Oleh : M. Saifun salakim
Rembulan mengganasi selimutnya mentari
Mentari menggerungi kemolekan bumi
Bumi menangisi kemahacantikan langit
Rada-rada serat menyeret suaranya terimbaskan
Meniti aspal yang mengelupas kulit ari
Dengan langkah kakinya yang zig zag zig zag
Mengikuti alur benang selajur membentang lurus
Yang ujungnya di titik fokus terakhir
Di guratan mata rindu kasihnya bertinta merah
Menyorotkan sebuah tulisan kemilau
Empat dalam satu adalah embunnya aku
Jalan Atot Ahmad, 8 Oktober 2001
M. Saifun salakim
Bumi Tenggelam Di Pangkuan Ibunda
Disaat kemilau memancar menembus dalam
Kalbu lempengan kaca gendewa
Yang sinarnya berbalik arah
Melabrak keangkuhan bumi yang tidak bisa
tafakur lagi
Karena raga dan seluruh nyawanya
Telah penuh dengan ulat-ulat yang menggeragoti
Disaat kemilau memancar menembus dalam
Kalbu lempengan kaca gendewa
Yang sinarnya melenyapkan
Warna hijau dan keunguan dalam tarikan
napas pelangi
Menghantarkan keikhlasan bumi
menenggelamkan dirinya
Pada pangkuan ibunda
Karena waktunya telah mencukupi dirinya
untuk kembali
Dengan iringan gemanya genta di padang sunyi
Kamar Sunyi, 8 Oktober 2001 (22.35)
M. Saifun salakim
H i d a y a h
Nektar mengalirnya segar ke muara
Memuncakkan iman, akal, budaya,
dan rasio mengelupasnya
Kedalaman isinya yang kejal bak sekujur wajah
batu lumut
Dari perolehan dengan mengarungi lautan maha luas
Disemburkan oleh kesucian kelopak-kelopak rembulan
Perjalanan – Kampus, 9 Oktober 2001 (09.40)
M. Saifun salakim
Setitik Air Di Gurun Pasir
Ketika angin kerinduan membisikan
melata serpihan membumi
Terjiruslah pohon kesturi bertasbih rapih
Laksana rumput bersenandung iqra sunyi
Mengajak diriku membaca mantera
Dalam menghitung hari bukan menghitung bintang
Di kalkulasi zenit hari
Agar dapat kugulati
Penuh keluapan kemesraan yang kental tersalurkan
Dalam mengendus tak lepas lagi
Pandan di taman keterbalikan sinyal langit merendah
Sedalam regukan musafir-musafir lalu
Mengamblaskan setitik air di gurun pasir
Kamar Sunyi, 9 Oktober 2001 (22.30)
M. Saifun salakim
Menyingkap Wajah Pelangi
Venus menyapa lembut kita
Lewat embun yang mencumbu daun kelor
Menitipkan cinta mentari menyatu satu
Dalam tenggakan racun kita sebagai pengembara
Terlindas aspal yang kian melekang
Terpanggang debu mentuba yang kian menyepi
Di hamparan tikar dedaunan merajut musim
Menghabiskan nektar yang masih tersisa
Di guci lusuh sesosok wajah telungkup
Dan wajah tengadah menembus angit baiduri
Yang muka dan tubuhnya berkilauan emas permata
Terpancar menelanjangi
Wajah sendu kita berselemotan daki
Kamar Sunyi, 9 Oktober 2001 (23.00)
(Dipublikasikan di www. Cybersastra. net, 16 Mei 2002)
M. Saifun salakim
Oreon Buat Bunda
Pada pesta bintang malam hijriyah dalam pusara
Kunang-kunang bertempik dalam peraduan batas imaji
Aku hanya dapat mengalungkan oreon
Di leher Bunda
Jalan Atot Ahmad, 10 Oktober 2001 (18.15)
(Dipublikasikan di www.Cybersastra.Net, 16 Mei 2002)
M. Saifun salakim
Dinding Perak dari Arti Sebenarnya Emas
Bocil bersidekap dada menggerung galaksi
Supaya galaksi menaburkan hujan mawar
Menjirus tubuhnya dalam siklus musim
Menumbuhkan kecambah segar keputihan
Agar bocil menjadi kancil dalam meteor
Merambas semak berduri dan ilalang
Menyilangkan tatapan rembulan si bocil
Dalam kenobraan mahligai jagat raya
Yang tersembunyi oleh dinding perak
Dari arti sebenarnya emas
Ruang Tengah (PTK), 11 Oktober 2001 (17.40)
M. Saifun salakim
Saudara Renta
Di simpang jalan kecoklatan meteorit meledak
Tersembur dari inti nuklir kehidupan
Hingga kita terimbas percikan bintang-bintang kecil
Membeset sekujur diri
Menimbulkan bercak-bercak merah hati
Seperti virus ebola melanda dunia
Merestankan bangkai dan tulang yang tergeletak
Tak bermakna
Padahal mereka hanya butuh minuman perasa
Laksana soda melemparkan buih busa
Dalam hembusan angin rapat
Beginilah…… begitulah……
Yang tersembur dari mulutmu berbau wiski
Mengaburkan jiwa bangsaku menjadi narapidana
Mengambang di terali kepedulian kaca mata
Pecah tak bersuara
Walaupun bunga layu luruh dari pepohonan
Lolongan anjing membungkam hari pengemis pusoh
Begitu gigih mengukur jalanan waktu
Telah membeset sekujur tubuh lapuknya
Menyisakan serpihan kehidupannya
Berserakan di limbah pabrik, rumah seribu kaca,
Gedung menjulang langit dan lalu lintas kehidupan
Laksana bidadari kahyangan
Tapi ia tetap terpampang penuh rembulan
Walaupun alam sekitar menyudutkannya
Karena mereka selalu bersembunyi
dalam selimut halimun
Tak mau mendekap saudara rentanya
Tak membuahkan mutiara
Secepatnya kilat aku memantong andang kencana
Menghadapkan mukanya di pangkuan mereka
Dengan mendesirkan kesejukan segala
Bahwa kita juga sumbu pengemis dalam hatinya
Kamar Renungan, 11 Oktober 2001 (21.00)
M. Saifun salakim
Rotasi Waktu Dalam Memori
: Sobit Kentalku ANA Chetapank
Rotasi waktu melibas butiran hari per hari
Dalam bangunnya mawar kalbu pada keheningan
Menarik penggalan memoriku
Terpendam di aluran Sungai Kapuas
Yang pernah kita reguk rasa garamnya, air labunya,
Payaunya, rasa cabenya, dan gulanya
Rotasi waktu menjadikan aku
Sebuah revolusi dalam pancaroba, mungkin juga kamu
Untuk menjilati musim bertebaran
Menaburkan awan memori
Di setiap jalanan pelangi
Walau terlindung jauh di pulau tak terlihat
Mengarungi derasnya angin senja membelai
Bersama bahtera menampar gelombang
Air memori pun jadi terpancurkan
Merangkul pantai jiwa yang telah berbuih busa
Sisakan bintang-bintang di tengahnya
Mencumbu memoriku menuju buritan senja
Terbenam di teja kemerahan merekah
Jembatan Tol – Korem – Rumah, 13 Oktober 2001
M. Saifun salakim
Catatan Senja Gelisah
Senja muram dalam haribaan angkasa di barat laut
Mengguratkan selajur catatan kaki di ufuk merah
Merindukan purnama menghiasi senyumannya
Untuk memendarkan kilauan air segara bersepuh emas
Menjelmakanmu
(Semurni mega bermesraan di atas tirta)
Ranjang Peraduan, 16 Oktober 2001
M. Saifun salakim
Kidung Sapu Tangan Merah
Rembulan-rembulan itu pernah
Kita susun menjadi maket cahaya dalam igauan
Di tubir lautan kebersamaan
Dengan pasir dan karang sebagai bahan pembentuknya
Tetapi riak air ke depan menggemuruh pantai
Mensunyisenyapkan dia dalam kidung
sapu tangan merah
Lewat petikan melodi gitarmu
Jalan Sepi, 18 Oktober 2001 (20.20)
(Dipublikasikan di http://www.cybersastra/. Net., 10 Maret 2002)
M. Saifun salakim
Pusara Peraduan Cinta
Angin menyingkap diri dari air laut berlumut
Menanyakan pada sejagat
Masih bersemikah cinta dalam kobaran api,
Got, selokan, lorong-lorong kepengapan hidup,
Serpihan orbit planet,
debu membubul sepatu jalanan kota,
Serta tempat tinggal laksana kembang kertas
(Mereka kecut dalam seringai manis padaku)
Karena mereka tak bisa teriakan yel-yel cinta lagi
Yang dulu mereka busungkan !!!!!!!!
Dalam mekarkan kembang cinta mengepakan keharuman
Telah berderak
Menyisakan serpihan tulang belikat
Di lubuk batu memanjat sirih menguning
(Mereka hanya patung)
Hanya suka bersembunyi dalam kirai
Sambil tubuhnya mencium karpet bumi yang lusuh
Tak berani menatap kebenderangan nurmentari
Angin berlumut pun menjadi telanjang
Di hadapan burung merpati bertengger di atas batu
Yang selalu menyebarkan aroma cinta membubung langit
Serta seantero jalanan benua yang dilalui
Dengan meluruskan paruhnya pada kolam purnama
Memberikan sinyal ketal dalam mereguk air berwarna
Yang merupakan air cinta asli
Ada dalam kerinduan awan memagut raksi
Dan kebeningan kaca dalam mahligai
(Mereka pun jadi terkunci oleh gari cinta adalah pusara)
Jalan Atot Ahmad, 21 Oktober 2001 (09.00)
M. Saifun salakim
Dentingan Gitar Agamis
Betapa merdunya dentingan gitar agamis
Melinukan insting kawat ilalang halus kita
Membeo rumput
Mengaji bintang di tengan langit memerah
Merahnya terasa memeras
Dirasuki oleh kedangkalan rawa-rawa bertebaran
Yang pernah kita injak oleh kaki-kaki kita
Dengan tanah benyainya
Senyapsunyi dalam geretan sampan nelayan
Memacu hari kian menyepi
Nyaris sampai haluan di tepian
Namun kecipak alunan terus menggunungi
punggung kita
Disini kita sudah terpurut
Hilang bentuk dalam supermini petikan kecapi bahari
Di ujung kerlipan suar di sana
Berserobotan imaji-imaji mencucup nanar
Hadirkan sinar kita di menara latah-latahan
Tinggalkan sesaat petikan kecapi
Waktu kita terkubur dari igauan danau lamur
Yang pernah kita arungi
Sampai ke tengah pusaran air bersama
Tenggelamkan kita dalam buih busa diri
Bahwa kita adalah pusaran air berputar ligat
Dengan berhenti di titik aksisnya dalam peraduan
Jalan Apel (Masjid Sirajuddin), 22 Oktober 2001 (20.30)
M. Saifun salakim
M e r a n g k a k
Setengah luka dalam duka meleleh di daun pintu
Mengering pada cairan aluminium kelana
Lalu angin bersiuran pada kalbu berwajah
Merangkul senja merangkak menuju jiwa malam
Hadirkan sinar galaksi sebagai pelita
Atau kegelapan semata yang melingkupi
Evidensi dirinya
Ranjang Peraduan, 28 Oktober 2001 (22.30)
M. Saifun salakim
Bahasa Hujan
Ketika hujan malam lalu
Dapat kupintal menjadi benang
Akan kuikat tulang belulang
Yang berserakan di rimba belantara
Tak pernah diperdulikan
Agar menjadi sejarah manusia
Dengan berdiri monumennya di pencakar langit
Ketika hujan malam lalu
Dapat keseduh menjadi teh panas
Yang telah siap disuguhkan di ruang tamu
Akan kuminumkan
Pada wajah lusuh menengadah langit
Atau wajah kuyu tertunduk maksum
Melubangi batu di tengah samudera bakti
Agar menjadi kenangan kental manusia
Bertelanjang di pusara satelit yang bertebaran
Di sekitar hati bumi
Ketika hujan malam ini
Adalah bahasa sunyi yang dapat kumengerti
Tak heran bintang bisa menjadi rembulan
Dalam menerangi kegelapan pepohonan
Yang tumbang di petak jiwa
Agar manusia menyadari kesenjaan hari
Dibawa larut oleh kemanisan ikan emas
Bermain riang di danau jernih
Hujan malam lalu mendekap erat hujan malam ini
Merupakan kinesik arkais kehidupan
Merangkul mesra serpihan tanah merah
Menjadi bahasa hati kita yang belum terpahami
Ruang Belajar, 31 Oktober 2001 (18.15)
M. Saifun salakim
S a n d a r a n
Bersandar di kursi goyang ketuaan
Angin kebiruan mengepul dari sebatang rokok
Meloloh kue Juliett sebuah kesetiaan
Bersama minuman anggur kenisbian
Mengarak pinta si mata tua cemerlang
Dengan mengayak sungai kedalaman intan terpendam
Yang bertapok dalam busa malam melolong…………
Sandarkan napas tinggal satu dentang jam
Dalam goresan pena melingkar jalinan waktu
Menebarkan puisi yang tak pernah usang
Selalu bercahaya kemilau dalam lautan purnama
Menyungkupi tubuh lusuh menguncup ini
Berkaca di depan cerminan retak
Hanya bertambur bangsal naluri
Bahwa jalanan meniti senja adalah cinta
mata dewa-dewi
Dengan segarnya senyuman kuncup mengembang
Di bidara nirwana
Kamar Sunyi, 6 November 2001 (21.50)
M. Saifun salakim
Cerminan Diri
Hilir semilir angin telapak bergilir
Menyapu seantero tapak pesisir
Membekaskan jejak mutiara yang menyisa
Tertinggal dalam gerimis bernyanyi
Dalam dentingan gitar lorong-lorong kerinduan
Mencekam setiap hari kelabu
Sewaktu kita bersua lewat deburan ombak
Memecah kekerasan tebing jiwa
Mengelus kehalusan cerminan diri
untuk menikmati sisa teja kemerahan
Dalam akuarium bundar di ujung rona
Di sana !!!
Kamar Sunyi, 6 November 2001 (22.25)
M. Saifun salakim
Membedal Kuda Rembang
Seutas tali pecut embun membedal kuda rembang
Berlari kencang menembus kepekatan jiwa semata
Menimbulkan debu berserakan
Yang menempel manja pada padang dan sabana
Di bibir jalanan kita yang terkilau sinar rembulan
Hingga terbit keluhan di sana
Mustikah kembang memekar harus menguncup lagi?
Terkulai
Terkena cipratan derasnya rinai hujan batu
Yang kita ciptakan sendiri
Seutas tali pecut embun membedal kuda rembang
Berlari kencang menembus keunguan sanubari semata
Menghampiri stasiun kehidupan kita,
lengkap peronnya
Seperti mereguk racun beribu episode kehidupan
Untuk menudiskan
Keterlindungan kita di tabir dinding aluminium
Mengembalikannya pada setitik kebekuan terindah
Bahwa membedal kuda rembang adalah bayangan
Sebagian diri kita yang hilang
Tercampak dalam sisa serpihan cerminan retak
Kursi Tamu, 13 November 2001 (15.50)
M. Saifun salakim
Syair Angin Merajut Senja
Pohon cemara yang berguguran masih berbunga rindu
Saat nektarnya merekat ketandusan jiwa ini
Dibawa lari sang camar waktu mengombal buih
Menepis busa kesenduan menggunung
Menuju debu pantai berserakan
Terbengkas oleh meteor dualisme keinginan ini
Anjing belantara rimbun menggonggong tubuh ini
Diserpihkannya di jalanan biru kemauan ini
Dengan tidak menginginkan sepoi-sepoi
basah menemani
Ditiupkan sang angin kesejukan hati
Malahan kunang-kunang berwarna putihlah menjamahnya
Lekatkan selalu dalam gulungan cahaya-Mu
Agar kunang-kunang itu dapat menari lincah
Selincat penari balet memukau rasa
Yang akan kukunyah bersama gambir tuba
Mengentalkan ludahku nian menyatu
Semerah tanah perkuburan baru menjelma
Menjelmakan diri ini berbunga kemboja
berpucuk ilalang
Dikenang dalam akhir bisikan senja
Bergendangkan petir dan kilat sambar menyambar
Dalam melantunkan syair angin merajut senja
Renungan, 18 November 2001 (22.30)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar