Selasa, 24 Juli 2007

Kidung Kampung Berdebu

Oleh : M.Saifun salakim

Kidung putih abu-abu sungguh merdu mengalun. Menegur sapa embun masih enak meringkuk dalam selimut tebalnya yang hangat.
“Hust, mengusik saja. Menganggu keenakan dan kesenangan saja.”
Menegur ramah sekawanan binatang langit yang berburu makanannya untuk kehidupan. Hidung pun ditutup pakai sapu tangan atau handuk kecil ketika truk angkutan penumpang atau truk angkutan kayu segi/log melintasinya, agar debu beracun yang disebarkannya tidak terhirup.
Jalanan masih mengepulkan uap dan debu beracun, seperti tanakan nasi yang mendidih. Tapi langkah dan kidung merdu itu tetap bergema. Menuju tempat penimbaan dan penggalian ilmu. Sungguh antusias. Sungguh semangat. Optimis !!!
Sekolah. Tempat cikal bakal mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dan berdaya guna tinggi. Tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya dari guru, untuk diaplikasikan dalam kehidupan ini demi merangkul bidadari idaman dalam pelukan sanubari dan hati. Selalu melekat ! Tidak mungkin tandas lagi. Kebahagiaan hakiki. Kedamaian sejati. Kesejahteraan yang abadi. Pasti !!!!!!!
Jarak yang begitu jauh ditempuh untuk mendapatkan ilmu tersebut, bukanlah suatu penghalang. Walaupun setiap kali melintas, harus menantang kepulan asap dan debu beracun, bukanlah suatu penghambat. Walaupun ada yang sampai dua kilometer perjalanannya. Bahkan ada sampai tiga kilometer atau lima kilometer perjalanannya. Bukanlah hal itu dapat menyurutkan langkah mereka. Mereka tetap teguh berkidung ria. Tegar mengalun penuh dengan wajah-wajah segar menyongsong semuanya. Merengkuh rembulan di terik mentari panas bersatu. Menyatu. Sungguh pencari ilmu pengetahuan yang tangguh dan gigih. Salut deh untuk kalian semua !!!
~oOo~

Surat keputusan dibuka. Tangan bergetar. Lutut melemas. Saya ditempatkan di kampung berdebu. Sanggupkah diri saya? Yang saya dengar kabarnya bahwa kampung tersebut penuh asap dan debu beracun. Bisa menghadirkan penyakit. Saya, orangnya rentan penyakit lagi. bisa-bisa saya terkubur disana. Timbullah rasa sesal menghantui. Rasa jengkel memanas, meradang, lalu merejang.
“Sialan. Kurang ajar.”
Segala umpatan terlontarkan. Caci maki juga begitu. Bersuara dalam hati. Mengutuk orang-orang yang telah menempatkan saya ke tempat itu. Bahkan menyumpahinya agar cepat mampus sekalian. Kebimbangan pun menggelora sanubari, menerimakah atau tidak?
Sejenak saya tenangkan jiwa. Di keramaian teman-teman saya yang bersuka ria. Ditempatkan di tempat yang dekat. Bisa pulang kampung setiap saat. Tidak terlalu jauh, jika libur menyapa. Bisa berkumpul bersama-sama dengan keluarga. Mengungkapkan kebahagiaan bersama dengan tawa dan canda
“Sudahlah Ibnu ! Ambil sajalah. Yakinlah Allah sudah mengatur semuanya,” kata suara lembut memberikan strong power pada saya untuk mengambil keputusan, karena kebimbangan. Menyatakan ya atau tidak. Mengingatkan saya pada kemahabesaran-Nya. Tadi sempat saya lupakan.
Yaa Allah. Maafkanlah kekhilafan saya barusan, melupakan-Mu yang sungguh besar kekuasaan-Nya.
Mungkin dia benar. Ini sebuah perjalanan yang sudah diatur-Nya untuk saya, agar dari perjalanan ini saya dapat mengambil hikmahnya.
Yaa Allah, semuanya adalah kehendak-Mu.
Barulah saya sadari hal itu. Setelah rasa keimanan saya disadarkannya. Mungkin ini adalah iktibar buat saya.
Saya cari dan temukan suara halus lembut yang telah menggugah saya. Memantapkan keputusan saya untuk memilih. Rupanya dia berada di depan saya. Wajahnya kelihatan segar dan tersenyum. Di genggaman tangannya tertenteng map surat keputusan. Rupanya dia yang pernah duduk satu bangku di depan saya. Waktu sama-sama menunggu pembagian surat keputusan penempatan mengabdi. Dari awal acara sampai acara inti, yaitu pembagian surat keputusan ditempatkan untuk mengabdi dinanti-nantikan semua orang, dia tetap fresh. Yang namanya mendung tidak menghiasi rona langit wajahnya yang segar. Dia sepertinya sudah siap ditempatkan dimana saja. Sudah siap segala-galanya. Saat menerima surat keputusan penempatan itu dan membukanya, dia tidak gemetar bahkan dia tetap tenang seperti biasanya. Wah, benar-benar sudah siap, tabah, dan tenang dirinya.
“Ah, rupanya kamu, Qori ! Makasih banyak atas nasihatnya ya,” kata saya. Lalu duduk di dekatnya.
“Nggak perlu terima kasih segala, Ibnu. Sudah sepantasnyalah sesama muslim kita saling mengingatkan dan menguatkan antara satu dengan yang lain. Biar tetap terbina rasa ukhuwah islamiyah. Biar tetap terjaga rapi tali persaudaraan kita sesama muslim. Bukankah begitu Ibnu?” sahutmu.
“Betul Qori. Betul sekali katamu,” kata saya mengiyakan. Karena pendapatnya benar sih.
“Qori, kamu kena tugaskan dimana?” tanya saya ingin tau.
“Tugas di Bentang !” jawabmu tandas.
Kaget saya mendengar nama daerah itu. Tidak jauh berbeda dengan daerah yang saya datangi. Mungkin daerahnya lebih parah lagi dari saya Tapi dianya tetap tenang. Sungguh penghayatan kesabaran yang luar biasa.
“Qori, bukankah Bentang. Kalo ditilik dari segi namanya adalah nama rumah khas suku Dayak. Dari nama itu, menandakan mayoritas warga yang menghuni daerah itu adalah orang Dayak.”
“Betul sekali Ibnu. Begitulah kabar burung yang saya dengar.”
“Kalo kamu sudah tau kabarnya begitu. Mengapa kamu tidak membatalkannya? Apalagi kamu seorang wanita. Bisakah kamu hidup disana berdampingan dengan mereka? Kamu khan muslimah sedangkan mereka tidak?”
“Insya Allah, Ibnu. Selagi saya masih yakin bahwa Allah selalu mengikuti hamba-Nya. Saya yakin. Ainul yaqin. Saya akan bisa.”
“Mudah-mudahan Qori. Saya semakin salut dengan keyakinamu yang mantap kepada Allah. Tapi, apakah tidak terpikir oleh akalmu tentang kemungkinan yang akan terjadi bila kamu tugas disana? Seandainya mereka menolak kehadiranmu? Atau sebaliknya mereka menganiayamu?” balik saya memberikan pertimbangan dan penjelasan padanya.
“Saya tidak berpikir sampai kesitu Ibnu. Karena hal itu akan melemahkan kemantapan saya. Saya sudah bulatkan dan ikhlaskan untuk tetap menerima keputusan-Nya lewat perantaraan ini. Maaf ya Ibnu sedikit saya meralat katamu yang pakai “Seandainya”. Yang benarnya kita jangan selalu suka mengandai-andai. Tapi langsung saja melakukannya dengan kenyataan yang ada. Mantap khan!”
“Betul juga katamu, Qori.”
“Tapi Qori. Kamu tidak takut dengan hukum adat mereka? Kadang kala mengekang kebebasan kita yang hidup di bumi Indonesia, yang berlandaskan hukum negara. Karena Qori, mereka setiap menyelesaikan segala masalah selalu menggunakan hukum adat bukan hukum negara. Padahal mereka hidup di bumi Indonesia. Seharusnya mereka menggunakan hukum negara. Lagian Qori, mereka juga sangat fanatik dengan hukum itu. Hukum adat mereka.”
“Tidak takut Ibnu. Untuk apa musti takut dengan mereka. Karena mereka juga mahluk Allah. Mengapa saya musti takut dengan mahluk Allah? Sebenarnya Ibnu, yang musti saya takutkan hanya satu, yaitu Allah. Dialah Sang Maha Pencipta. Karena Dialah yang mengatur kehidupan saya.”
“Okelah Qori, kalo itu memang katamu. Kalo begitu memang keyakinanmu. Sudah mantap, tidak lonjong dan gepeng lagi. Saya hanya dapat mengiringi kamu dengan doa. Moga saja kamu sukses selalu. Selamat jalan!”
“Sama juga Ibnu. Saya hanya dapat memberikan doa padamu. Moga juga kamu sukses dalam pengabdianmu dan tugasmu serta selamat jalan juga,” sahutnya membalas ucapan saya. Terakhir kali untuk berpisah.
Di tempat baru. Terasa agungnya. Penyambutan saya oleh penduduk setempat. Terasa hangat dan akrab. Bersahabat. Serasa saya teman jauh yang baru bersua. Mementahkan imajinasi dan khayalan saya yang bukan-bukan tentang kampung tersebut. Selain itu, syahdunya kidung putih abu-abu bergema. Sungguh betul-betul ingin memperoleh ilmu dari saya, menantang hasrat. Untuk memberikan yang terbaik buat mereka sesuai kemampuan yang ada. Demi cita-cita mereka agar berhasil dengan baik. Merangkum bulan dalam pelukan dan menjadikannya sebuket keranjang yang menaburkan keharuman sepanjang masa.
Tak terasa semakin senang saya hayati kidung-kidung mereka. Kidung sufi. Kidung Haddad Alwi. Kidung irama gambus atau kidung perjalanan musafir padang pasir. Kidung bernuansa seni tinggi. Rasukkan perasaan bahagia terdalam. Walau untuk itu harus menentang asap dan debu beracun setiap hari. Tidak perduli !. Bersama-sama dengan mereka yang sudah terbiasa. Walau harus menutup hidung dan mulut dengan sapu tangan dan handuk kecil, menghindari penyakit yang bertebaran. Tidak perduli !. Walau harus musim panas, kepanasan dan kelelahan cucuran keringat yang banyak menggenang di sungai baju dan tubuh. Tidak perduli !. Walau harus musim hujan, kehujanan dan kebecekan menghiasi pakaian yang dipakai. Tidak perduli !. Asalkan kidung mereka bisa meresap dalam hati dan sanubari serta bisa mendarah daging. Asalkan mereka tetap berkidung ria dengan semangat senang dan gembiranya penuh pesona.
Lumayan. Dengan teliti dan telaten. Betul-betul saya hapal dengan kidung mereka. Waktu tidur, ketika bangun pagi, ketika kerja, ketika shalat setiap waktu sehari semalam (Shalat lima waktu), dan dalam tarikan napas ini. Setiap kali menghirup udara bersih untuk kelangsungan kehidupan di jagat raya ini. Kadang-kadang juga saya kidungkan sendiri. Kidung yang sungguh berjiwa seni tinggi. Dengan not-notnya teratur rapi. Rimanya tersusun manis. Iramanya tertata sedap. Mendayukan rasa rindu berbuku-buku pada siapapun. Walaupun kidung itu dikidungkan di kepulan asap dan debu beracun meresak. Tetapi tetap bergema lantang membelah angkasa. Menjagakan penghuninya untuk ikut meresapi dan menghayatinya juga.

MAJU… MAJU… MAJU… TERUS MAJU…
PANTANG MUNDUR
MENGAMBIL ILMU
DI TEMPAT SUCIMU

MAJU… MAJU… MAJU… TERUS MAJU…
DEMI ILMU…
KAMI TENTANG ASAP DEBU DAN HUJAN BATU
WALAU KAMI PUN JADI BANGKU-BANGKU
UNTUK KAMU
ILMU… ILMU… ILMU…

ILMU… ILMU… ILMU…
KAMULAH ROH KAMI DALAM SATU
UNTUK BERMUTU

Kidung ini bila saya kidungkan sendirian. Dengan penuh penghayatan rohani dalam nurani. Merindukan saya pada sosok Qori. Sekian waktu berlalu tidak bersua. Meninggalkan sayup-sayup berdesir halus lembut.

Balai Berkuak, Medio September 2004

(Dipublikasikan di Harian Equator, 2006)

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...