Oleh : M.Saifun salakim
“Para pendengar setia Diah Rosanti. Malam ini di gelombang yang sama. Kita akan sama mengudara dalam lamunan untaian puisi yang begitu indah dan ceria di acara Kontak Sastrawan. Sebentar lagi kita akan sama-sama mendengarkan lantunan puisi tersebut, yang akan dibacakan sastrawan muda yang menjadi tamu kita kali ini. Bagi para pendengar yang ingin menanyakan hal-hal penting, langsung saja bercuap-cuap dengannya di saluran telepon 581240. Kalian bebas mengobrol dengannya. Sebelum acaranya dimulai, bagi pendengar Diah Rosanti akan kami hibur dengan sebuah lagu “To Love Somebody”.
Musiknya lalu menghentak. Lagunya mengumandang dengan gagahnya di telinga-telinga yang saat ini membuka channel tersebut. Begitu sayup-sayup angin berhembus dan merdunya burung berkicau mengilau keindahan perasaan. Terbawa alunan mengenang kenangan masa silam dalam goresan tinta berkasih sayang. Lagi enak memadu asmara dengan yang diistimewakan. Apalagi ditambah memori daun rembulan yang mengukir sesuatu kesan, tak pernah dilupakan dalam siklus zaman. Melekat selalu.
Tia tetap belum beranjak dari radionya. Ia lagi asyik mendengarkan lagu To Love Somebody sambil menantikan acara Kontak Sastrawan. Salah satu acara radio yang memang digemarinya.
Kalau pas malam mengudaranya acara tersebut, Tia sudah bersiap-siap sedari awal. Telepon sudah dipersiapkannya tidak jauh dari jangkauannya. Cepat diraih, begitu. Bisa ekspres mengontak sastrawan yang bicara. Snack juga telah disediakannya sebagai temannya untuk menghabiskan waktu merengkuh puncak dari acara Kontak Sastrawan sampai tuntas. Karena kalau mengenai bidang yang berkaitan dengan puisi, cerpen, dan yang berbau sastra, ia memang doyan dan gemar. Walau sampai saat ini, ia belum bisa menghasilkan sebuah karya sastra. Maksud hati ingin juga ia seperti mereka yang bisa menghasilkan karya sastra, dan bisa membacakannya dengan baik pula. Namun itu, baru hanya sebatas sindiran angin berlalu menggoyang pohon rumbia di tepian pantai kemolekan.
“Bagi para pendengar setia Diah Rosanti yang masih betah di tempat mangkalnya. Masih kongkow-kongkow di meja kepedulian. Masih setia menantikan acara kegemarannya, yaitu Kontak Sastrawan maka kini tibalah saatnya kita mengudara di acara yang anda tunggu-tunggu. Kontak Sastrawan. Tamu kita kali ini adalah seorang sastrawan muda yang baru saja mengorbitkan namanya. Hasil karyanya sudah pernah dibukukan di antologi Manis Berlipat. Inilah ia sang sastrawan itu, dengarkanlah suaranya dalam lantunan puisinya,” suara operator menghilang.
Lalu yang terdengar kini suara sastrawan muda membacakan puisinya Kau Menjadikan Aku: renungan di jalan itikaf sebagai salam perkenalannya.
Kau kuntum berduri tetapi mawar
Kau racun mematikan tetapi madu
Kau gubuk bambu tetapi hotel
berbintang tujuh
Kau menjadikan aku
Hati sebuah masjid
Bla……..Bla………..
~oOo~
Memecah dentingan kesunyian malam mencekam dalam tampuk mahkotanya. Kesyahduan berdendang di orbit kegemerlapan taburan bintang berserakan. Orang yang tidak suka mendengarkan puisi. Kali ini malah merapatkan petikan kecapi pendengarannya di depan radio.
“Ini dia baru puisi menantang,” seru Tia gembira.
“Lantunannya bagus dan maknanya sungguh membuat aku penasaran untuk mengungkapkannya, karena bahasanya sulit ditebak. Membuat aku geregetan.”
Kkkkkkkkkkkkrrrrrrrrriiiiiiiiiinggggg…….
Bunyi telepon di radio Diah Rosanti berdering.
“Hallo……” perkeras suara dari kejauhan.
“Hallo juga. Ini dari siapa ya?”
“Ini dari Marcella.”
“Dari Mbak Marcella. Oke, mau nanya tentang apa?”
“Apa aku boleh tahu nama anda?”
“Boleh saja begitu. Tidak ada yang melarang, kok.”
“Kalam tidak pakai embel-embel.”
“Nama yang simpel. Kalau tidak salah Kalam itu berarti pena atau alat tulisan. Apakah nama anda ada kaitan dengan hal tersebut?”
“Tentu saja, Mbak Marcella. Karena jiwanya dari penulis adalah pena. Tanpa pena seorang penulis tak bisa menguraikan apa yang ada dalam selokan imajinasinya. Pena bagi seorang penulis juga punya arti sebagai pendorong penulis untuk terus berkarya dalam menghasilkan tulisannya yang bagus.”
“Bung Kalam, dalam menghasilkan karya sastra, apakah anda punya kiat atau landasan dalam menulis?”
“Tentu ada, Mbak. Karena kiat itu menuntun kita dalam menulis agar dapat terarah dan menghasilkan tulisan the best begitu. Kiat yang aku gunakan waktu itu, pertama adalah berlatih terus menerus dalam menulis dengan tak ada rasa jemunya. Kedua, supaya karyaku bagus maka aku perlu kritikan dari orang lain yang memang pakar dalam bidang tersebut. Tentunya tukar pikiran adalah dengan sastrawan tua yang sudah punya nama. Hingga hasil karya kita dapat diperhitungkan juga. Ketiga, dalam menambah wawasan mengenai bidang tersebut, aku banyak belajar dengan membaca karya orang lain. Bukan berarti untuk menjiplak, tetapi hanya untuk menambah wawasan saja.”
“Oh, begitu. Bung Kalam, dari percakapan anda, kok anda tak menyebut diri anda sebagai sastrawan malahan hanya penulis. Itu, aku rasakan aneh. Padahal yang aku tahu banyak orang dengan karya yang sedikit, ia sudah menganggap dan mencap dirinya sastrawan, tapi anda tidak. Mengapa ya? Pasti anda punya alasannya.”
“Karena aku belum sepenuhnya memahami kedalaman lautan bidang sastra, masih dalam tahap belajar. Masih perlu belajar tekun untuk mendalamkannya agar betul-betul dalam. Oleh karena itu, aku tak ingin bahwa sesuatu yang belum sepenuhnya kupahami dan kumengerti sudah aku banggakan, lebih baik biasa saja. Oh ya, Mbak Marcella ditinggal dulu ya, karena mau menyambut telepon yang sudah berdering saat ini.”
“Silakan. Selamat malam dan terima kasih.”
“Selamat malam dan terima kasih juga.”
“Hallo……”
“Hallo, ini dari Ibu Saskia ingin tahu juga tentang anda.”
“Silakan saja.”
“Bung Kalam, anda memang piawai dalam olah kata seperti ini. Patut diacungi jempolan. Topger.”
“Terima kasih Bu Saskia, tapi pujiannya jangan terlalu berlebihan. Takutnya aku malah terjerumus ke jurang dengan sanjungan Ibu.”
“Sastrawan yang rendah hati. Aku salut pada anda. Bung Kalam, waktu kapan dan lagi apaan anda menulis puisi ini?”
“Saat aku larut dalam sampan imajinasi yang akan melaju ke tengah samudera, begitu luas untuk kuarungi agar sampai ke seberang lautan mahligai sejahtera. Renungan imajinasi itu, aku peroleh dari tampilan layar lebar yang menayangkan panorama kejadian dari alam kenyataan. Lalu panorama itu kuolah jadi sebuah imajinasi yang lebih kental dengan penekanan pada lebih banyak intensitas isinya dalam uraian hikmah. Moga saja orang lain bisa memahami dan mengambil intisarinya dari pelajaran ini. Sesama kita kan harus saling berbagi dan mengingatkan supaya bisa menjalani kehidupan dengan langkah tenang, mantap, dan terarah langsung tepat pada sasarannya.”
“Oh begitu. Aku cukup terkesan dengan pengalaman anda itu. Menarik sekali. Membuat aku tertarik untuk mengetahui sebenarnya puisi yang anda bacakan itu mengandung makna pelajaran kehidupan tentang apaan?”
“Kehidupan seorang anak manusia dalam menilai orang lain. Kita diajarkan dalam puisi ini jangan menilai orang lain dari segi luar saja dan jangan satu segi penilaian, banyak segi, poly heksagon begitu. Sudah diputuskan bahwa itulah kebenarannya. Belum tentu apa yang dilihat oleh mata sesuai dengan kenyataannya yang sebenarnya. Jangan menganggap orang yang berpostur tubuh menggidikkan dan berperawakan kasar memiliki tingkah laku yang kasar dan hati yang jahat, bisa saja kebalikannya bahwa orang tersebut mempunyai perilaku yang lemah lembut, ramah tamah, dan suka menolong serta mempunyai hati semurni berlian walaupun dalam kubangan lumpur. Jangan juga mengira selamanya orang yang berbuat salah, dimasukkan dalam penjara dan jadi narapidana adalah orang yang tak mempunyai rasa perikemanusiaan. Berhati batu, dan akan mengulangi tindakannya yang serupa serta tetap jadi pembunuh, bisa saja antonimnya bahwa orang tersebut mempunyai jiwa welas asih, penolong orang lain dari kesulitannya dan sebagai panutan dalam bertingkah laku dan bertutur kata baik dalam hubungannya sesama masyarakat. Sebab berbekal dari kesalahan yang pernah dilakukannya, ia sadar betul akan perbuatannya dan tak mau lagi mengulangi hal itu. Kesalahan adalah pelajaran untuk kita berbuat maju ke depan dan mengalirkannya ke muara keinginan. Jadi seharusnya kita bisa menerimanya dengan rasa kemanusiaan. Ia juga manusia ciptaan Allah SWT. Karena tak ada manusia yang sempurna, pasti punya kesalahan. Selain itu, jangan menilai orang yang kelihatan sederhana dan miskin hanyalah sebuah barang rongsokan, tidak kaya dari kita. Mungkin bisa jadi, ia yang lebih kaya dari kita, yaitu memiliki kekayaan hati yang hakiki dan lebih mulia dari kita di mata Allah SWT. Kita harus ingat tak boleh mengenyeknya. Malahan seharusnya kita bisa menempatkan diri kita sebagai sahabatnya yang sejati. Sekiranya orang yang betul mau berpikir mengenai makna dari kehidupan ini bahwa orang sederhana dan kaya hati yang dapat menghadirkan kecemerlangan cahaya hati kita, yang betul kita rasakan mengalami defisit. Mereka lebih punya kemuliaan dari kita. Akhirnya penilaian yang benar dan dalam itu menyadarkan kita bahwa langkah yang kita tempuh sudah berlalu jauh dari terminal awal konsensus perjanjian kita pada Sang Maha Pemberi Kehidupan ini.”
Tanpa terasa salju mencair merembes pelan dari pucuk dedaunan mahkota lentik penerang jalanan Bu Saskia. Tergugah hasratnya dan terbuka hatinya memohon ampun pada Khaliknya. Selama ini ia telah melakukan kekhilafan. Ia akan belajar menelan mutiara hikmah dari sisi kehidupan menusia yang selalu dipojokkannya, tapi memiliki intan berlian bermata yakut yang bersinar cemerlang sepanjang masa. Menuliskan untaian keharuman bunga melati dan mekar kesegaran kembang hijau di lamparan pasir mengikat hati. Tertanam di ambal kebeningan air pada curahan danau narwastu lubuk langit awan kepurihan di kemulusan cinta-Nya.”
“Oke, Bu Saskia ditinggali lagi ya…...”
“Terima kasih ya Bung Kalam atas penjelasannya,” ujar Bu Saskia dengan tabuhan gendang yang pelan dan sayu.
“Oke, bagi pendengar Diah Rosanti yang masih setia. Masih betah bertahan di radionya dan belum beranjak melakukan aktivitas malam. Terimalah salamku dengan puisi yang kedua. Puisi ini adalah puisi yang terakhir yang akan kubacakan. Karena, waktunya tak cukup lagi. Okelah, kalau begitu pendengar setia, selamat anda terhibur dengan lantunan puisi ini.”
Pada pesta malam hijriyah
Dalam pusara
Kunang-kunang bertempik
Dalam peraduan batas imaji
Aku hanya dapat mengalungkan oreon
Di leher bunda
Suara pembacaan puisi yang merdu itu mengalun santainya di tengah kesyahduan malam, yang sekali-kali ditingkahi suara jangkrik dan kereyang, juga ikut menyemarakkan lantunan puisi itu. Membuluhperindukan keceriaan pendengarnya, tetap tak beranjak dari radionya.
Kali ini, aku harus duluan. Tia memegang gagang teleponnya dengan mantap, ditempelkannya di telinga. Nomor yang ditujunya segera dipencetnya. Telepon pun bersuarakan deringnya yang intens.
“Hallo………………….”
“Hallo juga.”
“Dari siapa ini?”
“Dari penggemarmu. Penggemar acara Kontak Sastrawan. Tia Sastrawati.”
“Oke, Mbak Tia, mau nanya tentang apaan sih? Silahkan !”
“Jangan panggil Mbak dong. Usiaku masih muda baru 19 tahun. Panggil Tia saja gitu.”
“Iya deh, kalo begitu, Tia. Silakan kalo ingin menyampaikan uneg-unegnya.”
“Bung Kalam, anda emang hebat. Anda emang orang berbakat. Aku kagum dengan kepiawaian anda ini. Bung Kalam, apakah nulis puisi emang hobi anda?”
“Iya Tia.”
“Sejak kapan hobi anda ini, anda kembangkan sampai berbuah hasil seperti sekarang ini ?”
“Sejak aku ada keinginan tuk menulis. Ku mulai sejak aku duduk di bangku SD.”
“Bung Kalam, selama aku ngikutin acara Kontak Sastrawan baru kali ini aku tertantang serius dengarkannya. Karena Bung Kalam membacakan puisinya sangat bagus dan puisinya juga sangat menarik. Karena Bung Kalam pandai merangkai kata yang ambigu dalam puisi tersebut, sungguh memukau dan menimbulkan suatu keindahan rasa. Melayangkan angan-angan dalam gumpalan awan lembut penuh kesejukan yang dienduskan oleh angin surgawi dan penuh kesegaran alamiah yang ditebarkan oleh ranumnya bunga hijau memekar, bersemi dengan dihiasi canda riang kupu-kupu kertas dan kumbang kenanga menjilati hari yang mengganas, lepuh, dan lekang. Membuat aku termotivasikan tuk mengenal Bung Kalam lebih dekat lagi githu. Bila perlu aku ingin berguru dengan Bung Kalam. Boleh khan?”
“Berguru? Maaf ya Tia. Tuk sementara ini aku belum bisa menerimamu. Karena aku juga masih banyak belajar.”
“Tapi Bung Kalam, anda udah agak matang mencermati dan memaknai kehidupan ini.”
“Itu hanya kiraan Tia aja. Sebenarnya aku baru sedikit aja menyelami kehidupan yang begitu luas ini.”
“Koq bisa begitu Bung Kalam?”
“Entahlah Tia. Begitulah yang aku rasakan saat ini. Okey Tia, nampaknya waktunya hampir selesai. Jadi kita udahi aja obrolan ini?”
“Tunggu dulu Bung Kalam. Tunggu sebentar lagi. Ada dua hal yang ingin kutanyakan pada anda, walaupun sebenarnya pertanyaan yang ingin ku ajukan banyak sekali. Aku maklum karena keterbatasan waktu. Pertama, kapan Bung Kalam terinspirasi menciptakan puisi yang kedua ini? Kedua, apa sih makna yang terkandung dalam puisi tersebut?”
“Waktu itu Tia, aku sedang dalam renungan itikaf menikmati malam dalam taburan bintang senja hari. Membentuk sebuah gugusan bebatuan menawan yang menjulang tinggi. Dengan olengan sampan intuisi disaput oleh gelombang air penuh semarakan kepakan burung layang-layang pulang kandang. Melintasi lazuardi merah kecoklatan tuk menyambut hari kemenangan umat Islam. Tergoreslah bait-bait puisi saat itu selancar perahu melaju menembus tarian gemulai ombak menghadang agar sampai ke dermaga impian dengan menanti setianya sosok penantian, udah menantikan disana seribu penantian yang terlewatkan. Maksud puisi itu, bercerita tentang kecintaan seorang pada ibunya yang begitu mendalam, emang dicintainya sepenuh jiwa dan hatinya. Pada waktu sebelum malam lebaran, ia kebingungan tuk memberikan hadiah tercantik pada ibunya. Hadiah yang kira-kira disukai ibunya, walaupun ujudnya sederhana, tapi penuh makna mendalam dan berkesan dalam kalbu ibunya. Karena tuk memberikan hadiah yang mahal, ia enggak punya kecukupan. Akhirnya ia peroleh konklusi terakhir, yaitu ia telah menemukan hadiah yang tepat tuk ibunya. Namun hadiah itu bukan berujud barang hanya berupa sebuah perasaan kebahagiaan. Diberikannya pada saat malam lebaran. Ibunya pun merasa senang menerimanya. Okey Tia, waktunya udah abis kini, maaf ya kita harus berpisah. Moga di lain kesempatan kita akan bertemu lagi. terima kasih atas atensi yang telah diberikan. Selamat malam.”
“Selamat malam juga. Terima kasih ya Bung Kalam atas obrolan ini.”
“Sama-sama.”
Tia lagi duduk santai, sore ini di warung emperan di bawah naungan payung warna-warni menghalang guyuran sinar mentari yang meradang.
“Lan, aku lagi penasaran nih pada seseorang,” kata Tia.
“Pada Trisno yang macho dan atletis itu. Yang sampai kini enggak bisa kamu dekatin.”
“Bukan Lan.”
“Atau Zia yang ramah dan baik hati. Kadang kala sikapnya berubah aneh. Menyebalkan tapi mengasyikkan.”
“Bukan Lan.”
“Ohoi…… Jangan-jangan cowok keren yang pernah kita jumpai di terminal bus Batu layang?”
“Bukan juga Lan.”
“Jadi siapa orangnya?”
“Ia, seorang sastrawan muda jitu, rendah hati, dan sederhana, yang selalu mengaku kalo ia hanya penulis bukan sastrawan. Padahal Lan, dari kupasan karya puisinya ia tergolong matang yang dapat memaknai kehidupan. Jarang lho, orang bisa seperti dia. Orangnya juga bijaksana dan punya intuisi jauh ke depan. Progresif modernis.”
“Sang sastrawan?”
“Kenapa Lan? Enggak boleh aku penasaran sama ia?”
“Boleh sih, cuman Tia, aku jijik kalo dengar kata sastrawan. Karena dunia gila yang mereka ciptakan enggak aku sukai. Maaf ya aku enggak bisa kasih komentar!”
“Koq, bisa githu Lan. Kamu khan temanku. Aku juga ingin dengar komentarmu. Apakah yang kulakukan ini benar adanya?”
“ Tia, kalo itu emang datangnya dari lubuk kalbu, itu benar aja.”
“Oh begitu. Trim’s. Lan, kamunya enggak terbetikkah sekali-kali untuk menekuni dunia sastra atau terteriklah begitu?”
“Enggak lha yaw. Seperti kamu githu. Sampai-sampai menimbulkan penasaran pada penciptanya hanya disebabkan untai kata-kata yang dirangkainya. Jangan-jangan kamu udah…………”
“Sinting katamu. Jatuh cinta githu? Enggak koq Lan. Cuman aku penasaran sama ia, karena begitu dalamnya ia memaknai kehidupan. Ia sepertinya orang bersahaja juga, kalo ditilik dari ucapannya.”
“Kamu jumpa ia dimana, Tia?”
“Di acara Kontak Sastrawan?”
“Ah…….., berarti kamu hanya menilai ia lewat bicaranya aja. Gila deh……. Langsung penasaran. Dunia seperti inikah yang kamu bilang bagus? Dunia yang penuh kebingungan dan kegilaan.”
“Jangan menghina begitu don. Kalo kamu enggak suka, ya enggak pha-phalah. Tapi seharusnya sebagai teman kamu dukung aku supaya bisa jumpa ia.aku ingin belajar banyak tentang kehidupan dengannya.”
“Tapi khan kamu Tia, orang yang udah dibilang berhasil dalam kehidupan. Punya kehidupan yang lebih dari orang. Sukses. Jadi kehidupan yang gimana lagi yang akan kamu pelajari darinya?”
“Kesabaran, kejujuran, dan kerendahan hati, yang belum maksimal ku peroleh.”
“Wow, hebat juga ya! Kini kawanku udah ingin pandai jadi pemikir ya?”
“Khan mulai lagi bercandanya …….”
“Sekedar refreshing pikiran……..”
Tawa mereka berderai. Senang dan gembira rasanya hati mereka saat itu.
~oOo~
“Permisi nona-nona, ibu-ibu, bapak-bapak, maupun hadirin semua yang lagi asyik bersantai. Aku ingin menghibur anda semua dengan satu tembang manisku. Tembang kenangan tuk temani anda menikmati persantaian yang indah ini,” kata seorang pengamen jalanan. Iramanya lalu berdentang seiring semilir angin berhembus. Sepoi-sepoi basah. Orang-orang merasa terhibur juga. Tia dan Lani terhanyut arus senang juga dengarkan musik pengamen jalanan di dekatnya. Selesai menyanyi pengamen itu membuka topinya lalu menadahkannya, meminta sumbangan seikhlasnya dari pengunjung Taman Alun-Alun Kapuas dekat Kafe Lancang Kuning yang semarak dan megah. Tempat yang merupakan petakan yang disekat dengan dinding pembatas kain waru yang bisa duduk santai antara sepuluh sampai lima belas orang tuk satu petakan. Melajur dan memanjang ke depan dan ke samping kiri maupun kanan.
Sore ini emang ramai pengunjungnya. Karena tempat ini adalah salah satu tempat yang digunakan orang-orang tuk menghabiskan waktu senggang, menikmati kesegaran senja memerah, dan memulihkan stamina sehabis bekerja seharian penuh. Pengunjung-pengunjung disitu memasukkan duitnya kedalam topi pengamen yang terbuka. Dengan kisaran uang yang beraneka ragam jenisnya. Ada yang memberi Rp. 100, Rp. 500, Rp. 1.000. Pas ia menyodorkan pada kursi Tia dan Lani, ia dicegat sebentar. Interogasi dan terjadilah transaksi tuk menyumbangkan sebuah lagu lagi tuk menghibur mereka.
“Bisakah anda menyanyikan satu tembang lagi buat kami?”
“Bisa nona… tapi?”
“Gampang soal bayaran……… jangan dipikirkan. Pokoknya beres deh.”
“Bukan begitu nona, tapi aku lagi diburu oleh waktu.”
“Tapi satu aja Bung ………….”
“Gimana ya?”
“Jadilah…………”
“Baiklah nona, tapi lagunya yang pendek aja.”
“Beres deh. Atur aja Bung.”
Tangan si pengamen segera mengelus senar gitarnya dengan lincah, selincah liukan ular piton membelit ranting pohon. Irama lagu pun bertiup mengalun. Suara si pengamen mengaung nyanyikan tembang orang pinggiran. Bergelombang juga perasaan dengarkan lagu itu hingga kesan memori membawakan kita pada kejaran ombak mencapai tepian pantai dengan senyuman berarti. Berderak, melambung tinggi. Dengan percikannya melayang-layang kembali pada kejernihan dan kebeningan air lautan. Menyatukannya lagi seperti sediakala. Menimbulkan ketenangan dalam perasaan dan sanubari. Muka pun memancarkan caya neon cerah, seketika.
“Terima kasih Bung atas tembang lagunya. Ini persenannya,” ujar Tia. Uang sebesar Rp. 50.000 mengalir kedalam topi yang ditengadahkan si pengamen.
“Wah nona, ini sih terlalu besar?”
“Enggak apa-apa Bung. Ini masih terbilang kecil. Belum seberapa jika dibandingkan dengan hiburan yang Bung suguhkan pada kami,” tegas Tia dengan maksud enggak meremehkan dan menjatuhkan harga diri si pengamen. Lani hanya tersenyum melihat hal tersebut. Karena, ia udah tahu tabiat Tia seperti apa. Untuk itulah, ia senang bersahabat dengan Tia. Tia emang pemurah pada orang yang tertindas atau kurang mampu. Enggak seperti orang separohan, udah kegedean kalo ia turunan anak orang yang berkecukupan. Tabiatnya dilihat sangat memuakkan. Itu enggak disadarinya.
“Ah nona, pandai memujinya dan menyenangkan hati orang lain.”
“Enggak juga Bung. Biasa-biasa aja.”
“Permisi dulu nona, terima kasih atas kebaikannya ini,” pamit si pengamen membungkukkan badannya.
“Sopan juga tuh orang ya Lan?” seru Tia.
“Ehemmm………,” sahut Lani sekenanya.
~oOo~
Di Mall Matahari, waktu ingin bayar uang parkiran. Tia kaget. Terperanjat. Karena, ia menjumapai orang yang sama dengan si pengamen sederhana tapi sopan, pernah dijumpainya. Koq, pengamennya sama wajahnya dengan tukang parkir ini. Apakah mereka kembaran? Atau si pengamen dan tukang parkir adalah satu orang aja? Tia mulai mengaitkan fragmen kejadian yang pernah dialaminya dengan sosok orang yang akan dicarinya. Karena dari puisi sastrawan muda yang mengaku penulis itulah, Tia telah banyak belajar mengenai kesederhanaan, kesabaran, kejujuran, dan keikhlasan. Jangan-jangan orang yang ku cari ini adalah pengamen dan tukang parkir ini. Karena biasanya seorang sastrawan muda yang rendah hati seperti ia, akan mencoba menutupi jati dirinya. Akan aku korek dulu kebenarannya, apakah hipotesisku ini benar?
“Bukankah Bung ini pengamen yang menghibur kami wakti itu,” tuding Tia tanpa tedeng aling-aling.
“Iya nona, betul sekali .”
“Koq bisa begini jadinya”
“Itulah kehidupan nona. Demi mencari nafkah atau rezeki kita harus rajin berusaha selagi jiwa masih muda, biar masa tuanya bisa sedikit bahagia. Kalo kita enggak rajin berusaha, alamat hidup kita ini akan terlunta-lunta.”
“Tapi Bung enggak malu kerja seperti ini, yang digunjingkan orang adalah kerja bagi oran awaman?”
“Enggak nona, yang penting halal dan baik di mata Allah. Dan juga hanya kerja seperti yang bisa aku lakukan, walaupun dikatakan orang enggak bagusan. Aku enggak peduli. Daripada aku menganggur akan jadi cemoohan orang atau sampah masyarakat. Kerja seperti ini akan mendapatkan berkah kalo dilandasi dengan keikhlasan hati semata-mata karena ibadah pada Allah SWT,” katanya mantap. Tia mengangguk tanda mengerti.
“Bung sudah punya keluarga?” tanya Tia tiba-tiba.
“Belum nona. Masih single.”
“Belum…………. Masih single……,” ulang Tia berulang kali.
“Ada apa nona? Koq kelihatannya bingung dengan jawabanku.”
“Ah, enggak apa-apa Bung,” tutupi Tia pada ekspresi jiwanya yang sebenarnya.
“Kalo Bung, sebenarnya siapa sih namanya?”
“Kalam,” jawabnya dengan pelan.
“Ka…..lam. K…… A…… L…… A…… M. KALAM !” kaget Tia. Matanya membelalak tak percaya. Dipandangnya wajah si pemuda dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Emang sederhana sesuai dengan kerendahan hatinya. Betulkah yang ada dihadapanku ini adalah orang yang kucari selama ini? Timbul keraguan dalam benak kalbunya. Masih muda begini. Tapi penghayatannya tentang kehidupan melebihi orang tua. Kalo betul ia orangnya, hari ini aku merasa sangat beruntung. Namun, kalo bukan ia orangnya maka pencarianku belum sampai atau usai.
Si pemuda juga bingung melihat sikap gadis di depannya. Setelah menyebutkan namanya, koq gadis itu menelusuri wajahnya dengan tatapan seperti menyelidik. Sebenarnya apa yang ia cari? Ya……betul. Bukankah dari logat bicaranya, ia adalah salah satu penelpon itu. Ah, aku enggak boleh buka kartu di depannya bahwa akulah penulis puisi tersebut.
“Nona, ada apa ini? Koq, anda jadi kebingungan aja? Namaku jelek ya?”
“Enggak Bung. Anda khan……?”
“Anda siapa?”
“Kenalkan aku Tia Sastrawati, penggemar puisi anda di acara Kontak Sastrawan,” ulur lembut tangannya. Kalam dengan keraguan juga menjabat tangan lembut yang terulur itu.
“Alhamdulillah Tuhan, akhirnya kamu pertemukan juga aku dengannya.”
“Tapi nona Tia, anda salah………..”
“Salah menilaimu. Enggak Bung Kalam. Anda khan sastrawan sopan yang mengaku penulis itu bukan?”
“Bukan nona Tia. Aku bukan penulis. Aku hanyalah pengamen dan tukang parkir.”
“Apa? Bukan anda orangnya?” kaget Tia. Kini keceriaan itu berganti kebingungan sampai di klimaksnya.
“Ya nona.”
“Tapi nama anda koq sama dengannya. Logat bicara anda juga sama. Mustahil sekali kalau anda bukan ia. Ini bukan kebetulan khan Bung Kalam?”
“Ini hanya kebetulan nona Tia. Nama bisa aja sama. Tapi terus terang aku bukan ia. Aku adalah aku. Si pengamen dan tukang parkir,” ungkapkan Kalam dengan muka serius. Melihat keseriusan itu maka Tia jadi yakin, ia kesalahan orang lagi.
“Maaf ya Bung Kalam, kalo anda bukan penulis puisi itu. Maaf ya atas kesalahan dugaanku. Terima kasih ya atas pengertiannya tadi,” ujar Tia langsung ngeloyor pergi dengan mobilnya. Kalam hanya tersenyum melihat kepergian gadis itu.
Penasaran Tia tetap makin menjadi-jadi tuk berjumpa dengan penulis tersebut. Sampai saat ini belum tertuntaskan. Maka saat mendengar ada pementasan seni dan sastra sekaliber provinsi. Ia jadi girang dan kegairahan hidupnya terbangkitkan lagi. Awal-awal Tia udah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin tuk menghadiri acara tersebut. Otomatis ia akan bertemu dengan sastrawan muda yang dicarinya. Namun, lagi-lagi ia kecewa, karena sastrawan muda itu enggak datang di pementasan itu. Rupanya ia sakit. Namun, Tia masih dibilang sedikit beruntung. Karena, ia dapat oleh-oleh indah yang dibacakan oleh teman sejawatnya. Emang dikhususkan untuk Tia sebagai penggemar setianya.
Bukit mendaki nan mendaki kartu pos
Terjalannya bersimbah peluh Illahi
Kulalui dengan napas dentingan irama
Demi memenuhi kebutuhan isi puisi hati
Dan kerumunan hilir mudik moncong peluru
Manaburkan keharuman angin buritan
Yang menghamburkan
Kristal-kristal gizi embun adalah makanan
Bagi kami yang memang pecinta bayang-bayang
Akan memantulkan sinar kejelasannya
Dalam paruh keikhlasan
Melambaikan kemurnian helai rambut-rambut bintang menyujudkanku
Si sederhana yang menaruh kesopanan
Dari peradaban bumi
Semakin gersang dan tandus menyilaukan
Secerca senyuman si makam menanti
Mangajakku pulang rumah
Berlabuhkan kapal merapat rindu
Dengan tampilan harum seribu kali
Di kelembutanMu sendiri
Memang kuntum bunga mewangi
Balai Berkuak, Februari 2004
~~~~&&&&&~~~~~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar