Oleh : M. Saifun salakim
Lukisan kuas yang penuh aneka panorama asri tergambar kental melengkung di gugusan pelangi. Gunung kecoklatan. Ada raksasa dan raksasi di sana, lagi betah berdiam diri mancarkan kilauan kuning keemasan. Ada bukit hijau di sana yang ditumbuhi lumut dan pepohonan pempisang berdaun rindang, semerbak hamparkan aroma ranum-ranum, sedap dipandang mata dan segar dikilau perasaan nurani.
Ada juga telaga jernih berair bening di sana. Tempat berenangnya ikan segala jenisnya dengan wajah warna-warninya. Suara kecipaknya riuh rendah kayak orang adakan pesta perkawinan. Gendang sukaria menabuh segala jenis alat musik merasuki gendang telinga. Hidup pun serasa lebih berarti dari kehidupan yang telah terlewatkan. Begitu besarnya kekuasaan Allah ditunjuk-Nya agar dapat diambil sebuah pelajaran berharga bahwa kemahabesaran-Nya lebih tinggi dari semua ketinggian yang hadir di alam fana ini. Dan keindahan yang dipampangkan-Nya lebih indah dari seribu alunan kecapi asmara, dua sejoli berkasih mesra. Mengalun di lubuk santiaji palung terdalam. Menimbulkan kesan tidak pernah dilupakan dalam rotasi zaman sampai menuju zenit kasih abadinya.
Seorang gadis mungil berdiri gagah menatap lukisan indah warna-warni goresan kuas Illahi. Di Tol Melano, dengan ditemani senja memerah berlayar dengan kapalnya yang penuh ketenangan dari kedamaian. Rambutnya yang hitam pekat dilambaikan angin dengan sejuknya. Terayun-ayun eksentrik, seperti pegas melakukan gerakan sentripugal. Tubuh tegarnya begitu singset selalu memancarkan rona. Tidak bergeming. Mematung bisu. Seketika terdengar racauannya yang halus dan memelas.
“Tuhanku, inilah pengabdian yang kuberikan pada-Mu. Sudah kurasakan leleh di bokor emas. Tapi ketenangan batin belum juga menyentuh lembutnya permadani jiwaku. Bertahun-tahun itu kualami. Sebenarnya apakah aku bersalah? Dimana letak kesalahanku. Tunjukanlah. Namun sampai kini sepertinya kamu diam membisu. Atau kamu menyuruhku berusaha untuk mendapatkan itu? Biar tidak cengeng.
Tuhanku, kini aku telah berusaha dan mengetahui dari orang lain bahwa ketenangan batin itu didapatkan dengan menghadap pada-Mu dengan penuh kegembiraan dan keikhlasan dalam ketenangan di sunyi senyap. Hari ini aku sudah siap lahir batin dengan menciptakan kegembiraan dan keikhlasan diriku hanya untuk kupasrahkan pada-Mu.
Tuhanku, izinkanlah aku mengambil ketenangan batin dari-Mu”.
Selesai ucapanya. Dia dengan matanya yang terpejam mulai mengambil ancang-ancang. Siap menceburkan dirinya dari ketinggian Tol Melano untuk memeluk erat kejernihan air. Aku cepat mencegahnya.
“Jangan Nona. Jangan melakukan tindakan nekat,” teriakku bergema nyaring. Dia tertahan sebentar. Kesempatan lengah itu kumanfaatkan dengan sebaik mungkin. Tangannya kupegang erat. Daya dorongnya mencebur ke jernihnya air tertahankan. Konsentrasinya pecah meledak, tercerai berai. Tercecer di jalanan semen Tol Melano. Mata lentiknya membuka, memandang bingung ke arahku dengan seribu cahaya neon menerangi
“Mengapa kamu mencegahku melakukan tindakan ini? Apa hakmu melarangku,” protesnya.
“Karena tindakan yang kamu lakukan adalah tidak benar. Salah!” jelasku.
“Tidak salah, Bung. Inilah tindakan yang benar.”
“Benarnya gimana? Dengan jalan mengorbankan raga, mengorbankan diri. Hanya untuk melakukan bunuh diri. Itu adalah tindakan yang salah Nona, perbuatan yang tidak dibenarkan.”
“Tapi aku tidak bunuh diri kok. Kulakukan tadi adalah jalan untuk mengambil ketenangan batin dariNya,” bantahnya.
“Haha… Haha… mengambil ketenangan batin?”
Tawaku meledak mengimbas lukisan senja yang masih tetap indah di lazuardi, tidak terbendungkan lagi. Karena kunilai gadis ini adalah sinting. Masak mengambil ketenangan batin dengan jalan bunuh diri. Padahal ketenangan batinkan diambil dari ketenagan jiwa, pikiran, dan perasaan. Murni dan ikhlas padaNya. Dengan melakukan penghayatan dan pengaplikasian yang maksimal dalam hubungan hambluminallah dan hambluminannas.”
“Kok, bung tertawa. Apanya yang lucu?” tanyanya dengan keanehan.
“Lucunya adalah kamu ingin memperoleh ketenangan batin dengan jalan bunuh diri, padahal ketenangan batin bisa diperoleh dalam kehidupan yang bersumber dari kebersihan hati,” jelasku simpel. Sederhana saja. Biar ia bisa mengerti.
“Oh begitukah Bung?” serunya kaget.
“Yalah. Begitulah Nona,” Jawabku.
Gadis mungil itu mulai menerawangkan pikirannya ke alam pertimbangan. Begitu luas juga pengetahuan Bung ini.
Inikah yang dinamakan dewa fortuna datang menjelma? Menemukan dewa penolong yang bisa menghantarkanku untuk mendapatkan ketenangan batin yang selama ini ingin kuperoleh. Jadi tindakanku tadi salah ? Tapi dimana letak kesalahannya?
Aduh pusing lagi kepalaku. Ada dua pendapat yang saling bertentangan, tidak sinkron. Pertama, ketenangan batin dapat diperoleh dari kesenyapan rasa menemui Tuhanku. Kedua, kata bung itu bahwa ketenangan batin dapat diperoleh dalam kehidupan dunia dengan bersumberkan kebersihan hati. Yang mana benarnya? Dilema juga? Kebingunganlah yang bisa ditampilkannya. Jadi untuk menuntaskan dua pendapat berbeda yang berkecamuk dalam otaknya, gadis mungil meminta kejelasan dari bung itu.
“Bung, bisakah ketenangan batin diperoleh dari kesenyapan rasa?”
“Bisa nona.Tapi bukan seperti yang nona lakukan barusan. Ketenangan batin bisa hadir pada diri kita bermula dari ketenangan batin yang didapat dari kehidupan. Barulah berlanjut pada ketenangan batin dalam kesenyapan rasa. Kalau sekiranya ketenangan batin tidak diperoleh dalam kehidupan, maka cuma kesia-sialah yang didapatkan untuk memperoleh ketenangan batin dalam kesenyapan rasa.”
“Jadi begitu rupanya…! Sekarang baru aku mengerti. Bung, sepertinya anda tahu banyak tentang masalah ini. Berarti anda orang yang matang dalam memaknai hati dan jati diri ini. Bung, bolehkan aku belajar dengan anda untuk menemukan cita-citaku, yaitu memperoleh ketenangan batin?” pintanya seketika. Setelah ia tahu bahwa lelaki itu dapat memenuhi keinginan hatinya.
“Tapi nona…….?”
“Ada apa lagi Bung! Apakah aku tidak pantas belajar pada Anda? Padahal anda bisa menghantarkanku pada tercapainya cita-citaku. Kalau sekiranya Anda menolaknya aku akan kecewa,” pertegasnya dengan sedikit adanya unsur paksaan.
Aku tidak menanggapi apa yang diutarakannya. Aku berpikir untuk mencari cara menghindarinya.
Lukisan senja keindahan Illahi mulai memudar. Lengkungan kilauan keemasan dan kecoklatannya menghilang dalam peraduannya. Hanya seberkas perawan teja memunculkan wajah segarnya. Buluh perindu suara azan bergema memecah kebisuanku dalam kebingungan. Sudah mendapatkan cara untuk penghindaran tersebut? Atau sudah siapkah memutuskan kata sepakat menerima permintaannya atau menolaknya secara eufhimisme.
“Permisi dulu Nona. Nantilah aku pikirkan dulu kata sepakatnya,” ujarku dengan ramah.
“Jangan lama-lama ya Bung? Aku tunggu jawabannya.”
“Insya Allah Nona.” Aku pun ingin berlalu pergi.
“Oh ya Bung, tunggu dulu!” Aku berhenti melangkah.
“Namanya siapa?”
“Hidayat.”
“Aku adalah Raci. Biar akrab,” ulur tangannya. Menunggu genggaman erat tanganku.
“Maaf Nona Raci,” jawabku pelan.
Aku lipat tangan sama rata di depan dada. Memberikan contoh tanda salam penghormatan Islami. Ia kaget, terlihat dari kerut mukanya yang mengkerut es purut dan sedikit bening matanya terbeliak, tetapi cepat disembunyikannya di balik taman keseriusan.
Aneh, tadi santai saja dia memegang tanganku. Saat aku ingin melompat ke batang air Tol Melano. Kok, sekarang dia malah tidak mau menjabat tanganku. Ada apa ya?
Kebingungannya tentang apa yang aku lakukan barusan, tak terjawabkan oleh pikirannya. Bersama dengan sepucuk kebagusan malam kebingungannya telah bertengger indah di rumput ilalang tak kelihatan lagi cahaya mentari mengipasi kesejukan bumi. Hangat.
~oOo~
Sampan yang kita tumpangi melaju. Deburan ombak memercik ke samping kiri sampan. Kala itu dayung terus berkecipak. Kita duduk saling berhadapan. Saling bertemu pandangan. Burung camar bersuitan, gembira. Melayang-layang melakukan salto depan dan belakang serta melakukan gerakan melingkar-lingkar. Aduhai asyiknya.
“Ci, gimana perasaanmu sekarang?”
“Lumayan tenang, Yat.”
“Oh begitu. Itulah yang dapat diperoleh kalau batin kita tenang. Tapi kalau batin kita gelisah maka ketenangan tidak pernah hadir. Semua itu dapat dihadirkan dengan suatu kiat.
Pertama, kita harus menanggapi segala sesuatu dengan positif. Jangan punya prasangkaan buruk sedikitpun. Kalau itu terbetik akan kacau urusannya. Kalau sudah begitu, kita bisa mantapkan haluan kita pada keinginan yang sehat. Lihatlah ketenangan air ini. Tidak akan beriak kalo tidak ada deburan dayung, tiupan angin, dan goncangan ombak. Sampan yang kita kendarai tetap melaju dengan tenangnya. Begitu juga dengan ketenangan dalam diri kita. Akan berjalan baik kalo tidak adanya riak yang memusingkan kepala dan membuat kita merasa tertekan serta selalu berpikiran negatif sama diri, orang lain, dan pada ciptaan Allah lainnya. Kamu bisa mengerti, Ci.” Omonganku kamu emat-emat betul. Kamu cerna dalam-dalam. Kamu pun mulai tersenyum. Sampan terus melaju. Dayung tetap berkecipak. Haluan tetap ke depan.
“Alhamdulillah, Yat. Aku sudah bisa memahaminya. Selanjutnya apa lagi?” katamu seketika.
“Kedua, kita harus bisa berbuat sabar dan tawakal dengan segala persoalan yang ada. Kalo senang kita syukuri. Kalo sedih harus disabari. Karena segala persoalan itu untuk melatih kesabaran, kesyukuran, dan ketawakalan kita pada-Nya. Disamping itu harus banyak berbuat amal kebajikan atas sesama manusia. Selalu tolong menolong dalam kesusahan. Selalu menyadarkan dalam kesalahan. Selalu mendorong dalam berbuat kebajikan dan kebenaran. Membuat kepekaan terhadap kaum dhuafa, miskin, dan papa. Yang memang harus kita kasihi. Jangan menghina orang kalo dia punya kekurangan. Anggaplah kekurangannya itu bisa berikan manfaat pada kita. Dengan renungan juga bahwa kita memiliki kekurangan, cuman konteksnya yang berbeda. Terpenting dalam semua itu adalah dalam bergaul dan berteman, jangan membeda-bedakan kasta, suku, budaya, dan tingkatan. Dalam semua lapisan kehidupan bisa dimasuki. Anggaplah semua manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang egaliter.”
“Aku dapat ngerti, Yat. Lalu cara selanjutnya apa lagi?”
“Ketiga, ini mungkin yang terakhir bahwa jangan lupa dekatkan dirimu pada-Nya dan cintailah Dia sepenuh jiwamu. Karena cinta merupakan strong power untuk menenangkan pikiranmu. Cinta juga membuat kamu rela untuk berkorban bila hal itu diperlukan demi membela orang yang kamu cintai. Dengan adanya cinta itu, Dia juga akan berikan kedamai-an dalam hatimu.”
Tak… Bunyi keras terdengar. Sampan yang kita tumpangi sudah membentur pantai. Sore sudah tersenyum di ufuk barat. Menandakan kesenangan juga, berikan power tambahan bahwa dia juga bantu aku untuk menyenangkan hatimu, agar timbul sebuah ketenangan batin, selama ini kamu idam-idamkan.
“Ci, itulah pelajaran yang dapat aku sampaikan. Pahami dengan betul semua itu. Insya Allah, kamu akan dapatkan ketenangan batin yang akan kamu peroleh.”
“Baiklah Yat. Pelajaranmu ini akan aku pahami dengan baik dan akan aku aplikasikan dalam kehidupan. Karena aku ingin ketenangan batin itu. Boleh kita main sebentar di pantai ini, Yat?”
“Boleh sih, jangan lama-lama. Kalo kelamaan, tidak ada waktu lagi. Karena sebentar lagi gema suara azan akan bersiul-siul lincah.”
“Tenang saja Yat, tidak akan lama kok.”
Kamu pun loncat dari sampan dengan girangnya terus larilah kamu menelusuri pantai yang berjenggot panjang. Sesekali tanganmu yang mungil memainkan binatang air yang terdampar di tepian pantai. Ada anak udang yang menggelepar kepanasan, kamu tangkap dia lalu kamu lepaskan ke air. Anak udang itu pun berenang dengan senangnya. Terlihatlah janggutnya bergerak lincah dan senyuman moncongnya mengembang pesona.
Seakan kalo dia bisa berkata Terima kasih ya atas pertolongannya. Biasanya jarang ada manusia sebaik kamu. Biasanya kalo ketemu yang lain, pasti aku mampir di tempat penggorengan. Nasib memang nasib. Begitulah kenyataan yang harus dialaminya.
~oOo~
“Kamu darimana Ci?” tanya ibunya yang memergokinya di depan pintu.
“Dari rumah teman, Bu!” sahutku simpel saja dan polos. Lalu aku menyisih dari ibuku.
“Tunggu dulu Nak. Kamu belum tuntas menjawab pertanyaan ibu,” cegah ibu.
“Apalagi yang belum tuntas, Bu. Aku tadi sudah bilang bahwa aku dari rumah teman. Jelas!!! Maaf ya Bu, aku capek kali,” ujarku kesal.
Tidak biasanya ibu bertingkah laku seperti ini. Apalagi menanyakan kemana aku pergi? Paling-paling ibu hanya sibuk dengan urusannya. Tiada kehangatan. Hanya kedinginan dan kesejukan dalam hubungan sebuah keluarga. Padahal sebagai anak, aku perlu kehangatan dalam komunikasi keluarga. Keharmonisan. Saling sayang menyayangi dan saling kasih mengasihi. Biar kebahagiaan tercurahkan. Keluarga sakinah. Hari ini tingkah laku ibu nyeleneh atau menyimpang dari kebiasaannya yang dulu. Dia mulai memperhatikan diriku. Sejak kapan dia mulai berubah? Moga-moga saja ibu benar-benar sudah berubah dan sadar dengan kodratnya.
“Kamu bohong Nak!” protes ibu.
“Dengan pakaian kumal, kotor, berdebu, dan basah lagi. Datangnya malam-malam lagi. Tidak biasanya kamu beginian. Nak, sebenarnya kamu darimana?”
Tensi suara ibu sedikit menaik. Aku kaget. Merasa aneh dengan sikap perubahan ibu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tergamam.
“Katakan Nak. Kamu darimana?”
Puncak kemarahan ibu meletup sudah. Pecah meledak. Aku makin terperanjat. Aku tatap wajah ibuku. Waw, dia betul-betul marah. Aku tidak takut dengan semuanya. Aku sudah biasa ngadepin hal semacam ini.
“Ibu, tidak ngerti ya bahwa aku dari rumah teman.”
“Rumah teman apaan? Dengan semua serba kotor. Kamu pasti dari pantai ya?” terka Ibu.
Tak… Kok, ibu bisa menerka setepat itu. Aku memang dari pantai. Bersenda gurau dan meriangkan hati. Melupakan segala kesunyian yang menghantuiku untuk menenangkan jiwa yang aku cari. Karena di rumah atau di keluarga tidak aku dapatkan itu. Apalagi waktu itu aku ditemani oleh teman sebaik Hidayat dan ngajarkan aku begitu pentingnya kehidupan dalam menghasilkan ketenangan batin. Berusaha menciptakan ketenangan dalam setiap jengkal langkah yang kita lalui. Selama ini hambar dalam rasa jiwaku. Dari pengajaran Dayat sedikitnya aku bisa meminum ketenangan itu.
“Ya, Bu. Aku memang dari pantai. Puas !” seruku bergelora sehebat ombak yang menghempas tepian pantai dan menghantam tiang tegar Tol Melano yang kukuh berdiri.
Ah, kaget ibu. Bukannya ibu puas dengan jawabanku malahan ibu semakin meradang. Kesumba yang memanis menghiasi mukanya.
“Sudah ibu bilang berapa kali, kamu tidak boleh ke pantai. Karena tempat itu tidak cocok buatmu. Tempat menjijikan.”
“Bukan, Bu. Malahan tempat itu adalah tempat yang menyenangkan. Selama ini aku hanya bisa menatap dinding-dinding kusam. Aku hanya seorang merpati yang dikungkung. Tidak bisa melihat keindahan di luar. Padahal setelah keluar, aku melihat keindahan yang lebih hakiki. Orisinil. Begitu menyentuh. Dalam tujuan untuk memperoleh ketenangan batin. Salahkah Bu, kalo aku ingin memperoleh ketenangan batin dari luar, yang tidak aku dapatkan di dalam hubungan rumah tangga kita. Karena ibu sibuk dengan urusan ibu masing-masing. Tidak pernah perdulikan diriku,” protesku dengan deburan badai yang mulai memanas. Bakalan akan terjadi angin topan.
“Ehe… he… sudah pintar melawan ya! Bukankah ibu sibuk dengan urusan ini hanya untuk kepentinganmu?”
“Bukan, Bu. Itu hanya untuk kepentingan pribadi ibu saja.”
“Kurang ajar. Beraninya menggurui ibu segala.”
“Maaf ya, Bu. Bukan menggurui, tetapi itulah kenyataannya. Seharusnya ibu bisa introspeksi diri, apa sebenarnya yang diinginkan anaknya? Jangan hanya menuruti kemauan dan ambisi ibu semata. Dengan mengorbankan keinginan anaknya, ingin minta diperhatikan, dikasihi, disayangi, dan dihargai dalam hubungan harmonis sebuah rumah tangga. Bukan mengabaikannya. Kalo aku nilai, ibu sudah gagal membina anaknya.”
“Waw, githu ya? Hebat juga! Waw, anakku sudah jadi psikolog !” sinis ibu bicara.
“Kamu tidak tau ya, apakah hanya bermodal kasih sayang kita bisa hidup dalam dunia ini? Tidak Nak, perlu materi juga. Biar tidak dikucilkan oleh orang lain. Apakah akan bahagia kalo tiap hari kita ribut membicarakan mengisi perut? Apakah bahagia orang hanya makan nasi dan jagung? Bahagia….? Jangan bodoh dan pilon, Nak. Semua itu perlu materi…”
“Tapi Bu, materi memang perlu ! Namun dalam mengejar materi untuk memenuhi kebutuhan hidup, harus tidak boleh mengabaikan kewajiban yang esensial. Mendidik anak dan memberikan dia kasih sayang melimpah agar tidak kekeringan lalu gersang dan tandus. Layu, Bu! Jangan lupa juga dalam mengejar materi itu kita menjadi terlena dan terhanyut ke dalam buaian-buaian indah. Padahal yang dilakukan ibu telah bercabang ke lain dahan. Sudah menyimpang. Ibu sudah terlalu jauh menyimpang….”
“Sialan, anak tak beradab.”
Terlontar kata ibu yang mengiriskan luka. Tangan lembut ibu menari lincah ke pipi merah delimaku yang ranum. Terjajar diriku. Nanar aku tatap ibuku. Kemarahanku bukannya reda malahan makin bergelora.
“Memang aku anak tak beradab. Karena ibuku tak pernah mengajarkan keberadaban,” teriakku nyaring-nyaring mengalahkan deburan buih meradang, menghantam bebatuan menjulang di tepian pasir Pantai Pulau Datuk.
“Kurang ajar,” geram ibu makin memanas.
Tamparan serupa menghantam telak pipi merah delimaku lagi. Aku terhenyak di pojok ruangan. Pikiranku berkunang-kunang. Dengan tegar aku berdiri dan menentang bola mata api ibu yang menyala.
“Teruskanlah Bu, kalo ini memang jalan satu-satunya pelampiasan kemarahan ibu,” tantangku dengan tegar.
Tangan ibu terlihat sudah siap menari-nari lincah dengan getarannya yang hebat. Siap menjamah pipi merah delimaku. Sebelum tangannya sampai, ayahku mencegahnya.
“Tidak baik Bu, berbuat seperti itu. Bukan begitu caranya mendidik anak,” dinginkan ayahku.
“Biarkan aku, Pa. Anak itu musti dikasih pelajaran. Anak sialan,” dengus ibu masih dalam kemarahannya.
“Sabar, Bu. Segala persoalan harus ditenangkan bukan diumbarkan dengan kemarahan. Tidak akan selesai-selesainya,” nasihat ayahku.
Aku menghambur masuk kamar. Aku tumpahkan kekesalan pada ibu dengan deraian air mata. Ibu kejam, pekikku bergema. Hanya dinding kamar yang mendengar dan desingan angin yang berlalu sekilas. Selebihnya adalah bisu.
~oOo~
Teman-teman mempergunjingkan Raci di sekolah umum. Raci yang agresif sudah jadi monoton. Pendiam. Kalo bicara selalu dijaganya. Tidak ceplas-ceplos kayak dulu. Drastis berubah adalah Raci sudah pake jilbaban. Cantikkan dia seperti itu? Keceriaannya tetap saja sih. Mukanya selalu nampak cerah setiap hari. Raci tetap tenang menanggapi hal semacam itu. Kadangkala ada temannya menanyakan ngapa dia berubah seperti itu? Raci tersenyum memberikan jawaban.
Aku sudah menemukan jalan yang baru. Jalan ketenangan dalam batin. Aku ingin memaksimalkannya, supaya ketenangan batin bisa aku peroleh secara lengkap.
Teman-temannya hanya nyengir kuda. Malahan Raci juga berdakwah mengajak teman-temannya untuk ngikuti jejaknya.
Tidak ah, nanti mukaku jadi putihan.
Walaupun ada yang tidak mau, Raci tetap biasa-biasa saja. Dakwah tetap berjalan.
Pengemis yang biasanya meminta ke rumahnya selalu diacuhkannya. Kini diperhatikan-nya. Diberinya pengemis itu uang secukupnya. Hingga wajah pengemis itu menjadi berseri.
Terima kasih Mbak, moga amal kebaikan Mbak diridhoi Allah.
Perubahan bertingkah laku dan bersikap Raci serba berhati-hati dan bersabar, serta cara berpakaian Raci yang serba tertutup, sekarang. Hanya kelihatan mata dan tangan. Maksudnya pake jilbaban. Ditentang keras ibunya habis-habisan. Dinilai ibunya primitif dan terbelakang. Udikan dan norak. Menjijikan dan memualkan. Raci tetap teguh dengan pendiriannya. Kukuh memegang prinsipnya. Karena jalan kebenaran dalam pencarian ketenangan batinnya sudah ditemukannya. Ada orang yang coba menggoyahkannya akan ditentangnya habis-habisan. Tapi kalo orang yang dekat dalam kehidupannya, akan coba dilunakkannya dengan memberikan pengertian supaya orang itu dapat mengertinya.
Jiwa ibu Raci sangat keras. Kalo katanya A hasilnya akan A, tidak akan menjadi B. Ketidaksukaannya melihat Raci pake jilbaban makin menimbulkan pijaran api. Menimbulkan asap yang menyesakkan pernapasan. Biasanya di antara mereka selalu terjadi perdebatan seru.
“Ci, ibu tidak suka melihat kamu berpakaian seperti itu? Norak banget… Dimana kemodernisan kamu dulu? Apakah kamu sudah kesantet mulut berbisa pemuda gembel Dayat itu? Memang pemuda itu, anak tak tau diajar.”
“Cukup Bu! Jangan menghina dia. Dia bukan gembel seperti ibu sangkakan, namun dia adalah emas dalam kehidupanku. Karena dia telah memberikan jalan terang padaku dalam menemukan ketenangan jiwa. Mengenai perubahanku ibu tidak boleh campur. Suka-suka akulah. Ini urusanku. Karena aku yang menjalani kehidupan ini bukan ibu,” jawabku. Masih dengan kesabaran yang melekat di dada.
“Salah Nak. Aku sebagai ibumu punya hak untuk mendidik dan memperhatikanmu.”
“Memperhatikan apa? Dengan hanya mengajarkan materi dan selalu bergaya modernis. Kini aku tau adalah najisnya kehidupan. Tempat maksiat bercokol.”
“Shut up. Anak bau kencur mau ngajari ibu segala. Berani-beraninya menilai apa yang ibu lakukan adalah salah. Seharusnya kamu mengerti. Sebagai anak harus menuruti kehendak orang tua. Kalo kamu berani melawan, maukah dicap anak durhaka? Kalo sudah dikatakan durhaka, percuma apa yang kamu kerjakan tidak akan bernilai guna.”
“Bu, kedurhakaan itu bukan dengan mengikuti kemauan ibunya yang salah tetapi mengikuti kemauannya yang benar. Kalau kita menghindari dari kemauan ibunya yang salah itu yang dikatakan kebenaran.”
“Ehe… he… masih membantah lagi. Kalo ibu bilang tidak suka dengan jilbaban. Kamu juga harus tidak boleh memakainya.”
“Tidak Bu. Aku tetap konsisten dengan keputusanku juga. Sekali aku pake jilbaban selamanya aku akan tetap pake jilbaban. Bila perlu sampe ajal menjemput, Bu. Titik,” lawan Raci.
“Rupanya anak ibu sudah tidak mempan dinasihati. Mau pake kekerasan ya?”
Ibu dengan beringas mendekatiku. Aku mundur. Ibu terus menerjang. Ibu rupanya ingin melepaskan jilbabanku. Ingin dirobek-robeknya. Menjijikkan dan memualkan baginya. Sebab jilbaban itu juga pernah membuat dia dijangkiti sakit hati. Sakit hati yang sungguh menyakitkan. Selamanya selalu dikenangnya.
Trauma masa lalu masih berkarat.
Untuk itulah dia benci melihat orang dalam lingkup keluarganya pake jilbaban. Apalagi anaknya sendiri. Maka kemarahannya semakin menjadi-jadi. Membentuk bola api yang kobarannya akan menghanguskan siapa saja. Termasuk Raci, anaknya yang akan jadi korban keganasan kobaran api itu. Raci menjerit-jerit minta tolong seraya terus menghindar dari ibunya.
“Jangan Bu! Jangan….”
Mengagetkan semua tetangga di sampingnya. Pas itu ayahnya masuk. Ayahnya juga bingung melihat istrinya terus mengejar anaknya dengan kemarahan yang meluap-luap.
Ini pasti jilbaban itu lagi.
Raci berlari menuju ayahnya.
“Yah, tolong Raci. Ibu ingin merobek jilbaban ini,” ungkap Raci berlindung di balik punggung ayahnya. Ibunya juga sampe kesitu.
“Sudah! Hentikan perbuatan ini, Ndun,” peringatkan suaminya.
“Tidak Pa. Aku harus merobeknya,” keras suara istrinya yang sudah kerasukan.
Suaminya coba menghalanginya. Namun istrinya terus saja menghindar. Hingga kesabaran suaminya menipis sekulit ari. Tangan kekar itu pun menari-nari lincah ke tubuh istrinya. Membuat si istri jatuh terhenyak. Bukannya sadar malahan istrinya membarakan panas yang menguap hilang dalam cerobong asap mengepul.
“Sadar Ndun. Eling Ndun…”
Sekali lagi tamparan menari di tubuh istrinya. Membuat Indun terjerembap lagi. Menangislah ia tersenguk-senguk. Tersadarlah dia bahwa dia telah ditampar suaminya tiga kali. Padahal suaminya jarang sekali melakukan perbuatan itu, setelah sekian lama mereka menjalani kehidupan berumah tangga. Suaminya dinilainya orang sabar. Jarang kalo hal sepelean dia menjatuhkan tangan kasarnya. Hari ini tangan kasar suaminya telah mendarat di tubuhnya. Berarti kesabaran suaminya sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Berarti dia telah melakukan kesalahan besar. Kesalahan apa? tanyanya pada diri sendiri. Suaminya mendekati dirinya.
“Maafkan aku Bu, aku sudah ketelepasan tangan. Karena ibu sih sudah kerasukan setan, tidak bisa diingatkan lagi,” lemah lembut suaminya mengeluarkan kata-katanya.
“Kerasukan apa Pa? Hingga papa melepaskan tangan kasar. Yang tak pernah papa lakukan sebelumnya,” kata istrinya perlu kejelasan.
“Kerasukan setan yang dilandasi sakit hati yang sudah lama terkubur. Seharusnya tidak boleh dikenang lagi.”
“Mengenai apaan itu?”
“Jilbaban.”
“Jil… ba… ban…! Jilbaban. Tapi ngapa jilbaban ini berkaitan dengan jatuhnya tangan kasar papa padaku?”
“Karena kamu ingin merobek-robek jilbaban anakmu sendiri. Padahal sudah bagus dia berpakaian seperti itu.”
“Raci pake jilbab,” lenguhnya sambil ingin menatap wajah anaknya.
Yang terlihat hanya dinding semen putih. Rupanya Raci sudah kabur membawa kegundahan hatinya entah kemana. Menerobos kepekatan hilir mudik kesunyian jalanan sore. Si papa juga kaget melihat anaknya tidak ada.
Hah, pasti dia melarikan diri.
“Bu, berdirilah. Anak kita pasti melarikan diri. Mari kita cari dia,” kata suaminya yang tau gelagat.
Dengan dibantu pegangan tangan suaminya, Indun berdiri. Dia mulai mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sampai yang terakhir.
“Mari Pa, kita cari anak kita.”
Setelah dia menyadari kenyataan yang telah terjadi.
~oOo~
Raci terus berlari dengan tumpahan hujan di kelopak matanya.
Ibu kejam… Ibu tidak sayang aku lagi.
Dia terus berlari membawa kekesalannya. Malam yang merambah menghampirinya tidak diperdulikannya. Karena hanya satu tujuannya, membawa dirinya jauh dari rumah. Tempat neraka baginya. Tempat menimbulkan bola api kemarahan selalu. Tak akan pernah reda.
Yaa Allah, kuatkanlah imanku. Tegarkanlah hatiku mengikuti jalan-Mu, rintihnya bersenandung.
Menimbulkan suara suling kepiluan. Menghentikan sejenak burung malam terbang melayang. Hinggap sebentar di ranting kayu. Mendengarkan rintihan hati Raci yang memilukan. Jangkrik juga tidak berbunyi, seakan ikut pula mendengarkan keluhan itu. Semua binatang malam rupanya ikut berduka mendengar keluh kesah Raci. Rasa solidaritas sesama mahluk mereka tanamkan. Kalo saja itu dilakukan ibunya maka tidak akan terjadi hal seperti ini.
Ibu, walaupun kamu membenciku, namun kamu tetap ibuku. Aku menjauh darimu kini bukan berarti aku membencimu, tetapi sebenarnya aku menyayangimu. Cuma aku minta rasa penghargaanmu terhadapku. Memberikan dukungan bila aku berbuat baik. Contohnya dengan memakai jilbaban ini. Jangan malah dimusuhi. Seharusnya ibu merasa bangga. Ah ibu, moga saja kamu sadar dan insaf dengan kesalahanmu sejak sepeninggalanku ini dari rumah, lirih hati Raci bergetar seiring derap larinya berladam. Riuh, terus berlari menembus kepekatan malam semakin mengental.
~oOo~
Mendung bergelayut di rumah Raci. Wajah murung ayah dan ibunya membekas dalam-dalam. Menembus ubun-ubun akar inti kerak bumi. Terasa sunyi sejak ditinggal Raci. Hilang tak tahu rimba dan padangnya. Padahal mereka sudah berusaha mencari, tapi sia-sia belaka. Hanya mendapatkan angin berlalu. Ibunya yang banyak merasa bersalah, sering tumpah ruah dengan air matanya. Mengenang ketidakbijaksanaannya dalam mendidik anaknya. Lintasan peristiwa terakhir sampai anaknya meninggalkannya masih membekas.
“Maafkan ibumu, Nak. Ibumu memang ibu yang tak beradab,” gerutunya menyesali.
“Sudahlah Bu, jangan menyesali diri terus. Kita tunggu saja gimana informasi dari pihak kepolisian. Moga saja mereka cepat menemukan anak kita. Sementara ini kuatkanlah hati ya!”
Sebelum ibu menjawab. Bel rumah berdering. Suami istri itu bergegas ke pintu. Si ibu mengesat air matanya yang meleleh. Si suami membukakan pintu. Dikira mereka polisi yang datang kasih kabar tentang keberadaan anak mereka. Ternyata yang datang seorang pemuda berbaju putih dan berkopiah hitam. Wajahnya nampak segar.
“Assalamualaikum Pak?”
“Waalaikum salam Nak. Ada keperluan apa? Mau minta sumbangan ya? Ini Nak….” Sodor ayah Raci mengambil uang recehan lalu diberikannya pada si pemuda.
“Maaf Pak, aku kesini bukan minta sumbangan. Tapi aku kesini mau memberikan kabar gembira. Betul Pak, ini rumahnya Raci?”
“Betul Nak! Maaf ya Bapak kesalahan persepsi tadi.”
“Tidak apa-apa Pak.”
“Raci tidak apa-apa Nak?”
“Alhamdulillah Pak. Dia sehat-sehat saja, masih dalam lindungan Allah.”
“Alhamdulillah. Syukurlah kalo begitu. Sekarang bapak dapat berlega hati. Oh ya Nak, sampai kelupaan mempersilakan masuk. Silakan masuk Nak….”
“Terima kasih Pak,” sahut pemuda itu mengikuti langkah kaki orang tua itu.
Pemuda itu pun memberitahukan kabar gembira mengenai Raci. Dia sudah jadi muslimah yang taat. Dia juga telah memenangkan Lomba Baca Alquran Tingkat Kabupaten. Untuk itulah, orang tuanya diundang untuk menghadiri penyerahan piala tersebut. Orang tua itu sangat bahagia mendengar kabar itu. Mereka dengan keceriaannya segera bersiap-siap menuju tempat tersebut.
Mereka sampai pas acara penerimaan piala bagi sang juara. Saat nama Raci disebut sebagai Juara I Lomba Baca Alquran Tingkat Kabupaten, air mata si ibu mengalir tanda bahagia.
Alhamdulillah Raci, kamu memang anak ibu, lirih hatinya bicara.
Para orang tua pun diminta untuk mendampingi anaknya dalam menerima piala tersebut. Raci kaget melihat orang tuanya bisa hadir. Padahal orang tuanya tidak tau alamatnya kecuali Hidayat. Dia sudah bisa menerka bahwa Hidayatlah yang punya ulah. Walaupun ada perih, dia cukup bahagia karena bisa didampingi oleh orang dekat dalam hidupnya.
“Maafkan aku Bu atas kelancangan ini,” seru Raci memeluk ibunya dengan uraian air mata.
“Kamu tidak salah Nak. Ibulah yang bersalah. Seharusnya ibulah yang minta maaf padamu. Yang terlalu tidak mengerti akan dirimu. Maafkan salah ibu ya Ci?” sahut ibunya bergetar. Lalu makin erat memeluk anaknya.
“Sudahlah ! Jangan saling menyalahkan. Sebaiknya kita saling mengoreksi dan memperbaiki diri agar kasih sayang ini selalu menghiasi keluarga kita. Begitu khan!”
“Begitulah Pa,” sahut Raci dan ibunya berbarengan.
“Ci, hari ini juga ibu proklamirkan bahwa ibu akan selalu mendukungmu dalam berbuat kebaikan dan jalan menempuh ketenangan batin yang kamu cari. Terpenting ibu tetap mendukung kamu pakai jilbab, karena anak ibu jadi cantik sih.”
“Terima kasih Bu. Alhamdulillah. Puji syukur hamba panjatkan pada-Mu. Hari ini telah Kamu berikan aku kebahagiaan tiada taranya.”
Mereka bertiga masih berangkulan mesra. Menumpahkan segala kebahagiaan yang ada. Dalam pembagiannya yang sama rata. Hidayat hanya tersenyum menyaksikan pembagian kebahagiaan keluarga tersebut. Tak terasa air matanya merembes pelan ikut merasakan keharuan dan kebahagiaan itu.
Coba aku juga punya keluarga. Pasti aku juga merasakan kebahagiaan ini lebih maksimal lagi.”
“Sudahlah Dayat. Jangan kamu terlalu larut dengan hal tersebut dan mengenang masa lalumu. Nanti menimbulkan perbuatan menyesali diri dan menyesali kehidupan,” tepuk kiai Rahmat pada bahunya. Menyadarkannya dari keterharuan.
“Ah kiai. Maafkan aku yang terlalu romantis. Hingga terlena dan terlarut dalam buaian indah yang menyesatkanku,” sadar Hidayat pada dirinya.
“Ya… Ya… sudahlah. Memohon maaflah pada Allah. Dayat, mari kita duluan ke masjid. Tinggalkan saja Raci yang masih menikmati kebahagiaan dengan orang tuanya. Nanti juga dia akan menyusul. Kita saja duluan ke masjid untuk mempersiapkan peralatan melakukan shalat berjamaah. Mari Dayat!” ajak kiai Rahmat dengan keramahtamahan dan kesegaran-nya.
“Mari kiai,” sahut Hidayat mengiyakan.
Dia pun mengikuti derap langkah kaki kiai Rahmat. Menyusuri jalan bersemen dengan sedikit polesan wajah aspal, biar mengeras dan enak dijalani menuju masjid yang berada di persimpangan tiga jalanan. Masjid Baiturrahman Masjid tempat mereka melakukan pengajian, pengasahan, pendalaman, dan pemahaman wawasan dalam bidang keislaman. Kokoh tertanam. Mantap !
Angin semilir menghantarkan derap kaki mereka, menghembuskan kesejukan, antarkan sebuah kedamaian, kesegaran, kebahagiaan yang menggumpal dalam kalbu dan jantung serta paru-paru mereka.
Balai Berkuak, 1 April 2004
Selasa, 24 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar