Oleh : M. Saifun salakim
Jalanan masih lengang. Hanya sesekali nyanyian sepeda motor Cina-Cina penjual yang mengusik keenakan pagi. Pagi yang masih enak meringkuk. Matanya sipit dibilas kabut. Embun tentunya masih segar duduk mencangkung terkantuk-kantuk. Kepalanya terangguk-angguk menyentuh dedaunan hijau.
Aku mencandai mereka. Sehingga kaget terjaga. Aku keluar menggenjot BMW kusam dengan membawa muatan koran di palang depan. Melintasi rumah sakit Agoesdjam. Tepat di rumah sakit kumasukan koran pagi lewat loket yang masih terpaku bisu. Tersenyum ia setengan malu-malu. Ia sendiri yang barusan terbangun, yang lainnya masih asyik dengan khayalannya.
Lalu kuterus berlalu mengantarkan koran pagi pada langgananku. Terdapat sepanjang lintasan Jalan Soeprapto. Kemudian berputar di tugu Ale-Ale. Tugu kebanggaan masyarakat Kota Kayong. Di bagian kanan jalan ada pos polisi. Koran pagi kuletakan di loket panjang pos itu. Ku pun terus menggenjot BMW kusam melintasi Pawan Tol.
Berangsur-angsur alam pun mulai membuka selimutnya. Halimun mulai memudar. Pelan-pelan mentari mulai memancarkan pesonanya. Orang-orang mulai bermunculan. Melakukan aktivitas kerjanya. Pegawai pergi ke kantornya. Ibu rumah tangga pergi ke pasar, berbelanja. Sebagian anak sekolah mulai menuju sekolahnya. Menuntut ilmu demi kehidupan masa depan. Pokoknya semua orang pergi ke tempat tugasnya masing-masing.
Saat melintasi tugu perempatan Kampung Kauman. BMW kusamku menabrak sesuatu. Apa ya? Rupanya sebuah dompet berwarna coklat tua masih kelihatan gembung. Mungkin isinya banyak.
Kusempat meragu. Tinggalkan saja ah, biar orang lain saja yang menemukan. Tapi kalau ditemukan orang yang benar, dompet ini pasti akan diberikan pada pemiliknya. Masih adakah orang seperti itu di zaman sekarang ini yang serba materialistis? Kalau yang menemukannya orang tidak benar. Bisa raiblah isinya. Paling kembali pada pemiliknya hanya dompetnya doang.
Wah, gimana ya? Tanyaku pada jiwa.
Ah, sudahlah. Aku ambil sajalah dompet ini. Nantikan aku titipkan pada Om Yusman untuk memberikannya pada pemilik sah. Dompet yang tergeletak segera kupungut. Lalu kumenggenjot BMW kusam ke rumah Pak Samin. Langgananku terakhir.
Di depan pintu rumah Pak Samin, kusudah ditunggu pembantu rumahnya. Rajin sekali bangun pagi.
“Bi, korannya!” seruku mengulurkan koran itu.
“Ya, Nak Rif,” sahut pembantu itu lalu menyambut koran yang kusodorkan.
Selanjutnya kuberlalu memutar haluan. Pulang ke rumah. Kugenjot BMW kusam dengan kencangnya biar tidak ketinggalan sekolah. Keringat jatuh berderai membasahi baju, sudah biasa. Itulah keringat kebanggaan demi sebuah penghidupan.
Pelajaran Bahasa kali ini, kutidak enerjik. Habis ingatanku selalu membayangkan dompet yang kutemukan. Mau kubuka, takut. Karena aku tidak boleh mengetahui kepunyaan orang lain.
Ketidakkonsenanku diketahui Ibu Fadil, lengkapnya Dra. Fadilah. Guru bahasaku. Guruku yang baik hati. Ia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Habis waktu bersama ayah, aku sudah tidak punya ibu lagi. Ibuku sudah tiada sejak aku masih merah. Masih belum tahu apa-apa dan kejadian-kejadian di sekitarku.
Waktu mendaftar masuk sekolah itu, kukenal dengan Ibu Fadil yang baik hati. Ia penuh perhatian dan memberikan kasih sayangnya padaku. Layak anaknya sendiri. Kedekatanku dengan Ibu Fadil menimbulkan bahan irian teman-teman.
Alhamdulillah, masih ada segelintir teman-teman sekolahku yang memakluminya. Setelah mereka mengetahui diriku yang tidak punya orang tua lagi. Sudah sewajarnya aku membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Sampai-sampai aku mendapatkan gelaran anak Ibu Fadil. Aku cuek saja.
“Rif, kenapa kamu hari ini? Kurang anak badan atau sakit ya?” kata Ibu Fadil, mendekat ke arah bangkuku. Begitu perhatian Ibu Fadil denganku.
“Tidak kok, Bu,” jawabku.
“Kenapa kamu tidak enerjik dengan pelajaran ini. Padahal pelajaran Bahasa adalah pelajaran kesenanganmu. Atau kamu punya masalah!” bujuk Ibu Fadil.
“Tidak kok, Bu,” jawabku.
“Bu,. Rifki tidak semangat hari, ini sebab tiap hari dia makan pisang. Mana mau semangat. Kalau makanannya yang lembek-lembek. Rifki baru bisa bersemangat jika Rifki makan makanan bergizi. Makan anggur, makan roti, dan minum susu setiap hari. Ditanggung bersemangat ekstra jos, Bu,” celetuk Tika.
Seisi kelas jadi ribut semua. Ketawaan.
“Diam Tika. Kalau Ibu lagi berbicara jangan ada yang menyeletuk. Ibu tidak suka. Kalau ada orang menyela pembicaraan. Biasakan selagi orang berbicara jangan nyeletuk. Belajarlah menghargai orang lain. Sekali lagi kamu berani nyeletuk seperti ini akan ibu keluarkan kamu dari ruangan ini. Semuanya coba diam. Tenang,” kata Ibu Fadil. Matanya tajam menembus ubun-ubun Artika.
Seketika ruangan pun tenang kembali. Artika terdiam. Takut melawan kegarangan Ibu Fadil.
“Bu, boleh saya istirahat di UKS?” pintaku tiba-tiba. Mendadak saja kepalaku menjadi sakit. Berdenyut-denyut semakin mengeras saja.
“Tadi katanya tidak sakit. Sekarang malah minta istirahat di UKS. Yang mana benarnya?” kata Ibu Fadil.
“Tadi memang tidak sakit bu. Tetapi tiba-tiba saja kepalaku pusing mendadak. Bolehkah bu saya istirahat di UKS?”
“Boleh. Baiklah. Novi, kamu antar Rifki ke ruang UKS!” suruh Ibu Fadil pada Noviani.
“Ya, Bu,” jawab Noviani bersemangat. Habis dia ada sukanya dengan Rifki. Kesempatan. Selain itu Noviani juga anggota pengelola UKS dan anggota PMR. Cocok sekali Ibu Fadil menyuruhnya. Karena sesuai dengan keahlian Noviani.
“Alasan saja!” sinis Rinka Nasution.
Si Kenes akhirnya buka suara merdunya. Mulutnya kelihatan muncung ke atas. Ingin rasanya kuiris mulut usilnya itu. Lalu kubuang mulutnya ke dalam tong sampah. Habis setiap ada persoalan denganku, dia terus saja berkata sinis. Memangnya ada apa dengannya? Kalah bersaingkah dia dengan Noviani? Kalau betul. Bersyukurlah aku diperebutkan oleh gadis cantik kelas ini. Tapi, kalau bukan itu. Berarti aku ke Gran. Ah, tidak! Cuma sedikit terkaan saja. Ada-ada saja pemikiranku. Untuk apa mempermasalahkannya. Biarkan saja.
“Kamu ada apa Rin? Kok, kamu bilang alasan saja. Apa maksudnya?” kata Ibu Fadil mendekati Rinka Nasution.
“Maksudnya Bu. Rifki hanya menari alasan saja. Pura-pura sakit dan ingin minta istirahat di UKS. Kebetulan Ibu menyuruh Novi mengantarnya. Gayung bersambut itu. Sebenarnya Rifki hanya ingin ditemani Novi. Ingin berdua dengan Novi di ruang UKS. Biar leluasa bercanda tawa. Enak kan!”
Noviani memerah mukanya mendengarkan pembicaraan Rinka Nasution. Apalagi itu diucapkan di depan semua teman sekelasnya. Malu rasanya dirinya. Tapi Voniani juga senang. Kalau sebenarnya apa yang dikatakan Rinka Nasution mengenai Rifki benar adanya. Yang selalu ingin ditemani olehnya. Berarti Rifki ada perhatian sama dia.
Namun hal itu ditepisnya. Malah rasa malu yang memberatinya. Ingin rasanya dilabraknya Rinka Nasution yang telah lancang berkata begitu. Aku sih tenang saja mendengarkan pembicaraan Rinka Nasution. Karena aku sudah biasa mendengarkan pembicaraan macam itu dari mulutnya.
“Rinka, kenapa kamu permasalahkan hal begitu? Hal mengenai Rifki. Bukankan itu bukan urusanmu.”
“Memang sih Bu, itu bukan urusan saya. Tapi saya tidak suka melihat hal-hal yang berbau kehipokritan atau kepura-puraan.”
Ibu Fadil memakluminya. Aku cepat-cepat menyikut bahu Noviani. Memberikan isyarat agar cepat-cepat ke UKS. Habis Noviani masih terus saja terpaku dan menatap garang ke Rinka Nasution. Mungkin dalam benaknya akan membalas perlakuan Rinka Nasution yang telah membuat malu dirinya. Noviani cepat tersadar dan mulai tanggap dengan arti isyarat yang kuberikan. Dia dengan cepatnya membawaku ke ruang UKS.
“He Rifki, ada apa ini? pasti kamu mencari Om Yusman ya?” sapa Om Satuhi, penjaga loket depan Pos Kepolisian Simpang Ale-Ale. Dia duduk di bagian depan. Sebelum berurusan dengan polisi lain, tamu yang datang harus melapor dulu kepada penjaga loket depan. Setelah itu barulah si tamu menuju polisi yang diinginkannya.
“Betul sekali Om Tuhi. Om Yusmannya ada?” jawabku balik bertanya. Aku duduk mendekatinya. Duduk di samping kirinya.
“Dianya lagi ada tamu. Tunggu saja kira sepuluh menit lagi. urusannya pasti akan selesai.,” jelaskannya.
“Yalah, Om Tuhi. Saya akan menunggunya,” jawabku polos. Sambil menunggu Om Yusman menyelesaikan urusannya dan menunggu tamu Om Yusman keluar, aku asyik ngobrol dengan Om Satuhi. Kemudian aku melihat tamunya Om Yusman sudah keluar dari ruangan. Aku pamit pada Om Satuhi. Aku segera menuju ruang Om Yusman. Melihat aku yang datang Om Yusman menyuruhku masuk dan mempersilakan aku duduk di dekatnya.
“Rif, kamu baru pulang sekolah ya?” tanya Om Yusman.
“Iya Om.”
“Kamu sudah makan?”
“Belum Om,” jawabku jujur.
“Kalau begitu kebetulan sekali. Om Juga ingin makan siang. Mari kita makan siang bersama, ke rumah Om saja. Karena ini pun pas jam istirahat makan.”
“Tapi Om, ada....”
“Ada apa lagi Rif?” potong Om Yusman pada pembicaraanku.
“Aku ingin memberikan barang temuan yang bukan milikku, Om. Barang itu aku temukan di jalan Kampung Kauman. Aku ingin Om menyerahkan barang yang kutemukan ini pada pemiliknya yang sah.”
“Nanti sajalah, kamu memberikan barang itu. Barang itu bisa saja kamu berikan di rumah. Sekarang mari kita makan siang dulu,” ajak Om Yusman.
“Tapi Om!”
“Ada apa lagi Rif?”
“BMW kusamku ini bagaimana?”
“BMW kusammu itu titipkan saja disini dengan Om Satuhi untuk menjaganya. Ditanggung tidak hilang. Kita kan hanya sebentar saja. Setelah makan siang, kita kan akan kembali lagi kesini,” kata Om Yusman sembari menuju ke halaman parkir kendaraan.
Aku mengikuti langkahnya dengan perasaan senang. Sebab satu urusan yang membuat aku serba salah sudah kuselesaikan.
Selesai makan siang di rumah Om Yusman. Barang yang kutemukan itu segera kuserahkan padanya. Om Yusman menerimanya dengan senang hati. Setelah dia memeriksanya barangnya masih utuh dan nama pemiliknya ada tertera di Kartu Tanda Penduduk, yang terdapat dalam dompet warna kecoklatan itu.
Inikan dompet Ibu yang barusan melapor tadi.. Kebetulan sekali. Barangnya sudah dapat ditemukan. Berarti kami tidak repot-repot untuk mencarinya lagi.
Om Yusman menelepon nama pemilik dompet warna kecoklatan ini. Om Yusman memberitahukan bahwa barangnya yang hilang sudah ditemukan dan pemiliknya boleh mengambil barangnya di ruang kantor Kepolisian Simpang Ale-Ale. Kantor Yusman. Selesai menelepon Om Yusman mengajakku kembali lagi ke pos kepolisian Simpang Empat Tugu Ale-Ale.
Di Pos polisi Simpang Empat Tugu Ale-Ale, aku mulai pamit pulang tetapi dicegah Om Yusman.
“Rif, kita masuk dulu ke ruang kantorku,.”
Rupanya aku ingin ditemukan Om Yusman dengan pemilik dompet itu. Aku tidak bisa membantahnya. Mengikuti apa yang diinginkan Om Yusman. Sebentar kami berada dalam ruang kantor Om Yusman. Seorang ibu memasuki ruang kantor Om Yusman. Ibu itu dipersilakan Om Yusman duduk di sampingku.
“Bu Muktazi, betulkah ini dompet ibu yang hilang?” tanya Om Yusman pada Ibu Muktazilah untuk memastikan sembari dia menunjukkan sebuah dompet.
Dengan wajah cerah dan segar si ibu memperhatikan dompet yang ditunjukkan Om Yusman. Senyuman manisnya mulai mengembang dengan hangatnya.
“Betul sekali Pak Polisi. Itu benar dompet saya yang hilang,” jawab Ibu Muktazilah.
“Kalau memang ini dompet ibu. Ini ambillah dompetnya. Silakan diperiksa apakah isinya masih utuh?” kata Om Yusman menyerahkan dompet itu.
Ibu Muktazilah menerimanya dengan senang. Dia mulai memeriksanya. Semuanya masih utuh atau komplit. Tidak ada yang hilang barang yang ada dalam dompetnya.
Sebagai ungkapan terima kasihnya, dia ingin memberikan imbalan ala kadarnya. Dia mengeluarkan uang sebesar Rp. 500.000. Lalu uang itu diserahkannya pada Om Yusman.
“Maaf ya Bu Muktazi, saya tidak berhak menerima uang itu. Saya murni menolong ibu,” tolak Om Yusman dengan halus.
“Maaf ya Pak, bukan saya mau menyogok. Bukan begitu. Uang ini saya berikan pada Bapak sebagai ungkapan terima kasih saya. Sebab bapak telah membantu saya menemukan dompet ini. Ini Pak, ambillah uangnya saya mohon,” kata Ibu Muktazilah tetap menyodorkan uang tersebut.
“Sebentar Bu. Kalau memang ibu ingin memberikan uang itu sebagai ungkapan terima kasih pada orang yang menemukannya. Sebaiknya ibu berikan pada dia. Dialah orang menemukan dompet ibu. Dialah orang yang tepat menerima pemberian ibu,” tunjuk Om Yusman padaku yang duduk di samping si ibu.
“Oh, dia yang menemukannya,” kata Ibu Muktazilah menoleh ke arah sampingnya. Melihat diriku.
“Terima kasih ya, Nak. Ini saya serahkan uang atas ungkapan terima kasih atas pertolongan anak menemukan dompet saya,” kata Ibu Muktazilah lemah lembut.
Aku terpaku sejenak melihat uang tersebut. Karena belum pernah aku melihat uang sebesar itu. Sebentar aku sudah menenangkan hatiku. Bahwa pertolonganku atas nama Allah dan tanpa pamrih tidak boleh dicemari dengan hal sepele begini.
“Terimalah Nak!” rengek si ibu terus menyodorkan uang itu.
“Maaf ya Bu, aku tidak bisa menerima pemberian ini. Sebab saya memberikan dompet ini kepada pemiliknya dengan ikhlas karena Allah taala, bukan karena ingin diberikan imbalan. Maaf ya Bu, sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak bisa menerima pemberian ini. Maafkan saya mungkin mengecewakan ibu,” kataku dengan diplomatisnya.
“Tapi Nak, ini bukanlah sebuah imbalan. Ini adalah sebuah rezeki untukmu.”
“Sama saja Bu. Sekali lagi Bu, saya tidak bisa menerimanya,” tegasku.
“Baiklah Nak. Kalau memang kamu tidak mau menerima pemberian ini. Kamu masih tegar dengan kejujuran. Ibu bangga berjumpa denganmu. Dan Bangga sekali kalau orang tua punya anak seperti kamu. Sebelum Ibu pergi boleh tidak ibu memelukmu sebagai ungkapan terima kasih atas pertolonganmu,” kata Ibu Muktazilah mengalah. Uang yang telah disodorkannya dimasukkannya kembali dalam tasnya.
Aku masih mempertimbangkan permintaannya. Tapi apa salahnya meluluskan permintaan yang terakhir ini.
“Silakan Bu,” jawabku dengan senyum terkembang.
Ibu Muktazilah memelukku dengan hangatnya seperti memeluk anaknya sendiri. Kepalaku diusapnya dengan penuh kasih sayang.
“Anak yang baik hati semoga kamu menjadi orang yang sukses,” katanya lirih.
Kemudian dia mencium keningku dengan lembutnya. Setelah itu dia pun meninggalkan ruang kantor Om Yusman.
Aku hanya terlena mendapat belaian kasih sayang sejenak itu. Seakan ibuku yang melakukan itu. Ibuku yang selalu kukasihi dan kusayangi.
Ketapang City, Juni 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar