Oleh : M. Saifun salakim
"Hore… Reuni teman lagi nih. Prajabatan!”
Tempat ngumpul sama teman-teman atau orang lain yang satu profesi. Tenaga pendidik. Prajabatan kan, pembekalan wawasan untuk tenaga pendidik yang terjun ke lapangan, mempraktikkan bidang keilmuannya pada masyarakat biar mantap.
Sumpekkah? Berdesakkah? Banjirkah keringat dalam satu ruangan? Berisikkah? Gaduhkah dari aneka ragam kesenian suara berdendang? Mampukah saya beradaptasi di lingkungan itu? Pikiran dalam sentakan kalbu saya mengembara. Teringat omongan Suta yang udah duluan ngelakukannya.
Asyik !!! Prajabatan kami di badan Diklat Provinsi, bukan di Wisma Merdeka. Pesertanya pun hanya dua kabupaten. Ketapang dan Pontianak. Berarti akan plong nih. Karena jumlahnya nggak nyampai dua ratus orang.
Satu kamar hanya dihuni dua orang saja. Fasilitasnya sungguh terjamin. Kipas angin atau AC, tersedia. Spring bed atau busa empuk untuk tidur, juga ada. Tempat ngantung baju, apalah namanya, dan sekaligus kapstoknya, juga tersedia. Meja dan kursi belajar sehabis penyampaian materi oleh Widyaswara, tersedia. Masing-masing orang dapatkan satu set. Pokoknya fasilitas disini sungguh komplit deh. Saya nguni ruangan kamar nomor satu.
Ohoi asoynya…. Reuni lagi saya sama Dadang, Pipit, Munai, Merak, Lena, Krei, Sabila, Kavita, Mack Donand, Jack Rumpi, dan buanyak lagi yang lainnya. Menancapkan persahabatan kami disaudarakan lagi disini.
~oOo~
Makan malam. Suasana tenang dan damai. Abis dimulai dengan doa bersama. Disiplin nian. Tertib. Di satu meja bundar makan, saya berduaan. Asyik ngobrol dengannya sambil makan. Sungguh nggak disangka saya mulai ngefans dengannya.
“Pel, ada nggak lowongan buat saya?”
Dianya tertawa kecil. Lalu dia nyudahi makanannya. Saya cecar dia.
“Pel, betul nih. Saya serius banget. Nggak begurau koq. Ada nggak lowongan buat saya?”
“Lowongan apaan sih?”
“Lowongan buat dekat rapet denganmu.”
“Tunggu aja nanti ya Eska. Ohoi….” Tawamu ceria. Tinggalkan saya sendirian, yang nyungsepkan pikiran deh.
~oOo~
“Pel sepertinya tadi Eska dekatin kamu. Ada maksud kali?” bunyi Moda baring-baringan. Bantal guling dipelukinnya. Ngebayangkan kekasihnya yang jauh di mata, namun dekat dalam hati. Pelita lagi enak-enakan bekaca. Dia lagi enjoy memoles lentik-lentik alisnya berjingkat indah dan mematik-matik rambutnya supaya lurus enak dijalin. Yang selalu disembunyikannya di balik kerudung putihnya. Warna kesukaannya.
“Mungkin aja. Tapi kapan? Nggak tau juga tuh?” sahut Pelita malas-malasan. Namun dia ngebalikan badannya. Dia pun telah berhadapan dengan Moda.
“Ah, kamu. Pura-pura nggak tau aja. Padahal yang berduaan satu meja tuh siapa? Hantu?…..Eheeee Pel malah saya sempat nguping pembicaraan kalian bahwa si Eska tuh nanya ada lowongan padamu. Pasti lowongan yang dimaksud si Eska ngenai dia mau jadi kewangian yang ngiasi kembang-kembang hatimu. Pel, Eska tuh orang sogut. Orangnya alim, baik hati, dan taat lagi. Mumpung kans terbuka seruduk aja si Eska tuh Pel. Tunggu apa lagi!” kompor-kompori Moda sambil ngangkat kepalanya dan ngeluruskan kakinya yang pegal.
“Kayak banteng aja main seruduk kan. Bisa koit dia kalo saya seruduk Mod.”
“Bukan gitu maksud saya Pel. Maksud saya terima aja permintaannya. Kapan lagi kamu dapat cowok alim seperti dia. Pakkallah saya udah bepunya. Kalo belum sih, udah saya gaet duluan dia. Kamu hanya tinggal gigit jempol doang.”
“Kamu nih asal gembol aja Mod. Tapi saya masih ragu dengan omongannnya Mod. Benar nggak?”
“Apanya nggak benar? Masak Eska mau berbohong.”
“Ya, sih Mod. Tapi tetap aja keraguan saya masih ngental. Abis saya lihat dan saya pantau, dia tuh intim nian dengan Tata dari kampus sampai sekarang.”
“Oh gitu ceritanya. Kamu satu kampus dengan dia?”
“Yalah.”
“Saya ngerti deh. Rupanya kamu sebenarnya nyukai dia. Cuman kamu kalah saing aja. Kalah tanding sama dengan Tata. Abis kamu banyak timbangan sih. Itu, inilah. Pel, saya rasa kalo dia udah minta berarti dia betul ingin ngarapin kamu. Udah jangan mikir-mikir lagi. lajokkan aja,” saran Moda.
“Tapi Mod saya masih sangsi. Hubungan dia dengan Tata sebatas apa? Sebatas teman atau sebatas kekasih? Kalo seandainya hubungan mereka sebatas kekasih. Bisa berabe urusannya. Saya kan nggak ingin dikatakan orang tegaan yang ngerebut kasih orang lha yaw!”
“Betul katamu tuh Pel. Tapi kalo kamu ingin kejelasannya. Tanyakan aja sama Eska, apakah hubungannya dengan Tata sebatas teman atau kekasih? Bereskan!”
“Ide yang bagus juga Mod. Tepat nian kalo yang tuh,” seru Pelita. Dia ingin mencium pipi sahabatnya sebagai ungkapan terima kasih. Karena telah memberikan saran jitu.
“Ehe… kesurupan nih,” hindar Moda nutupi pipinya dengan guling agar nggak dicium Pelita.
Soo pasti Pelita akan nuruti saran Moda. Moda yang punya wajah darah campuran Arab, India, dan Indonesia. Hingga dia dapat gelaran Nona Arabin dari teman-temannya sesama prajabatan. Abis dia juga masih keturunan bangsawan, darah biru, pakai bros syarif tuk laki-laki dan syarifah tuk wanitanya. Asooyyy !!!!!!!!……………………………..!
~oOo~
“Ihi… ngelamun aja nih kerjaannya?” sentakan Yaya, si kerudung merah.
“He…” kaget saya.
“Ada apa nih? Kagetin orang aja.”
“Abis bengong aja kerjaannya. Mendingan kamu temani saya. Kantin dong. Saya lagi bete nih. Saya butuh teman curhat nih…”
“Kebetulah deh. Sama-sama bete nih.”
“Mari…..”
“Ayo. Let’s go, siapa takut?”
Langkah pun berderak menuju ke kantin. Lalu mesan minuman dingin dan kudapan kacang atom cap dua kelinci serta kerupuk udang gurih.
“Kerjaan resume Pelayanan Primamu udah rampung Eska?” tanya Yaya, si kerudung merah.
“Udah Yaya, udah beres..”
“Kamu emang rajin sih Eska.”
“Kalo kamu gimana resumenya Yaya?”
“Dikit lagi, tinggal dua kalimat aja. Udah itu selesai deh…”
“Berarti selesai juga ya?”
“Ya, gitulah Eska.”
Yaya nyeruput minuman dingin dan menjumput kacang atom lalu negleknya. Kreekkk….. Kreekkkk….. Gurih dan nikmat. Saya pun minum minuman dingin hingga tenggorokan nyegar. Ngomong pun jadi lancar ngalir.
“Eska, bisa nggak kita duduk di taman sambil nikmati angin sore,” pintanya.
“Bisa. Bisa. Untuk gadis manis seperti kamu apapun akan saya lakukan,” sahut saya sekenanya. Jujur aja ya! Emang saya juga senang berduaan dengan Yaya.
Ceritanya lupa lagi nih ama Pelita, gadis kerudung putih, jika rasa senang menjalar. Emang.
“Ah, kamu suka ngombal aja, Eska. Nggak boleh tuh,” perlemah suaranya.
“Nggak Yaya. Saya nggak ngombal. Apa yang saya sampaikan benar-benar penilaian saya yang murni. Tulus!” perhatikan saya padanya.
“Ah….”
Meronalah wajahnya. Saya tau dia tersanjung. Entah tersanjung episode enam atau tersanjung tingkat berapa? Saya nggak tau.
“Udahlah Eska, mari kita kesana,” ajaknya.
“Sih, okey!” jawab saya girang.
Senja menaburkan sampan-sampan kemilau yang terang benderang ngiasi pandangan rasa di mata nyata atau mata jiwa. Sungguh nyaman. Lalu kita naiki sampan-sampannya ngarungi kelembutan awan dengan jiwa riang. Tak ketinggalan kita gebah air kehidupan. Kita debur ombak kebersamaan. Lalu dari semuanya saya dapat ngetahui bahwa kamu juga ada rasa dengan saya. Saya pun nerimanya dengan senang. Sebagai filateli.
Pas mata kajian Dinamika Kelompok. Alhamdulillah saya bisa dekati lagi Si Nira, gadis berkerudung keribang. Abis dia suka dengan warna keribang. Yang satu ini, lebih lemah lembut tutur bahasanya, lebih sederhana tampilannya tapi nggak rombengan, dan lebih ayu wajahnya dari sembulannya yang dikit di balik kerudungnya. Wah, giginya putih pepsodent. Wah sedetil gitu… perlu aja tuk koleksian. Dalam pencarian tuk nentukan final sebagai pilihan hidup seumur hayat. Oh ya kelebihanya yang dominan adalah hidungnya yang bangir. Seksi amat. Sungguh saya minati. Abis gemesi. Ingin rasanya saya noel-noelnya.
Sadar Eska, ngucapkan Istigfar. Jangan terlalu jauh larut dalam khayalan semu. Bisa bahaya lho?
Saya lukis wajahnya di buku putih. Jadi. Nyaris sempurna. Nggak ada cacat celanya. Kalo mau sempurna sih terletak pada wujud sosok asli orangnya. Lukisan itu saya sodorkan ama dia.
“Gimana Nir, bagus nggak lukisan ini?”
“Wow, bagus nian. Sungguh indah Eska!” pujinya dicampuri rasa kagetnya. Abis lukisan itu sama dengan dirinya. Abis dia juga nemukan wajah dirinya dengan bentuk lain.
Dalam jiwanya, berkicau merdu suara sang burung, ada maksud apa Eska ngelukis saya? Ada maksud lain atau maksud iseng doang. Kita lihat aja nanti….!
“Kamu berjiwa seni juga ya Eska?”
“Dikit aja Nir. Kebanyakan, saya bukan ahlinya.”
“Ah, kamu terlalu merendah. Selama ini kamu udah ikut perkumpulan Ikatan Seniman Seni.”
“Nggak pernah Nir. Nggak mau dikekang aja. Abis kalo ngikut perkumpulan seperti itu, kita harus ngikut aturan yang ditetapkan oleh perkumpulan.”
“Tapi Eska. Rugi lho kamu punya bakat disia-siakan.
“Nggak juga sih Nir. Saya lebih enjoy gini aja. Bebas dan nggak terikat. Bahagia!”
“Oh gitu.”
“Eska, boleh saya minta lukisan ini sebagai kenang-kenangan dari kamu. Sebagai sahabat saya,” katanya meminta.
“Boleh… Boleh… Nir, silakan!” sahut saya senang. Itulah kata yang saya tunggu-tunggu darinya. Saya pun ngelepaskan lukisan itu dari buku saya, lalu saya berikan padanya.
“Makasih ya Eska, kamu sungguh baik deh…”
“Sama-sama Nir.”
Bel istirahat berpidato. Memberikan peluang waktu untuk relaksasi bagi para peserta prajabatan.
~oOo~
Saya trus gepet dia. Lupalah saya ama Pelita, gadis kerudung putih dan Yaya, gadis kerudung merah. Abis dapat gacoan baru nih lebih talenta dan ekselen. Rugi deh kalo dilepaskan. Sebab dia udah saya incar dari dulu. Baru kali ini ada kesempatan dekati dia. Maka kesempatan itu harus digunakan sebaik mungkin.
“Saya dengar kamu dekat ya dengan Pelita dan Yaya?”
“Dekat sih nggak, cuma akrab aja.”
“Sejauhmana keakraban kalian.”
“Sebatas teman. Mereka orang yang enak diajak ngobrol.”
“Oh ya?”
“Betul Nir.”
“Okelah kalo gitu. Kebetulan kali, kemana ya mereka? Kok nggak ada batang hidungnya?”
“Nggak tau sih Nir. Kamu mencari mereka ada perlu apa?”
“Ada aja perlunya nggak boleh kamu ketahui.”
“Kok dirahasiakan amat.”
“Yalah, karena inikan masalah wanita. Maaf ya?”
Nira ingin beranjak pergi mencari Pelita dan Yaya. Wah, bisa kapiran urusannya. Kalo mereka berkumpul semuanya.
“Tunggu dulu Nir. Gini aja Nir. Biar saya aja yang cari mereka kalo kamu emang perlu.”
“Terima kasih ya Eska.”
“Sama-sama Nir. Tapi saya masih mau ngobrol dikit ama kamu. Bolehkan?”
“Boleh aja. Tapi jangan lupa dengan janjinya.”
“Beres Nir.”
“Nir, kamu pernah suka sama orang?”
“Kok nanyanya gitu?”
“Mau tau aja.”
“Okelah kalo gitu Eska. Saya pernah suka sama orang. Namun sayang, hubungannya nggak berjalan lancar abis orangnya nggak pernah bisa menuhi keinginan saya,” jawab Nira jujur.
Asyik saya ada kesempatan.
“Alhamdulillah!”
“Apa maksudmu dengan ucapan alhamdulillah, Eska?”
“Nggak ada maksud apa-apa kok. Maksud saya……” terbata-bata juga Eska mau ngucapkannya.
“Bilang aja Eska bahwa ada kesempatan buat kamu. Bahwa kamu sungguh sayang sama dia. Tembak langsung aja!” kelakar Fit yang barusan muncul.
“Hust, kamu nih ngaco aja Fit!” semprot saya.
Muka saya pun sempat berubah. Abis malu sih.
Sialan Fito bukan kartu main saya lagi. ketahuan deh.
Perubahan rona itu sempat diketahui Nira. Dia diam aja nggak berkomentar.
“Ah, belagu amat kamu, Eska. Kapan lagi Nira tahu, kalo kamu emang sayang ama dia. Kemauan sayang itu jangan dipendam aja bisa bekapok dan jamuran nanti. Jangan juga rasa sayang lama diutarakan. Bisa-bisa orang yang kamu incar disambar orang lain,” cerocos Fit makin membuat saya tambah malu.
“Eh, udah Fit ngontornya!” pelotot saya.
Fitnya malah tertawa ngikik.
Untuk ngindari mulut ember Fit dan buat saya tambah malu lagi maka saya ngajak Nira berpindah tempat, ke tempat yang lebih aman. Menjauh dari Fito.
Nira duduk di semen bulat, cukup untuk satu orang saja. Saya di sampingnya. Kami dipayungi oleh pokok Ketapang berdaun jimbun. Menimbulkan suasana segar dan ayem.
“Eska, saya ingin kejujuranmu. Betulkah apa yang dikatakan Fit tadi bahwa kamu sayang saya?” ujarnya lembut penuh ketegasan.
Karena dituntut nggak boleh berbohong maka saya ngaku.
“Ya, Nir…,” sahut saya lirih.
“Sejak kapan kamu memulainya?” katanya lagi menginterogasi saya, layak seorang polisi saja.
“Sejak pertemuan pertama kita di pembekalan prajabatan. Saya udah demen ama kamu. Namun kamunya sulit saya dekati. Alhamdulillah, Allah tunjukkan jalan pada saya. Saya bisa dekati kamu disini dalam kegiatan prajabatan. Saya bersyukur kali dapat ngenali dirimu dalam jarak dekat gini.”
“Oh gitu,” tekapnya pada mulutnya. Nahan debaran hatinya.
“Tapi gimana dengan Pelita dan Yaya?” tanyanya menyelidik.
“Kan saya udah katakan bahwa antara saya dengan mereka hanya akrab sebagai teman. Lain nggak,” tegas saya berkaca-kaca. Dia pun jadi percaya.
“Nir, sekarangkan kamu udah tahu semuanya. Kini saya yang ingin kejujuranmu. Gimana tanggapanmu dengan rasa sayang saya padamu,” kata saya berharap-harap cemas. Bel masuk pun menjerit, membuyarkan pengharapan saya.
“Nanti aja Eska ya!” katamu bergegas ke ruang pertemuan.
Sialan bel ini, membuat saya nggak mendapatkan jawaban darinya.
~oOo~
Di kursi santai, halaman diklat, saya didepak Pelita.
“Eska, kamu betul pacaran ya dengan Tata?”
“Nggak. Kami cuma bersahabat aja kok.”
“Betulkah itu?”
“Betul Pel. Sumpah demi Allah. Saya nggak ada hubungan istimewa dengannya selain hubungan sahabat.”
“Kalo gitu syukurlah. Saya percaya deh.”
“Pel, kamu nih tahu kabar bahwa saya berhubungan dengan Tata darimana atau dari siapa?”
“Ada aja. Dari sumber yang dapat dipercaya.”
“Dan apa maksudmu menanyakan hubungan saya dengan Tata?”
“Nggak ada maksud apa-apa. Habis hubungan kalian kelihatan akrab banget sih. Dikirain pacaran, nggak tahunya nggak. Hal ini saya ingin ketahui darimu hanya untuk pemastian aja. Kini saya dapat berlega nian.
“Oh ya? Jangan-jangan ini ada sangkut pautnya dengan lowongan saya padamu waktu makam malam tadi?”
“Gitulah kira-kira Eska!”
Wah, tancap saja Eska. Di final penentuannya baru kamu mendapatkan orang yang benar-benar menjadi milikmu atau jodohmu seumur hayat.
~oOo~
Malam keakraban ditata apik sedemikian rupa. Sungguh semarak nian. Acara dimulai dengan kata sambutan dan kata sambutan. Terakhir barulah acara hiburan. Acara hiburan diisi dengan lantunan tembang-tembang dangdut. Banyaklah yang berjoget ria. Dari peserta sampai panitia. Berjingkrak-jingkrak ngeluarkan kebolehannya dalam bergoyang. Saya ngajak Pelita berjoget, dianya langsung mau. Wah, asyik deh. Joget berpasangan. Bisa bersuka ria.
“Eska, saya tambah sa………”
“Apa sih nggak kedengaran. Suara musiknya berisik amat.”
“Saya tambah sayang padamu,” ujarnya dekatkan ke telinga saya.
“Oh, sama dong,” seru saya lalu senyum. Lalu terus saja kami berjoget.
“Pel, tunggu sebentar ya disini?” kata saya kemudian, memisahkan diri darinya.
“Mau kemana lagi Eska?”
“Sebentar saja. Ada keperluan.”
“Iya, deh,” katanya ngerti.
Saya nemui Yaya. Lagi asyik duduk dengan temannya. Saya ngajak dia berjoget. Dia nggak mau. Apa alasannya? Dia nggak berkomentar. Akhirnya saya ada akal lagi, akan ngajak Nira berjoget.
“Udahlah kalo emang kamu nggak mau Yaya. Saya pergi dulu ya?”
“Mau pergi kemana lagi Eska?” katanya.
“Ada aja Yaya….! Daaaaa…….”
Lalu saya dekati Nira di kursi belakang. Dia lagi duduk santai. Tenang nyaksikan temannya yang bersukaria. Lihat saya dekati dia, dianya tersenyum saja. Biarkan saya duduk di sampingnya.
“Udah puas berjogetnya?” katanya kalem tanpa ekspresi marah.
“Ah, jangan salah sangka dulu, Nir,” jawab saya ngindar.
“Saya nggak salah sangka kok. Saya cuma mau tahu saja, apakah kamu udah puas berjogetnya? Lain nggak kok!”
Saya hanya diam. Kali ini nggak berkomentar. Habis emang saya salah.
“Kamu kan tahu Eska. Joget itu nggak boleh. Itu sama saja memamerkan kekurangan kita pada orang lain atau menyodorkan maruah di depan umum…”
“Saya tahu Nir. Tapi…”
“Tapi ngapa masih aja kamu lakukan,” potongnya.
“Maaf ya Nir. Saya udah salah deh. Maaf ya?”
“Ya, udalah. Itukan urusanmu. Saya sebagai temanmu hanya ngingatkan saja,” katanya lembut dan lunak.
“Kalo gitu, makasih banget Nir atas nasihatnya,” sahut saya natap wajahnya.
Wanita kaya ginilah yang saya cari dalam kehidupan ini. Bisa ngingatkan saat kita ngelakukan kesalahan. Berarti kan dia memperhatikan kita setiap waktu. Enak kan dapat perhatian!
“Nampaknya keringatanmu banyak berlelehan. Coba kamu duduk disini. Dinginkan keringatmu itu. Biar kamu bisa segar lagi,” katanya.
Saya nurut aja. Plong bersemayam dalam jiwa. Habis dianya perhatian betul hari ini. Saya kan merasa tersanjung dan dihargai deh. Teman lain nggak ada yang ngusik. Kalo diusik mereka bisa malu juga nih. Habis teman-teman juga sibuk dengan urusan mereka.
“Kamu datangi saya ada perlu apa sih Eska?’ tanyanya.
“Ah, nggak ada…”
“Jangan takut. Katakan saja terus terang. Jangan kamu tutupi. Saya lebih senang dengan kejujuran kok.”
“Baiklah Nir. Saya mau nanyakan kelanjutan omongan kita kemarin.”
“Omongan yang mana?”
“Masak kamu lupa?”
“Betul Eska. Jadi maaf ya, coba kamu jelaskan lagi omongan yang mana?”
“Omongan tentang saya sayang denganmu. Gimana Nir penilaianmu?”
“Penilaian saya hanya satu. Saya akan terima sayang kamu bahkan cinta sekalipun, kalo kamu bisa menuhi keinginan saya.”
“Insya Allah, Nir. Saya akan berusaha untuk menuhi keinginanmu. Coba kamu utarakan apa sih keinginanmu itu?”
“Pertama Eska, berikan saya makna sebuah kalimat ini BULAN PECAH DI TENGAH BINTANG, DAN BINTANG MEMANCARKAN CAHAYA MENAUNGI BULAN.”
“Maksudnya Nir. Ada seorang wanita mungkin saja dirimu akan mencari pendamping hidup atau jodohmu yang betul-betul menyayangimu dan mengasihimu. Dia juga adalah orang alim, taat beribadah serta jujur. Dia adalah orang yang benar-benar akan membimbingmu atau menuntunmu pada jalan kebenaran dalam mengarungi kehidupan ini sampai nanti akhir hayatmu atau kehidupan selanjutnya.”
“Alhamdulillah, jawabanmu tepat nian.”
Mukanya merona. Cerah berkilauan. Dia menyeka butiran peluh di wajahnya.
Satu babak telah terlewatkan. Tinggal babak final.
Kalo Eska, berhasil ngungkapkannya berarti dialah pasangan saya.
Saya juga berkata lain. Apa lagi keinginannya. Mudah-mudahan saya dapat menuhinya. Oh, Nira……………..!
“Ini yang terakhir Eska. Kalo kamu bisa ngejelaskannya. Seutuhnya saya nyerahkan jiwa saya padamu. Eska, coba kamu jabarkan kalimat ini KAMU JADILAH SENJA DALAM HIDUP SAYA. Jabarkanlah jadi lima pecahan maknanya. Saya akan beri waktu kamu tujuh belas hari buat ngungkapkannya. Dengan perinciannya sebagai berikut, empat hari pertama kamu harus ngantarkan satu uraian maknanya. Dua hari kedua dari hari pertama kamu harus ngantarkan uraian maknanya yang kedua. Empat hari ketiga dari hari kedua kamu harus ngantarkan uraian maknanya yang ketiga. Empat hari keempat dari hari ketiga kamu harus ngantarkan maknanya yang keempat. Tiga hari kelima atau hari terakhir dari hari keempat kamu harus ngantarkan uraian maknanya yang kelima. Komplitlah sudah. Kalo antaran uraian maknamu tepat, saya akan terima kamu dengan rela dan ikhlas. Kalo udah gitu, kamulah jodoh saya. Tapi kalo kamu nggak bisa ungkapkannya mungkin kita hanya berteman saja,” jelasnya mantap.
Binar-binar matanya bermain kelereng dengan lincahnya. Sebagai pemberi semangat pada saya agar dapat menuhi keinginannya.
“Hanya itu aja Nir, nggak ada yang lain lagi?’
“Itu aja, ustad Eska!” sahutnya super pendek di pembicaraannya yang terakhir.
Ustad, kapan saya jadi ustad? Aneh aja Nira nih. Tapi asyik juga kedengarannya, saya dipanggilnya gitu. Tapi nampaknya dia betul-betul serius.
KAMU JADILAH SENJA DALAM HIDUP SAYA, ulang saya beribu kali dalam gerungan kalbu untuk mencerna maknanya. Wah, cukup berat sekali ya keinginannya yang terakhir ini. Maknanya sungguh-sungguh kental dan kejal. Dari ini saya harus dapat nguraikannya jadi lima makna. Saya akan tetap berjuang sampai bisa nguraikannya. Mumpung terlanjur ada kesempatan untuk miliki dia selamanya.
Allahumma, berikanlah taufik dan hidayahmu serta perkenanMu yang manjur agar saya dapat nguraikan lima makna KAMU JADILAH SENJA DALAM HIDUP SAYA. Yang ngerupakan keinginannya yang terakhir.
Allahumma, jadikanlah perjuangan saya dalam nguraikan maknanya ini sebagai perjuangan yang realita bukan samar-samar. Sebab perjuangan yang saya lakukan ini sebagai salah satu manifestasi saya untuk merampungkan keinginan hati saya biar dapat memilikinya, seutuhnya!..............!..............! Seutuhnya !!!
Balber, 12 Desember 2004
~~~~~~&&&&&~~~~~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar