Oleh: M. Saifun salakim
Pidato : Selamat siang Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan undangan semuanya. Sambilan menikmati hidangan yang
telah disediakan. Kami dari Tim Syalala akan menyuguhkan sebuah cerita untuk anda semua tetapi
bukan air mineral yang untuk dinikmati. Ceritanya yang harus dinikmati. Cerita ini berkisah tentang
betapa pentingnya pendidikan di dalam kehidupan ini. Karena pendidikan membuat orang menjadi
dewasa dan mandiri bukan mandi sendiri. Tetapi membuat orang mampu melakukan kegiatan atau
beraktivitas dengan pikiran sendiri dan kemauan sendiri menuju arah kemajuan dan masa depan yang
gemilang. Hidup pendidikan! Hidup pendidikan! Hidup semuanya. Dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Maaf Bapak-bapak, Ibu-ibu dan undangan semuanya, saya sedikit bersemangat dalam
bicaranya.
Baiklah semuanya, marilah kita saksikan pementasan cerita dengan judul “Kawin atau Pendidikan?”
Ide cerita : Maria Deviane Yuniastuti Ngetu
Penulis Cerita : Sarifudin
Sutradara : Sarifudin
Dengan para pemain:
1. Alexander Mangalo sebagai pelakon pantomim I dan Pak Hasan
2. Eka Oktaviani sebagai pelakon pantomim II dan koor pembaca puisi
3. T. Valentinus Arlesdey sebagai pelakon pantomim III, Harun, dan koor pembaca puisi
4. Maria Wenita sebagai pelakon pantomim IV dan Bu Dian
5. Ayunina Susilawati sebagai pelakon pantomim V dan Pelita
6. Wiliana sebagai penyanyi latar dan koor pembaca puisi
7. Sarifudin sebagai narator dan pembaca puisi
Sebelum pementasan cerita ini dimulai, saya ingin berpantun. Pantunnya begini:
1. Makanan mie dari Pati
Kalau dimasak enak sekali
Kami tim Syalala dari kelas I A datang ke sini
Hanya ingin berbagi cerita hati
2. Mimi dan Neni suka melati
Ditanamnya pohon itu di halaman rumahnya sendiri
Kami hadir di sini datang dengan segala kerendahan hati
Terimalah salam hangat dan hormat kami
Adegan I :
Kehidupan ini. Layaknya. Seperti panggung sandiwara. Ada yang kecil. Ada yang besar. Ada yang menarik. Ada yang terjelek sekalipun.
Selingan lagu : Malu aku malu. Pada semua penonton. Yang memperhatikanku. Karena akulah jelek. Aku
makin tambah malu.
: Syalala… lala…. Syalala… lala… eit
Puisi : Aku jadi patung. Patung kehidupan. Bisu. Hanya bisa tersenyum. Tetapi…. Aku juga ingin
bebas…. Bebas….. Bebas…… Hore…….
Gerakannya :
Tangan ingin mencengkeram kepala tetapi tidak melekat di kepala
Berjalan ke arah depan
Menengadah memandang langit
Duduk menjongkok mengecil
Gerakan seperti kingkong pamer kekuatan
Tampang aksi menarik dengan senyuman dan kerjipan mata
Mengesampingkan badan dengan menyembunyikan wajah jeleknya
Tangan menekuk seperti bebek
Berdiri kaku, diam, berpikir sebentar, gembira
Adegan II :
Pelita : (monolog) Pusingggggggggg……Aku bingung… Perasaan ini merajam-rajam hatiku. Aku
bingung. Penonton, permasalahan ini jangan sampai terjadi pada anda semua. Aku kena
dilema. Di salah satu sisi, aku ingin jadi orang berhasil. Di sisi lain, orang tuaku. Apakah aku
harus bunuh diri? Atau menurut kehendak orang tuaku. Patuh dan tidak durhaka. Akhh…..
(jatuh terjerembap dan tertunduk) (orang tuanya menghampirinya)
Pak Hasan : Nak, kamu harus kawin sekarang! (tegas)
Pelita : (menengadah) Kawin? (kaget) Tidakkkkkkkkkkkkkkkkk! (teriak)
Pak Hasan : Kamu sudah gila ya, Nak?
Pelita : (berdiri) Aku tidak gila, Pak. Tetapi kemauan Bapaklah yang gila. Terlalu memaksakan ke-
hendak.
Bu Dian : Nak, tidak baik kamu berkata begitu. Mengapa kamu harus menentang kehendak kami?
Cobalah sekali ini kamu menuruti kehendak kami. Semua ini kami lakukan demi kebahagian
mu, Nak. Ingat Nak, jangan sampai kamu mempermalukan orang tuamu dengan penolakan
mu ini.
Pelita : Bu, aku tidak ada niat mempermalukan, Ibu dan Bapak. Tapi saat ini aku masih ingin seko-
lah tinggi dan menjadi orang yang berhasil. Cobalah sekali ini Ibu dan Bapak mengertiku.
Pak Hasan : Tidak bisa, Nak. Bapak tak mengizinkan. Sekolah tinggi pun, apa yang kamu dapatkan.
Yang ujung-ujungnya ke dapur dan jadi ibu rumah tangga juga.
Bu Dian : Betul kata Bapakmu. Kodrat kita sebagai wanita hanya mengurusi dapur dan jadi ibu rumah
tangga. Mengapa musti kamu ingkari, Nak. Lebih baik sekarang saja kamu melaksanakan
kodratmu itu.
Pelita : Memang Pak dan Bu. Kodrat wanita memang sebagai ibu rumah tangga dan ke dapur. Tapi,
akan berbeda wanita yang punya pendidikan tinggi dan pendidikan rendah dalam mengurus
dapur dan jadi ibu rumah tangga. Akan lebih baik wanita yang punya pendidikan tinggi dari-
pada wanita yang punya pendidikan rendah dalam menjadi ibu rumah tangga dan mengurus
dapur. Aku ingin jadi wanita yang baik, Pak dan Bu, dan bisa menyenangkan hati suami.
Untuk itulah, aku tetap ingin sekolah lebih tinggi dan punya pendidikan lebih tinggi.
Pak Hasan : Sudahlah, Nak. Bosan aku mendengar ocehanmu. Sekarang kamu harus ikut Bapak menemui
calon suamimu. Karena hari ini perayaan pernikahanmu sudah disiapkan. (mendekati anaknya dan
ingin membawa anaknya secara paksa)
pelita : (menghindar dan terus berlari menuju pintu) (Di depan pintu dia berpapasan dengan Harun,
calon suaminya)
Harun : Kamu mau kemana, Pelita?
Pelita : Aku harus pergi!
Harun : Pelita, kamu jangan pergi! Kamu harus melangsungkan pernikahanmu denganku. (Dia men-
cekal lengan Pelita agar Pelita tidak jadi pergi)
Pelita : (melepaskan cekalan itu dan menolak Harun hingga jatuh terjerembap. Sebelum pergi dia
sempat menampar pipi Harun dua kali dan dia terus berlari)
Harun : (jatuh terjerembap) Pelita…. Jangan….. (tangannya menggapai)
Pak Hasan dan Bu Dian : (diam dan terpaku… sebentar mereka menyorotkan kemarahan. Sebentar
mereka redup dan sendu) Anakku teganya dirimu pada kami! (lirih bergetar)
Adegan III :
Selingan Lagu : Berdosakah diriku. Bila kumenuruti. Keinginan hatiku. Dengan mengorbankan. Perasaan
Dan keinginan. Orang tuaku. Semuanya kulakukan demi masa depanku. Oh ibu dan bapak.
Maafkan salah anakmu. Bukanku tak berbakti. Tapi kuingin menjadi berhasil. Oh Tuhan
Pengasih, kuatkan imanku. Dalam menempuh jalan. Kehidupan ini. Yang telah kau gariskan.
Yang telah kau gariskan.
Adegan IV :
Pelita : (monolog) Bertahun-tahun sudah kutinggalkan orang tuaku. Kini aku sudah jadi orang ber-
hasil. Masih sakit hatikah orang tuaku padaku? Masihkah mereka tak memaafkan kesalahan-
ku? Tuhan…… Perasaan rindu ini merajam-rajam hatiku. Rindu kampung halaman. Rindu
orang tuaku. Mungkinkah mereka. Ah…. Apapun yang terjadi. Aku harus pulang. Pulang….
Adegan V :
Pelita : (mengetuk pintu) Tok… Tok… Tok…
Bu Dian : (membukakan pintu) Mencari siapa, Nak?
Pelita : Ibu, ini anakmu…. (ingin menubruk dan memeluk ibunya)
Bu Dian : Anakku yang mana?
Pelita : Aku adalah Pelita, Bu. Pelita anakmu, Bu.
Bu Dian : Pelita….. Oh anakku (merangkul anaknya dengan penuh kasih sayang)
Pak ke sini!
Pak Hasan : (bergegas) Ada apa, Bu? (heran melihat istrinya berpelukan hangat dengan seorang wanita
karier)
Bu Dian : Pak, ini adalah Pelita anak kita. Dia sudah jadi orang yang berhasil. (istrinya menunjuk pada
wanita muda yang dipeluknya)
Pak Hasan : Pelita? Pelita anakku! (membelai rambut anaknya dengan penuh kasih sayang)
Pelita : Maafkan kesalahanku, Pak dan Bu?
Pak Hasan : Sudahlah, Nak. Sebenarnya kamilah yang bersalah. Seharusnya kami yang minta maaf pada
mu. Betulkan, Bu?
Bu Dian : Betul, Pak. Sekarang kami sadar bahwa ternyata pendidikan itu sangat penting….
Puisi :
Pendidikan……. (narator)
Kamu menjernihkan perasaan (koor)
Menghantarkan kebahagiaan (koor)
Menyatukan keakraban (koor)
Keharmonisan (koor)
Jalinan kasih sayang (narator)
Antara orang tua dan anak (narator)
Selamanya selalu berkesan (koor)
Dan indah untuk dikenang (koor)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar