-angsur akan putus berderai. Itu yang nggak Bang Din inginkan. Namun, jika sekiranya kamu sudah mantap dan bulat dengan keputusanmu dan sudah siap lahir batin menanggung risiko yang akan terjadi, Bang Din nggak juga bisa melarangmu, malahan Bang Din senang dan bahagia. Karena kamu telah menemukan cahaya indah Sang Illahi dalam menemukan ketenangan dan kedamaian dalam hatimu yang kamu cari selama ini.”
“Bang Din, Dai sudah mantap dengan keputusan ini. Segala risiko yang terjadi akan Dai terima dengan kerelaan, sekalipun akan berpisah dengan orang tua,” pertegasnya dengan suara yang berwibawa dan mantap betul. Gelombang air DAM meriak terlanda getaran suaranya yang memantul. Angin pun bertiup lembutnya membelai tubuh mungilnya seakan mendukung kekokohan keinginan hati Mindai.
Hari itu juga Mindai saya ajak menemui Kiai Maksum. Meresmikan dia masuk Islam. Itu terlihat dengan pengucapan secara lisan dua kalimat syahadat dari mulutnya dengan dipandu Kiai Maksum dengan saksinya diri saya. Resmilah dia jadi penganut Islam. Muslimah. Setelah bantuan cahaya hidayah Illahi merasuki jiwanya.
Mindai pun nggak pernah lagi pergi sembahyang ke pura. Malahan dia banyak mengurung diri di kamarnya untuk melakukan sembahyang sesuai dengan agama Islam yang dianutnya.
Setiap diajak orang tuanya sembahyang ke pura, Mindai selalu beralasan sakit perut dan nggak enak badanlah. Bermacamlah alasan yang dibuatnya agar dia nggak ngelakukan sembahyang ke pura. Satu dan dua kali orang tuanya bisa memakluminya. Tapi selanjutnya mereka mulai curiga. Mulailah mereka ngelakukan penyelidikan.
Benar juga kata pepatah, sepandai-pandai menyimpan bau suatu saat akan ketahuan jua. Gitu juga kepalsuan yang dilakukan Mindai terhadap orang tuanya akan terbongkar jua.
Suatu kala kami bertemu di DAM. Berbagi apa saja yang bisa dibagikan. Bisa pengalaman dan cerita. Bisa juga berbagi petuah dan saran-saran. Ketika waktu menjelang Ashar. Kami pun bersegera ngelaksanakan perintah Allah. Di dekat DAM kami bentangkan sehelai tikar kecil. Kami pun ngelaksanakan shalat Ashar berjamaah.
Rupanya apa yang kami lakukan telah diperhatikan oleh kedua orang tua Mindai. Mereka kaget setengah tak percaya. Ngelihat anak gadis semata wayangnya telah merubah akidahnya dan ngelakukan sembahnyang agama Islam. Ini nggak bisa dibiarkan aja. Pemuda ini yang jadi biang keladi pangkal masalahnya.
Seketika orang tua Mindai telah berdiri di hadapan kami. Saat kami barusan selesai ngelaksanakan shalat Ashar.
“Mindai, apa yang telah kamu lakukan disini?” bentak ayahnya.
“Ayah!” kata Mindai tercekat. Saya juga terperanjat ngedengar suara yang nyaring. Mata saya pun bebenturan dengan mata si pemilik suara itu. Tatapannya gitu sinisnya.
“Saya ngelaksanakan shalat ayah,” kata Mindai dengan lirihnya.
“Ngelaksanakan shalat!” balik ayahnya yang tercekat.
“Kamu shalat atau sembahyang menyembah Tuhan yang lain. Bukan menurut ajaran kita lagi. Ngapa itu sampai terjadi Nak. Jangan-jangan pemuda ini yang telah ngasutmu hingga kamu meninggalkan ajaranmu. Katakanlah Nak!” kata ayahnya masih datar.
“Nggak ayah, itu kemauan saya sendiri. Abis dengan ngelakukan sembahyang gini, saya ngedapatkan ketenangan dan kedamaian dalam jiwa ini, selama ini nggak saya rasakan.”
“Bohong.”
“Benar ayah. Itulah kenyataannya.”
“Nggak mungkin Nak. Kamu cuman termakan rayuan sesaat. Nak, kamu harus kembali pada ajaranmu semula. Untuk itu, kamu nggak boleh lagi bergaul dengannya. Mari kita pulang,” kata ayahnya lalu menarik anaknya dengan paksa.
“Nggak ayah, saya masih ingin bersama Bang Din!” ronta anaknya ngelepaskan tangan kekar ayahnya. Ayahnya terus aja memaksa anaknya. Anaknya sekuat tenaga ngelepaskan dirinya. Namun dia kalah tenaga. Nampaknya dia sayu dalam tarikan tangan kekar ayahnya. Nampaknya dia butuh pertolongan saya.
“Pak, kalo ingin membawa anak sendiri jangan kasar gitu. Bisa lembut dikit nggak!” kata saya.
“Apa hakmu ngelarang saya? Dia anak saya. Sesuka sayalah membawanya.”
“Nggak bisa gitu Pak. Kalo memaksa anak secara kekerasan, itu udah nyalahi aturan. Nggak mendidik namanya.”
“Apa? Anak masih ingusan mau ngajari orang tua. Jangan-jangan dengan pembelaanmu ini pada anak saya. Meyakinkan saya bahwa kamulah pengasutnya hingga anak saya berubah haluan akidah dari ajarannya dulu. Mengikuti ajaran agamamu. Kamulah provokatornya! Provokator yang paling keji dan menjijikkan. Untuk itu, kamu lebih layak dan pantas disebut manusia nggak beradab atau biadab. Karena nggak tahu toleransi antaragama yang lain. Karena nggak tahu hormat dan menghormati hak orang lain. Selain itu, kamu lebih pantas juga disebut debu sepatu berlumpur dan air comberan yang mengental. Yang hanya mengotori jalan kehidupan anak saya,” tunjuk ayah Mindai pada muka saya seraya ludahnya meluncur menghampiri muka saya dengan manjanya.
“Cukup Pak! Hentikan ocehan Bapak itu,” gelegar saya membahana.
Emosi saya terbangkitkan karena dihina dan dilecehkan di luar batas kewajaran dan kesabaran saya. Mindai terkejut tak percaya mendengar suara saya seperti guntur menggelegak, lantang terdengar. Sebelumnya nggak pernah dilihatnya saya marah seperti ini. Muka saya sudah merah saga. Setan merah kehausan darah sudah menjalari rongga-rongga pernapasan dan pori-pori darah saya. Siap mengamblaskan siapa saja yang berani menghalangi keinginan hati saya.
“Ayah hentikan semua ini,” pekiknya histeris seraya menghampiri ayahnya. Tapi niatnya dihalangi oleh ibunya.
“Lepaskan saya, Bu. Jangan halangi saya. Saya nggak ingin ayah berkelahi dengan Bang Din. Karena saya nggak ingin dua-duanya cidera. Karena dua-duanya adalah orang yang sungguh saya sayangi,” katanya memohon pada ibunya. Tapi ibunya tetap mencekal Mindai dengan eratnya.
“Biarkan saja Nak!”
“Nggak bisa gitu, Bu. Lepaskan saya,” rontanya dengan sekuat tenaga melepaskan cekalan ibunya. Agar dia dapat melerai pergulatan seru, yang akan terjadi antara ayahnya dan saya. Tapi usahanya sia-sia. Dia hanya lemas sendiri dalam cekalan ibunya.
Emosi saya masih menaik. Dihina dan dilecehkan ayah Mindai seperti ini apalagi diludahinya. Ingin rasanya saya balas perlakuannya. Namun semuanya saya urungkan. Karena saya teringat dengan petuah guru saya.
Jangan kamu membalas perbuatan orang lain apalagi sampai membunuhnya di saat kamu dalam keadaan marah. Semua itu adalah perbuatan setan. Kalau sampai kamu lakukan tindakan revans itu. Kamu bukannya berbuat kebaikan tetapi malahan kamu melakukan perbuatan dosa. Berusahalah untuk berbuat sabar. Itu adalah jalan lebih baik dari semuanya. Karena Allah menyenangi orang yang berbuat kebaikan dan kesabaran.
Saya pun coba meredamkan emosi itu. Dengan selalu melafazkan kebesaran Allah dalam hati. Alhamdulillah saya bisa. Kemudian untuk ngindari terjadinya perang yang panas lagi. Maka saya pun pergi dari hadapan ayah Mindai.
“Bang Din……...,” kata Mindai dengan tangannya tergapai. Saya terus menjauh dan menjauh.
Saya masih menyempatkan diri ke DAM berair jernih dan bening. Dengan harapan bisa bertemu dengan Mindai. Namun saya hanya menemukan kebisuan alam rawa. Berarti Mindai benar-benar dijaga ketat oleh orang tuanya agar nggak bisa menjumpai saya.
Entah gimana caranya Mindai bisa meloloskan diri dari jagaan orang tuanya. Dia mencari saya di DAM, namun nggak ditemukannya. Lalu dia mencari di tempat teman-teman saya. Nggak juga ditemukannya. Di rumah teman yang bernama Kasiri, dia dapatkan informasi.
“Coba aja kamu cari dia di Pantai Pulau Datuk. Biasanya tempat itu jadi tempat dia ngelepaskan kekesalannya dan kerinduannya pada seseorang,” beritahu Kasiri.
“Terima Kasiri. Saya akan coba kesana!” jawabnya senang dan bangga.
Saat itu saya lagi enak-enakan duduk di batu datar. Cukup tinggi jua dari permukaan tanah dan dekat dengan pesisir pantai. Letaknya di samping kiri Pantai Pulau Datuk. Santai sambil nyaksikan kelemahgemulaian tarian ombak menembang. Mencium pantai bahkan meludahi batu di bawah saya duduk hingga air ludahnya memercik ke atas, kembali lagi ke mulutnya. Apalagi suasananya agak teduh, makin sejuklah jiwa saya ngayati keajaiban alam ciptaan Allah ini.
“Bang Din!” tegurnya lalu menghampiri saya.
“Mindai!” kaget saya. Karena dia tahu bahwa saya ada disini selain tempat mangkal saya di DAM. Berarti dia diberitahu oleh teman saya. Udahlah. Nggak perlu dipikirkan.
“Kamu kesini sudah izin orang tuamu,” kata saya.
“Nggak Bang Din. Saya melarikan diri,” sahutnya.
“Nggak baik kamu lakukan itu, Dai,” nasihat saya.
“Biarkan aja Bang Din. Daripada di rumah saya tersiksa terus. Lebih saya ikut Bang Din aja. Bisa terus mendapatkan ketenangan dan kedamaian jiwa. Karena kalo saya sembahyang nggak ada ngelarang lagi. khusyuk khan?”
“Tapi Dai, nggak baik kamu punya pemikiran gitu.”
“Udahlah Bang Din. Saya kesini bukan minta protesan dari abang. Saya kesini ingin minta perlindungan dari abang. Namun abangnya sepertinya nggak suka kalau saya selalu dekat dengan abang.”
“Bukan gitu Dai.”
“Jadi maksudnya apa?”
“Maksudnya, saya senang koq kamu selalu ada didekat saya. Agar nggak nimbulkan hal yang lain lebih baik kita ke rumah aja.”
“Coba gitu,” katanya girang. Lalu kami pun meninggalkan Pantai Pulau Datuk menuju ke rumah saya.
Kehilangan Mindai yang pergi secara diam-diam dilaporkan orang tuanya ke polisi. Polisi pun menanggapi berkas pelaporan itu. Mulailah polisi melakukan pencarian.
Saya pun berusaha meyakinkan Mindai. Bahwa apa yang dia lakukan ini adalah salah. Meninggalkan rumah orang tuanya tanpa izin. Karena cuman alasan sederhana. Perbedaan akidah. Seharusnya Mindai berusaha untuk bisa melunakkan hati orang tuanya agar bisa menghargai dan menghormati agama baru yang dianutnya. Bukan sebaliknya memaksanya mengikuti ajaran lamanya. Biar gimana pun sejahat-jahatnya orang tua. Mereka masih orang tua kita. Pertalian anak dan orang tua nggak bisa dipisahkan.
Terpenting Mindai nggak akan tergoyah dengan ajakan orang tuanya. Mungkin saja dengan keteguhan dan kesabaran yang tinggi serta selalu memberikan pandangan pada orang tuanya secara kontinyu, maka lamban laun orang tuanya akan sadar. Mulai bisa ngelakukan toleransi yang sewajarnya padanya.
Akhirnya Mindai pun bisa menerima apa yang saya sampaikan. Dia mulai pahami dengan hal-hal yang telah saya utarakan. Maka saat saya ajak kembali pulang ke rumahnya, dia pun mengiyakan.
Ketika setibanya di sana. Saya sudah dihadang para personil polisi yang mencari Mindai. Orang tuanya juga ada disana. Mereka berkumpul semuanya.
“Mindai kesini kamu!” panggil ayahnya. Mindai pun menghampiri orang tuanya. Kemudian ayahnya menjurus pada saya.
“Pak polisi tangkap orang itu. Dialah pelakunya yang melarikan anak saya!” teriaknya menunjuk diri saya.
“Jangan ayah. Dia bukan melarikan diri saya. Sayalah yang melarikan diri sendiri, dan minta larikan dengannya. Ayah, Bang Din nggak bersalah,” bela Mindai.
“Diam aja kamu. Kamu tahu apa!” bentak ayahnya.
“Bu, bawa anak kita ke dalam.”
“Bu, lepaskan saya………….!” teriaknya sekuat-kuatnya. Namun ibunya tetap mencekalnya dan nggak melepaskannya. Ibunya segera ngelaksanakan apa yang diperintah ayahnya.
“Bu, saya mohon kali ini lepaskanlah saya. Saya ingin ngalangi ayah agar nggak nyakiti Bang Din untuk kedua kalinya, karena dia nggak bersalah. Sayalah yang bersalah. Ibu……” katanya memelas sambil menangis. Ibunya nggak memperdulikannya. Trus aja ibunya menggelandang anaknya masuk rumahnya. Saya hanya bisa menatapnya dengan pilu dan sayu. Gitu beratnya cobaan yang dideritanya.
Dalam hati kecil, saya berdoa moga saja Allah menguatkan batin dan keimanannya, agar nggak tergoyahkan dengan keinginan yang menyesatkan. Mudah-mudahan hidayah Allah melimpahi keluarganya.
Asisten polisi segera menghampiri saya. Untuk diborgol dan dimasukkan dalam penjara, karena saya telah melakukan tindakan kriminal, yaitu melarikan anak orang lain.
“Tunggu dulu Pak polisi. Jangan sembarang dong menangkap orang lain. Kesalahan saya apa?” tanya saya kembali.
“Kesalahanmu sudah jelas dan terbukti bahwa kamu melarikan anak orang lain,” jawab asisten polisi itu.
“Itukah? Benarkah saya lakukan perbuatan gitu? Coba Bapak pikir. Kalo memang saya ngelarikan anak Bapak itu,” tunjuk saya pada ayah Mindai.
“Nggak mungkinlah saya kembalikan lagi anaknya pada orang tuanya. Malahan mungkin saja anaknya saya bawa ke tempat yang jauh yang nggak dapat ditemukan orang tuanya. Ini malahan anaknya saya antarkan pulang ke orang tuanya. Apakah saya masih dikatakan melarikan anak orang Pak?” kata saya berani dan tegas. Asisten Polisi dan atasannya mulai menganalisis apa yang saya sampaikan. Akhirnya mereka juga membenarkan apa yang telah saya utarakan. Sehingga dia pun membatalkan penangkapannya terhadap saya. Malahan mereka mendekati ayah Mindai.
“Pak, lain kali jangan ngerepoti kami dengan memberikan laporan palsu, nggak benar seperti ini. Bisa-bisa Bapak kami tindak. Karena Bapak sudah memberikan keterangan palsu dan menjatuhkan nama baik seseorang.
Hari ini kami masih berbaik hati, kesalahan Bapak kami maafkan. Lain kali jangan lakukan hal serupa ini. Kalo Bapak masih lakukan jua maka kami nggak segan-segan lagi menangkap Bapak.
Dan sekarang juga sudah jelas urusannya bahwa dia nggak ngelarikan anak Bapak berarti dia nggak bersalah. Kami nggak bisa menangkapnya karena dia nggak bersalah. Karena ini adalah urusan intern keluarga Bapak, coba Bapak atasi sendirilah. Permisi Pak!” kata komandan Polisi beserta asistennya meninggalkan tempat itu.
Saya juga nggak mau berlama disitu. Lalu saya tinggalkan rumah Mindai dengan membawa perasaan hati saya yang kosong dan hampa. Karena saya harus rela berpisah dengan Mindai yang sungguh saya sayangi. Disebabkan oleh pemikiran dan pandangan orang tuanya yang fanatik buta, ortodoks, dan konservatif.
~~~~~&&&&&~~~~~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar