Selasa, 24 Juli 2007

Puisi M. Saifun salakim 2001 Bag 2

M. Saifun salakim
Sekuntum Mawar Di Langit Biru
: memori di Pantai Cinta

sekuntum mawar menggepakkan sayapnya
ingin kucium
keharumannya
namun dia jatuh terkulai layu
karena terjangkiti hama wereng

sehingga aku mengkeluhkesahkan intuisi diri
membelasah keharumanmu yang tersisa
walau sudah terpaut di langit biru
dan aku tetap menyesah jelmaanmu memancar
pada saat bulan purnama bersinar terang

Bansir III (PTK), 5 Mei 2001 (17.33)

M. Saifun salakim
Reformasi Negeriku
: untuk pemerhati negeriku

reformasi hanya batok tengkorak
berserakan di jalan negeriku
reformasi hanya tembang payung kebesaran
berada di dalam rumah, menaungi tubuh negeriku
reformasi hanya perisai hujan dahsyat
mendekam di bumi hati tikus-tikus negeriku
reformasi hanya permainan sulap
meninabobokan kelinci putih negeriku

tak ingin
indah negeriku hanya batok tengkorak
aman negeriku hanya tameng payung kebesaran
damai negeriku hanya perisai hujan dahsyat
tenteram negeriku hanya permainan sulap

yang diinginkan
reformasi negeriku membuka tabir kabut
yang melingkupinya dengan menguak bulan purnama

Jalan Atot Ahmad, 7 Mei 2001 (11.00)

(Dipublikasikan di Akcaya Pontianak Post, 2000)

M. Saifun salakim
Elegi Bumi Tercinta

Taman bumi yang indah
Kamu kencingi menjadi pucat layu
Dengan air manismu yang berbisa
Yang Kamu namakan keadilan

Pohon bumi yang berbuah lebat
Kamu suntik dengan DDT mengenaskan
Menjadi kerdil berbau busuk
Dengan serummu yang mengharum
Yang Kamu namakan kebenaran

Kesuburan padi yang menguning
Di musim kebahagiaan
Karena kamu sebarkan benih-benih
Pasilan dan belalang sangit
Yang menggerogotinya
Dengan memunculkan musim tuarang jauh
Yang kamu namakan kedamaian

Itukah sebuah keadilah?
Di atas tumpukan-tumpukan jerami kering
Di atas jejeran ilalang merantai
Di atas ceceran kesumba yang menangis
Di atas berserakan tulang belulang terbuang percuma
Dan turunnya salju setiap hari

Itukah sebuah kebenaran?
Tersimpan dalam tembok megah
Tersimpan dalam brankas pemain sulap
Terdapat di tebing batu merintih
Dan tersimpan dalam inti kerak bumi
yang menggumpal
Itukah sebuah kedamaian?
Di dalam jiwa yang dihantui mimpi buruk
Di dalam tidur yang tak nyenyak
Di dalam naluri kesetanan
Di dalam kehausan yang merajalela
Dan mendobrakkan pintu yang menggelegar
Terkapar
Mendirikan bulu kuduk
Rasa haru dan rasa ngeri memadu

Sang bumi kian menyesak
Menyesali
Membiarkan kamu bebas berkeliaran di atasnya
Dengan bangga
Dan sang jalanan kian melekang
Terus mengisolir namamu
Karena tak ada kesungguhan dari janjimu
Karena tak ada ketepatan dari sumpahmu

Gelap. Buta. Pekat.
Yang dirasakan bumi oleh ulahmu

Akankah semua terus begini?

Jalan Atot Ahmad, 20 Mei 2001 (14.20)

(Dipublikasikan di Antologi Bianglala 2001)

M. Saifun salakim
Sayap-Sayap Malaikat Jibril

Sayap-sayap malaikat jibril
Mengitari buana yang mengaca dirinya
Menembusi alam demi alam menuju kulminasi
Nyaris hangus membakari tubuh mulusnya
Oleh api kemaslahatan mengingkar
Oleh sinar inti atom berwajah seribu
Kalau tidak diselamatkan burung Ababil
Dengan melemparkan sayap-sayap malaikat jibril
Ke dalam telaga bening Al Kautsar
Yang meninggalkan sisa-sisa ujud sepotong kalbu
Laa illaha illa allahu

Jalan Atot Ahmad, 21 Mei 2001 (17.23)

M. Saifun salakim
Rahasia Merah Putih

Begitu gelapkah negeriku?
Bila melepaskan burung merpati jinak
Tidak bisa pulang ke sangkarnya
Salah sasar, tersesat, merana

Begitu keringkah negeriku?
Bila membuka tabir jendela
Menyingkap ventilasi udara
Tidak mendapatkan angin kesejukan
Malahan panas menyengat
Membakar, hangus tiada bersisa
Meninggalkan puing-puing pilar abu

Tidak mungkin begini gelap, kering, dan panas
Dalam negeriku
Malahan menjadi terang, subur, dan sejuk
Bila sekiranya merah dijadikan jaksa
Putih dijadikan hakim
Dan merah putih adalah hasil keputusannya

Jalan Atot Ahmad, 24 Mei 2001 (15.20)

M. Saifun salakim
Memeluk Cahaya

Dalam hamparan kersik putih kumparan kalam
Mengguratkan sketsa kerucut diri
pada tanah keemasan
Memunculkan relief teratak insan madani
Dengan memeluk cahaya fajar dan senja kala
yang terindah

Jalan Atot Ahmad, 30 Mei 2001 (11.00)

M. Saifun salakim
Peraduan Urat Nadi

Ku rengkah batu di dasar samudera jiwa
Hingga memuncratkan air
Hingga menaburkan kembang api
Hingga mengembangkan tarian angin
Hingga menggayakan dendang tanah

Ku reguk, berlepotan
Ku telan, serampangan
Ku isap, keindahan
Ku serap, kesejukan

Dalam hening peraduan urat nadi kehidupan
Menyingkap ujudku sebenarnya
Saksama !!!!!!!

Jalan Atot Ahmad, 25 Juli 2001 (20.30)

M. Saifun salakim
Bulan Menguak Pelangi

Bulan putih bersujud di peraduan langit biru
Tatakan jiwa tingkat teratas mencuatkan taringnya
Mengorak tujuh cahaya pelangi bersemburan

Merah menjernihkan mata cinta kasih
Jingga menormalkan hidung cinta kasih
Kuning menerangkan telinga cinta kasih
Hijau membersihkan mulut cinta kasih
Biru memuluskan kulit cinta kasih
Ungu membeningkan hati cinta kasih
Putih mengilaukan sinar mendekam, ujud tiada

Ku pun rela melintasi enam cahaya pelangi
Berbajukan mutiara kumalan
Berkeretakan kencana satu
Terpatri merundukkan keaslian
Kenaliku yang hakiki
Untuk ungkapkan cahaya putih ratu

Kurela mencium tiang bertanda dua
Dengan rumput hijaunya memanah
napasku bolong
Bahkan akan terbakar dan hangus bersamanya
Demi putih yang hiasi mata jiwaku bagian dalam
Dengan kuikhlaskan raga selamanya
Karena putih adalah tujuan hidupku

Jalan Atot Ahmad, 20 Agustus 2001 (22.45)

M. Saifun salakim
Menyelam Mutiara Di Dasar Bahari

Tetes embun mengerang napas lurus mengeras
Menggelinding memecahkan batu granit kelam
Tenggelam di palung bahari

Rela tidak ku tiada
Tiada ada lebam pelangi mataku
Akuku
Cuma satu membului
Satu ku maui

Lautan karang tengah bahari meliuri kekuatanku
Melumuti tubuhku coklat dengan kehijauan
Menempelkannya
Di terumbu karang samudera jiwaku terdalam

Ku segara yang membatu
Ku lautan yang membeku
Ku batu yang menyegerakan renik air berkecipak
Ku beku yang melaut

Menyelami intan mutiara dasar bahari
Ku akan bawa pulang sebagai makananku sehari-hari

Jalan Atot Ahmad, 20 Agustus 2001 (24.45)

M. Saifun salakim
P e n g e m b a r a

Pengembara mencari sahabat sejatinya
Di tanah, tiada jejaknya
Di bumi, tiada bentuknya
Di langit, tiada kelihatan

Lelah tidak, dia mencari
Di angin, tiada ujudnya
Di lautan, tiada bayangannya
Di hutan, tiada gaungannya

Di ujung rembulan
Pengembara baru menemukan separuh
Sahabat sejatinya
Suatu kepedulian : keindahan rasa
Selebihnya akan dijumpainya
Sahabat sejatinya itu
Yang menunggunya
Di peraduannya terakhir

Korem, 22 Agustus 2001 (20.33)

(Dipublikasikan di Harian Kapuas Post, 2001)

M. Saifun salakim
Puisi Yang Terindah Dan Terkental

Kutuliskan sederet puisi ini
Memakai tinta tauhid dengan kalam makrifat
Dalam dentuman guntur menggelegar
Dalam deruan badai menggila
Dalam amukan gelombang tsunami
Tidak tercecer satu pun bait-baitnya

Keindahan tersimpan dalam pokok kesturi : ibadah

Dan kujuga lantunkan sekepalan syair puisi ini
Menggunakan lagu syariat dengan iramat tarekat
Di hening burung dalam kicauan peraduan
Di syahdunya tumbuhan dalam tafakur zikirnya
Di diamnya manusia dalam tapal batas penantian
Tidak terabaikan satu pun not-notnya

Kekentalan diri terpusat dalam lemak susu : iman

Jalan Atot Ahmad, 22 Agustus 2001 (20.40)

M. Saifun salakim
S u j u d M a l a m

Malam merenggut kemolekan bintang
Yang bertaburan cahaya kemilau melepah
Menyerap tetes-tetes tangisan insan
Dengan mulianya tafakur hamba bertahta
Mengaca malu pada kesilafan diri di tajuk kalbu
Di lamparan sepucuk tikar lusuh kebaktian
Pada-Mu jua

Jalan Atot Ahmad, 23 Agustus 2001 (21.30)

M. Saifun salakim
Keharuman Melati Sekuntum

Melati sekuntum
Kubaru tahu sosokmu
Kuncup sekuntum sebelum bunga sekembang
Di kala kuingin meresapi kewangianmu

Namun, akan ikhlas kuterima kamu seadanya
Asalkan kuncup sekuntummu tetap satu kelopakku
Asalkan keharumannya tetap satu wadahku
Karena, kusudah tidak mau lagi
Keharumanmu dicium hewan sekecil apapun

Keharumanmu hanya milikku selamanya !!!!!!!!!!!!!!!!!

Kamar Sunyi (PTK), 24 Agustus 2001 (22.00)

M. Saifun salakim
Menapak Waktu

Kutapaki keluasan waktu berlari
Di langit kebiruan ragamu memancar
Dalam selimut timbunan kabut perjalanan
merenda kata-kata
Kamu memberikan aku
Setitik kelembutan embun di kecemerlangan
fajar renda
Mentari yang mengejar harapan
Namun aku hanya sekali bilang
Waktunya sungguh terlalu sepat

Jalan Atot Ahmad, 25 Agustus 2001 (22.45)

M. Saifun salakim
Memberikan Makna Kehidupan

Gemerisik angin menggantung asa di bumi
Mengantarkan nelayan melaut
Bahtera pun melancar
Ketika bintang memeluk kecipak
Gelombang yang pekat meremah kehidupan

Seorang nelayan bersamaku berdendang sampan
Yang berasal dari pusaran titik air
Menyambi hidup yang bertumpu di pergolakan
air mengental
Menangkap hewan laut dalam lautan siput
Untuk memberikan makna kehidupan
di masa mendatang

Ruang Dosen (PTK), 27 Agustus 2001 (09.00)

M. Saifun salakim
Buku Tidak Bertanggal, Berbulan, Dan Bertahun

Kabut hijau melintasi dinding beton bersalju
Mencari buku yang tidak bertanggal, berbulan,
dan tidak bertahun
dalam dinding megah semakin tua
yang didapatkannya cuma sosok gadis kecil terpaku
di kedinginan dinding salju
membeku

Paris I (PTK), 29 Agustus 2001 (08.55)

M. Saifun salakim
Bulan Memerah Di Dalam Akuarium

Bulan memerah di dalam akuarium
Melambai kita untuk diajak bercerita
Tentang segala derita, duka,
dan kehidupan yang distorsi
namun kita diam membatu
walaupun bulan memerah sampai
memecahkan kaca akuarium
meninggalkan luka
kita masih diam tak bisa berkata

bulan memerah di dalam akuarium
mengajak kita mengarungi arus sungai yang deras
supaya sampai ke delta
tetapi kita tidak tahu berenang
akhirnya kita hanya terpaku
dengan kebanggaan di kerah dada
walaupun masih tidak bisa berbuat apa-apa

bulan memerah di dalam akuarium
tidak mau mengajak kita lagi
karena kita merupakan patung dan besi

bulan memerah di dalam akuarium
akhirnya hanya menantikan air untuk diajak
bercengkerama dalam segala hal
karena air merupakan teman yang paling setia

Perjalanan, 29 Agustus 2001 (10.30)

(Dipublikasikan di Antologi Bianglala, Oktober 2001)

M. Saifun salakim
Kaca Spion Lukaku

Kulihat kaca spion di sepeda motor Mio
Dengan labelan merek diriku luka biru
Lukaku sudah milik siapa

Emperan jalan lima di lalu lalang biskota
Penjaja asongan menawarkan jasa kalbu
Siapa yang miliki lukaku sudah kekuningan
Milik diakah lukaku atau siapa lukaku dimilikinya

Hanya kekokohan kaca spion luka mengangaku
Tahu luka percikan belingku berkaca-kaca
Menyuruh aku betul-betul mengaca lukaku
Di bayangannya seribu pesona pancarkan rasa

Hingga aku betul-betul menemukan lukaku
Tersenyum menghias pita kembang bintang
Menghiasi cinta
Di atas rembulan rundupan
Dalam lingkaran komet melata rata

Jalan Atot Ahmad, 1 September 2001 (22.25)

M. Saifun salakim
Padang Tiada Tumbuhan

Inri menengadah
Membasahi tepian bibir tanah
Mengeraskan keinginan
Untuk melakukan perjalanan jauh
Di tapal batas penantian dan pertemuan
Menemui kekasihnya yang paling setia
Dalam mendapatkan kembang mewangi
atau bunga rafflesia
di padang tiada tumbuhan

Jalan Atot Ahmad, 3 September 2001 (07.45)

(Dipublikasikan di Surat Kabar Kapuas Post, 2001)

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...