Selasa, 24 Juli 2007

Sepotong Cerita Tiga Sastrawan

Oleh : M.Saifun salakim

Tak pernah terbayangkan oleh komputer pikiran saya. Tak pernah terpikirkan oleh logika saya. Tak pernah terencana oleh hati saya.
Hari kamis ini, saya disirami kembang-kembang wangi pada sekujur tubuh saya oleh Sang Pencipta. Seperti siraman hujan terhadap bumi yang mengalami musim kemarau panjang atau tuarang jauh. Itu yang saya namakan hidayah illahi.
Hari kamis ini saya dan teman saya bertemu dengan tiga sastrawan besar kota Pontianak, yang namanya telah mengharumkan nama kota Pontianak di mata kota-kota lainnya, Jakarta, bahkan Internasional. Semua orang terlalu ingin untuk mengenal beliau, namun orang-orang belum dapat bertemu dengan beliau. Mereka hanya tahu nama saja, sedangkan bentuk dan wajah beliau, orang-orang tersebut tak tahu sama sekali. Sungguh ironis bukan? Sastrawan besar kota sendiri tak tahu, malahan orang-orang tersebut lebih mengenal sastrawan besar yang bukan dari lingkungannya sendiri. Memang tak ada yang melarang kita mengetahui sastrawan besar dari kota lain, tetapi kita juga harus mengetahui sastrawan besar yang ada di kota sendiri supaya tak dikatakan “tahu lubuk dari pada tanjung”.
Dalam satu hari ini, saya dan teman saya bertemu ketiga sastrawan besar Kota Pontianak. Yang rumah mereka berjauhan antara satu dengan yang lain. Tetapi selalu dekat di hati.
Kami bertemu dengan Odhy’s. Ia adalah seorang sastrawan kawakan yang hasil karyanya sudah tersebar di media massa lokal maupun nasional. Odhy’s juga dikenal sebagai seorang kritikus, dan esais. Beliau sering memakai peci seperti kuali terbalik. Menyungkupi rambutnya yang ikal gimbal semerbak. Beliau juga senang memelihara jenggot. Sungguh artistik jika dilihat dari kaca mata seni.
Beliau menyambut kami dengan ramah-tamah, kami di persilakan duduk di beranda rumah. Rumah sederhana dengan ornamen sederhana. Pot-pot bunga berjejer indah di beranda rumah. Teratur. Di pekarangan halaman. Dihiasi beraneka pohon-pohon turap yang berdaun lebar-lebar, bunga mekar, dan pohon melinjo. Kiri kanan rumah tanaman singkong dan tebu tumbuh subur. Sungguh asri berkaca sealakadarnya. Dengan kesederhanaan dan keramahtamahan tuan rumah melambungkan pikiran ke alam nirwana. Sehingga saya dapat menyatakan sebuah kata yang cukup menarik, untuk dijadikan pedoman dalam hidup ini :
“Kesederhanaan merupakan obat untuk memberantas kesombongan dan ketamakan akan harta duniawi yang merupakan harta titipan Allah semata”.
Tuan rumah menyuguhkan segelas teh panas. Kami hirup dengan rasa segar. Cukup untuk menghilangkan kehausan yang melanda tenggorokan. Odhy’s banyak bercerita tentang seluk beluk dunia sastra. Membuat kami terlena dibuatnya. Saking berkesannya ia bercerita tak terasa waktu terus saja berputar pada porosnya. Kelelahan tak menginggapi kami saat mendengarkan petuahnya. Karena ingin menjumpai sastrawan berikutnya, maka kami pamit diri. Beliau melepaskan kami dengan perasaan hangat. Dari perbincangan dengannya ada beberapa ucapannya yang bisa diambil hikmahnya yaitu :
“Kalau ingin jadi seorang penulis atau penyair terkenal, harus banyak membaca, banyak berkarya, dan banyak bertukar pikiran mengenai hasil karya yang ditulis dengan sastrawan yang sudah kawakan. Perkembangan dunia sastra terletak di tangan penyair atau penulis itu sendiri. Penyair atau penulis memiliki hak paten untuk mengembangkan peradaban manusia yang gilang gemilang.”
Sebelum adzan magrib bergema, kami telah berada di rumah sastrawan besar lainnya. Bapak Yudiswara, seorang cerpenis, penyair, juga esais. Tuan rumah menyambut kami dengan ramah. Rumah beliau berada dekat masjid Nurul Jannah… Perbincangan hangat pun terjadi antara kami dengan beliau, tentu saja membicarakan dunia sastra yang ada di kota Pontianak, berikut dengan penyairnya. Saya dan teman saya memperkenalkan diri sebagai penyair muda kota Pontianak. Kebetulan sekali teman saya seorang penyair wanita bernama Shella. Dan kebetulan pula, bung Yudhis ingin mencari penyair wanita Pontianak yang dapat eksis sampai tua. Selama ini penyair wanita Pontianak selalu berhenti berkarya jika mereka memasuki jenjang berumah tangga. Sering kali bung Yudhis ditanyai oleh sastrawan kota lain, apakah kota Pontianak memiliki penyair wanita….? Bung Yudhis selalu menjawab, ada. Percakapan itu lebih menekankan pada pemberian motivasi pada Shella untuk terus berkarya nan berkarya, hingga eksis sampai tua, seperti N.H. Dini. Saya cuma mengiyakan saja.
Waktu tak dapat diajak kompromi. Akhirnya kami pun undur diri. Beliau melepaskan kami dengan kehangatannya. Dari tatap muka dengan beliau adan beberapa coretan yang sungguh bagus untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini.
“Terus saja berkarya sampai tua. Jadikanlah dunia yang kamu geluti seperti makanan lezat sampai akhir hayatmu. Selain itu dengan adanya isu angkatan tua dan angkatan muda, itu sangat tak bagus. Pengklasifikasian itu dikarenakan adanya ketakutan pada sastrawan tua, yang merasa tersaingi oleh munculnya sastrawan-sastrawan muda yang banyak memiliki ide-ide cemerlang. Pengklasifikasian itu pula membuat sastrawan muda jadi minder karena mereka merasa tak yakin dengan apa yang mereka ciptakan. Seharusnya pengklasifikasian itu tak ada. Semua orang adalah egaliter. Kalo dihubungkan dengan dunia sastra bahwa antara angkatan tua dan angkatan muda adalah sama. Yang membedakannya bukanlah status atau pengklasifikasian itu melainkan hasil karya yang gemilang… dan jenius… Diharapkan sastrawan tua tak boleh mematikan kreativitas sastrawan muda…. Sebaliknya sastrawan tua harus mendukung penuh dan berusaha mengorbitkan sastrawan muda agar terkenal seperti mereka juga…”
Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya menawarkan pada Shella untuk bersilaturahmi ke rumah Yusack Ananda dengan nama aslinya Urai Zubir Muchtar. Shella setuju dengan usulan saya. Maka saya melecutkan kendaraan ke rumah Yusack Ananda. Kami tiba ke rumah Yusack Ananda ketika malam mulai beranjak larut…. Saya memarkirkan kendaraan di depan rumahnya. Saya ketuk pintu rumah seraya mengucapkan,
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumsalam….” Balas orang di dalam.
Pintu rumah Yusack Ananda segera terbuka. Seraut wajah mungil muncul dari balik pintu.
“Mencari siapa ya?”
“Kami mencari Urai Zubir.”
“Silakan masuk!”
“Terima kasih.”
Lalu saya dan Shella masuk dan duduk di ruang tamu. Wajah mungil beranjak ke belakang, memanggil Urai Zubir.
Sosok wajah tua yang telah dimakan hari tampak keluar menyongsong kami yang duduk di ruang tamu.
Ketika berada di antara kami, ia bertanya.
“Ada apa adek-adek…?”
“Silaturahmi, Pak!” saya menjawab.
Lalu kami berjabatan tangan….
“Adek-adek ini darimana?”
Pertanyaan yang mengawal percakapan hangat kami. Lalu kami menjelaskan siapa kami…. Yaitu mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia…. Kami juga merupakan penyair muda Kalimantan Barat. Mendengarkan penjelasan kami…. Bapak Yusack Ananda merasa takjub sekaligus juga bangga….
Seiring melajunya malam, percakapan kami pun melaju…. Tanpa sungkan-sungkan Bapak Yusack Ananda menceritakan pengalaman hidupnya di dalam dunia sastra.
Seorang sastrawan besar… Tragis…. Angkatan 66 yang telah ditelantarkan oleh pemerintah. Tak ada penghargaan dari pemerintah terhadap dirinya.
Cerpenis besar…. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan juga bahasa Jepang…
Di hari tua begini cukup memprihatinkan….
Percakapan yang melaju seiring waktu yang berlalu telah menghantarkan kami pada beberapa kesimpulan yang terus membekas….
“Berkaryalah terus sampai tua…. Jangan pantang menyerah! Ingatlah tentang masa tuamu selagi kamu masih muda…. Agar kamu dapat mempersiapkan bekal untuk masa tuamu….”
Suatu kesimpulan yang begitu tragis jika berkaca pada kehidupan sastrawan terbesar yang dimiliki oleh Kalimantan Barat…. Juga Indonesia….
Malam yang melaju seirama vega yang saya kendarai juga melaju….. Mengantarkan Shella ke istananya…. Kenangan indah tak pernah saya lupakan seumur hidup saya…. Dapat bertemu tiga sastrawan besar Kalimantan Barat…
Dalam benak saya malam ini seiring angin malam yang melaju dibelah vega berjalan tertatih-tatih….. Saya berkhayal : Semoga saya dapat jadi besar seperti mereka. ©dins

Pontianak, Mei 2002
~~~&&&~~~

Thanks : Odhys, Yudhis, Yusack
(akoe deki yang telah memberikan masukan!!!)

Dipublikasikan di WWW. Cybersastra. Net.

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...