Senin, 10 September 2007

Lima Belas Menit Kebersamaan

Oleh : M. Saifun salakim

Lima Menit Pertama
Bagaimana aku harus merealisasikan sebuah kenyataan?
Masihkah aku bisa mengoptimalkannya dalam plot kebenaran yang sesungguhnya?
Masihkah bisa itu sebuah kejujuran dan dipercayai semua orang?
Bisakah aku melepaskan diri dalam belitan-belitan panjang impian-impian?
Tentunya impian yang indah-indah. Aku ingin meraih bintang dalam menerangi hati ini. Hatiku yang masih diliputi kabut-kabut yang mengaburkan pandangan jiwaku. Jiwa oh jiwa.
Bintang yang aku raih ini tak hanya melekat mesra di angkasa jaya tetapi juga bintang kehidupan. Sering dibicarakan orang-orang terlalu indah dari semua bintang yang ada? Berwajah putih cemerlang dengan dihiasi mahkota berlumuran hijau ranum membaluti seluruh tubuhnya dan berkakikan mulus tak ada cacat sedikit pun. Bisakah itu jadi kenyataan?
Tapi, impian-impian itukan jauh dari kenyataan. Bagaimana ini ya? Padahalkan aku ingin impian jadi kenyataan. Apakah yang harus aku lakukan? Mungkinkah aku harus meminta pada seseorang untuk merealisasikan impianku? Dapatkah orang itu kutemukan dalam siklus perputaran ini yang kadangkala membuatku jenuh. Karena siklus ini tak pernah memberikan apa-apa yang kuinginkan. Mungkinkah impianku hanya sebatas impian?
Mungkin kali ini aku harus mencari orang yang punya impian? Punya kenyataan? Punya harapan? Punya rasa percaya diri yang tinggi? Punya prinsip atau pedoman yang bisa menggambarkan guratan-guratan abstrak pikiran yang berupa impian-impian terindah menjadi sebuah kenyataan? Kenyataan jujur. Kenyataan benar. Kenyataan logis. Kenyataan tak adanya unsur berbaukan kemunafikan.
Mungkinkah orang itu, orang yang telah masuk paksa menerobos secara kekerasan dalam dunia impianku selama ini? Yang tak pernah kuharapkan hadirnya dirinya. Atau mungkin orang yang tidak kuimpikan, yang punya keahlian khusus untuk mewujudkan impianku. Paranormalkah ia? Orang kayakah ia? Orang pintarkah ia? Orang gilakah ia? Orang jalanankah ia? Orang kerekah ia? Orang….
Aku sedikit terhibur. Sedikit rileks dengan impian yang terus merajam pusat syarafku bertalu-talu seperti genderang mau perang. Karena temanku Dinsi, menemaniku setiap saat. Ia bisa membuat kegiatan-kegiatan menarik setiap harinya, yang sedikit membuatku melupakan impian indah yang tertanam subur di lubuk hati. Kapankah tanaman impianku yang kutanam ikhlas, jujur, dan tulus bisa mekar bahkan berbuah? Agar aku bisa menikmatinya ? Manis, pahit, asam atau rasa jenis yang lain. Strawbery, melon, alpukat,… dan tentukanlah sendiri.
Aku juga bersyukur bahwa Dinsi bukan hanya sekadar teman kerja yang mengenakkan tetapi ia sekaligus sahabat yang menyenangkan. Karena ialah yang bisa membangkitkan sedikit semangatku memahami sebuah kenyataan. Bahwa hidup ini tidak hanya sekadar impian-impian indah tetapi juga harus ada kerja dan pengorbanan yang diberikan untuk mencapai impian tersebut. Yang menuntut ketulusan dan keberanian kita untuk melakukannya. Demi sebuah impian.
Dinsi tak boleh mengetahui impian terbesarku dalam kehidupan ini. Karena aku khawatir kalau ia mengetahuinya, aku dikatainya dengan hal yang bukan-bukan. Ia bisa mengatakan aku adalah orang tak punya perasaan. Orang buta mata jiwa. Tak bisa membedakan antara harapan dan kenyataan. Itukan lebih menyakitkan. Biarlah impian terbesarku ini tersimpan dalam peti bisu perjanjian antara aku dengan hatiku.
~oOo~

Impian Dinsi lain dengan impianku. Ia ingin jadi kembang, kembang seroja pengharum jiwa. Ia minta ditempatkan sebagai orang yang selalu didamba, dirindu, dipuja, dipuji, dan selalu dikenang dalam hati. Selalu pemberi keharuman kepada kumbang, matahari, dan seluruh langit luas membentang. Ia minta dilindungi saat badai datang menjamahnya. Ia ingin memadahkan syair-syair kasih sayang yang tak pernah usang dilantunkan angin bertiup, berlomba dengan waktu. Orang seperti impiannya, ditemukannya.
Sejak menemukan orang impiannya, ia mulai melupakan aku. Aku yang ingin berusaha mengertinya untuk meletakkan persahabatan yang sebenarnya. Persahabatan yang bukan sekadar gelak tawa, senyam-senyum, gelatak–gelitik jiwa, makan minum dalam kehangatan embun murni perbuatan nafsi. Lebih dari itu persahabatan diinginkan adalah buih busa lautan yang tidak pernah lelah berkejar-kejaran dengan perasaan setia, yang penuh bibir-bibir semangat prima, mendayungkan perahu-perahunya melaju apa adanya. Mendeburkannya dengan konsep kelembutan dan kasih sayang. Menembangkan riak-riak keaslian buih hati yang begitu merdu untuk diperdendangkan pada siapa saja, bila perlu untuk semua manusia. Mengabarkan berita bahwa perahu-perahunya bisa menuju dermaga tujuan hakiki dari makna persahabatan. Pantai impian terindah. Begitu tulus. Manis. Toleransi. Bisa berbagi. Bisa memberi dan menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada.
Biarlah. Aku harus mengalah. Aku harus mengerti posisinya. Walau sebenarnya aku sering ditusuk-tusuk perasaan berontak. Ingin menyampaikan unek-unekku atas perlakuannya ini.
Sebegitu rapuhnyakah ia melupakanku hanya karena impiannya terpenuhi? Apakah aku cemburu padanya? Apakah aku juga tidak boleh merasakan kebahagiaanya? Mengapa ia tak mau berbagi denganku? Apakah ia sudah ….? Atau aku yang kurang terbuka padanya?
~0Oo~

Sherlita adalah temanku yang lain. Tetangga samping rumahku. Memiliki badan kurus dan kering seperti menara Peking. Berwajah manis. Berperut kecil. Bergunting pepat seperti belah ketupat. Ia, kucemburui. Mengapa aku cemburu? Mustinya aku tak boleh cemburu. Tapi aku tetap cemburu padanya. Karena ia memiliki banyak impian-impian.
Ia punya impian jadi seekor burung. Bisa mengelilingi dunia dengan sayap kebebasannya. Bebas melakukan apa saja tanpa pernah terbebani. Riang. Gembira selalu. Bisa menikmati kemolekan alam dari atas sana. Bisa mengecapi kemegahan gugusan langit-langit jiwa yang luas membentang. Kental. Pekat. Putih lengket menempeh di lidah pertimbangan bijaksana.
Ia punya impian jadi karang di tengah lautan. Tegar menghadapi segala rintangan dan hambatan yang menghadang jalan kehidupannya. Walau kadang kala badai dan gelombang laut ujian menerpanya. Ia tetap tersenyum. Senyum kekokohan hatinya. Kemurnian jiwanya untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialaminya.
Ia punya impian jadi angin. Selalu menebarkan kesejukan dalam hati. Selalu mengantarkan kedamaian pada perasaan. Selalu dan selalu… selalu tampil baik dan menolong orang lain tanpa meminta imbalan. Tapi ia bisa menjadi garang kalau saja orang-orang di sekitarnya meremehkannya. Merendahkan harga dirinya. Keberaniannya timbul. Seketika orang-orang itu dilabraknya tanpa mengenal ampun. Tanpa mengenal tata etika. Tanpa dan tanpa…. Terserah anda menilainya.
Banyak lagi impiannya yang lain. Bla… bla… walau perwujudan impiannya itu dengan kediamannya, tak banyak bicara. Hanya yang perlu saja. Mungkin ia menggunakan filsafat bahwa impianlah membuat orang hidup. Benarkah itu? Dengan banyak ia memiliki impiannya yang terwujud maka semakin bertambahlah ia hidup. Ia benar-benar hidup sebagai manusia yang memiliki cahaya kehidupan.
Aku? Aku belum mendapatkan apa-apa. Impianku masih samar dan tak jelas. Tetapi dalam hatiku, aku tetap punya sebuah impian terbesar. Apa itu? Entahlah… tapi dalam hatiku tetap memastikan impianku akan menghebohkan dunia. Bom nuklir? Bukan! Mungkin, impiannya adalah aku akan jadi kiamat. Ih, ngeri. Mudah-mudahan tak seperti itu?
Aku ingin jadi Sherlita yang memiliki banyak impian. Tapi bisakah? Ah,… aku akan berusaha dan belajar padanya bagaimana aku bisa memilliki impian yang banyak dan membuat aku hidup. Tapi aku tak ingin impianku sama dengannya. Nanti jiplak namanya. Aku ingin punya impian banyak agar hidupku menemukan cahaya kehidupan. Tapi mampukah aku memilikinya semua? Membuat aku jadi mahluk cahaya… ha…ha….
Aku mulai mengakrabkan diri dengan Sherlita. Dalam segala waktu. Dalam segala denyut napas berhembus untuk hidup. Dalam segala ruang dan dimensi. Dalam segala makna. Dalam segala perjalanan lintas planet. Dalam segala hal. Dalam dan dalam segala-galanya.
Lupalah aku dengan kekesalanku pada Dinsi. Lupalah aku memberontak mengeluarkan unek-unekku atas kurang terima perlakuan Dinsi padaku. Lupa segalanya. Melupakan beban penderitaan. Untuk mendapatkan impian yang terwujud. Tapi itu tak aku dapatkan. Malahan aku dihadapkan pada kediaman Sherlita yang merupakan kesunyian jiwaku. Bagaimana aku bisa memaknai kediamannya? Apakah dari kediamannya ini melahirkan impian-impian yang terwujud? Semuanya menjejal meteor otakku. Hampir saja pecah meledak. Kalau tak kusabarkan.
Rupanya aku belum bisa menemukan impian yang samar mengerogoti hatiku dan mewujudkannya. Tapi aku tetap punya harapan suatu saat aku akan bisa mewujudkannya. Kapankah itu akan terealisasi?
~oOo~


Lima Menit Kedua
Ia datang menemaniku. Tetapi aku tak mau ditemani. Ia memberikan suguhan impian bersama. Mengikat hubungan bahagia dalam jalinan kasih dua jiwa satu cinta. Melangkah bersama mengarungi mahligai rumah tangga sejahtera. Tetapi aku tak berminat dengannya. Tetapi ia terus membujukku dengan segala keahlian rayuannya. Aku tak tergoyahkan. Aku mengindar darinya. Tetapi sampai kapan aku harus berlari dari kenyataan ini? Sejauhmana ia tak akan mengejarku lagi?
Rendrik… Rendrik… Mengapa kamu tetap keras kepala tetap ingin bersamaku selama-lamanya? Mengapa kamu tak mengerti apa yang telah kusampaikan padamu bahwa aku tak bisa bersamamu? Aku tak ada detak cinta padamu. Jangankan detaknya, getar saja aku tak merasainya? Bagaimana aku akan bersamamu bila tubuhku membeku, hatiku busa, jiwaku patung? Kamu yang akan tersiksa nantinya.
Benar juga kata orang bahwa cinta tidak bisa dipaksakan? Kalau dipaksakan akan berakibat fatal. Tapi Rendrik tetap kucing batu. Sekalian saja kamu jadi batu. Biar aku tak tersiksa.
Kamu tahu Rendrik bahwa perlakuanmu seperti itu membuat aku tersiksa. Aku tak ingin tersiksa. Masalah ini harus aku selesaikan. Aku harus bisa menyadarkanmu bahwa aku bukanlah wanita tautan hatimu atau jodohmu untuk menjalani kehidupan bersama.
Perjuanganku untuk menyadarkannya membuahkan hasil. Ia mengerti tentang keadaanku. Walau akhirnya impian yang ditawarkannya padaku dipendamnya dalam-dalam. Ia juga mulai tak mau berjumpa denganku lagi. Ia ingin pergi jauh. Pergi ke suatu tempat. Dimana di tempat itu tak ada kilasan wajahku. Di tempat itu ia akan berusaha melupakanku. Di tempat itu ia akan berusaha maksimal lagi mewujudkan impiannya yang pernah ditawarkannya padaku.
~oOo~

Tidak. Aku tak peduli dengan segala impianku. Aku sudah merasakan sesuatu yang berharga dari Wansa. Wansa yang selalu perhatian denganku. Aku pun harus perhatian dengannya. Walau perhatianku kadang kala dinilai Dinsi, temanku terlalu berlebihan.
“Kamu jangan terlalu berlebihan begitu,” nasihatnya.
“Suka-suka akulah,” jawabku sekenanya.
“Terlalu norak dan murahan,” sungutnya.
“Kok, kamu yang marah. Cemburu ya?” sahutku hangat-hangat gembira. Tak tersinggung dengan celotehan Dinsi.
“Sorry ya, kalau aku harus cemburu sama hal begitu. Aku tak ingin kamu kenapa-napa nantinya.”
Sok perhatian ia. Dulu saat aku ingin merasakan kebahagiaannya. Ia tak pernah membagikannya. Tapi mengapa, ketika aku merasakan sebuah kebahagiaan dari Wansa? Ia malah membatasiku. Apakah aku memang salah? Aku anggap, aku tak salah. Sudah tak perlu digubris celotehan Dinsi. Omong kosong.
Wansa sungguh sahabat yang pengertian dan memahami sifatku. Aku selalu merasa damai di sampingnya. Ia selalu sayang denganku. Setiap kali menyapaku, ia selalu menggunakan kata sayang. Tulus diucapkannya dari bibirnya yang tebal seperti ban mobil. Tidak. Aku hanya bercanda saja. Mana ada bibir orang tebalnya seperti ban mobil, paling-paling bibir seperti itu hanya dimiliki dinosaurus atau mahluk raksasa.
Coba anda rasakan, hati siapa yang tak berbunga-bunga setiap hari dipanggil dengan sebutan itu. Sayang dan sayang . Walau aku tahu bunga-bunga tak pernah kembang dalam hatiku. Tapi salahkah aku kalau ingin mendapatkan keharuman dari persahabatan ini?
Keharuman-keharuman mulai merasuki pikiran dan jiwaku yang paling dalam. Saat kusandarkan kepalaku di bahunya. Terasa kedamaian bersarang telak di jantungku. Aku terbuai. Terlena. Makin aku resapi hal tersebut. Bersamanya. Mengukir kenangan-kenangan itu dalam layar komputer. Tersimpan apik dalam sebuah tembang-tembang barat, lagu kesukaanku.

THE WAY YOU LOOK AT ME
By Christian Bautista

No one ever saw me like you do
All the things I could add up to
I never knew just what a smile was worth
But your eyes say everything without a single word

Reff : Coz there’s something in the way you look at me
It is if my heart know you’re the missing piece
You make be believe that is nothing in the world I can be
I never know you see, but there is something in the way you look at me

I can freeze the moments my mind
If there’s a second that you touch your tips to mine
I’d like to stop the clock make time stands still
Coz baby this is just the way I always wanna feel

Reff : I don’t know how or why I feel different in your eyes
All I know is it happen everytime

Ia juga menyukai lagu favoritku.
Kok, kami bisa memiliki kesamaan. Mungkinkah, kami…
Tidak! Aku tidak ingin menghadirkan impianku yang lama kutinggalkan. Aku perlu sebuah kenyataan. Kenyataan. Jerit hatiku.
Keharuman-keharuman mulai menyebar dalam jantungku. Mendapat perhatian Wansa yang begitu mesranya. Aku tak peduli lagi dengan sekelilingku. Dunia inikah yang pernah merasuk dalam impianku. Perasaan selalu ingin bersamanya. Perasaan ingin memberikan pengertian dan kasih sayang padanya. Ah, mengapa aku mulai mengenal kasih sayang? Inikah impianku selama ini. Kasih sayang? Kedamaian? Ketenangan? Rindu menyentak bila tak bertemu dengannya? Ingin selalu berbagi kegersangan air lautan menjamah pantai.
Wansa memang tak lelah membagikan itu seperti kacang rebus pada jiwaku yang paling dalam. Jiwa peka untuk merespon kejadian romantis. Jiwa yang tak bisa kuingkari keberadaannya. Aku juga berbuat begitu. Memberikan apa saja yang bisa membuatnya tersenyum. Sebuah perhatian. Walau aku tak tahu, tuluskah perhatian ini aku berikan atau hanya sekadar berbagi saja? Atau dan atau… entahlah ….
Makin berat Dinsi mengingatkanku. Jangan terlalu dalam membawa perasaan jiwa dalam perhatian. Nanti perhatian itu akan membunuh jiwamu nanti. Betulkah perhatian akan membunuh perasaan? Perhatian yang bagaimana yang bisa melakukan hal seperti itu? Atau ia hanya menakut-nakutiku saja. Atau ia iri kali, karena aku lebih ceria menikmati hidup ini daripada ia yang mulai kendur atau kusam penapakan kehidupannya.
Dinsi sering mengeluhkan orang impiannya yang tak pernah mengertinya lagi. Orang impiannya sudah tercemar, katanya. Tercemar oleh pergulatan impiannya yang mulai tak ia pahami. Ia mulai bertingkah aneh. Ia sering banyak mengagumi keindahan bulan daripada keindahan kenangan bersama. Kadangkala ia bercinta dengan bulan di depan mataku. Hati siapa yang tak pedih. Walau bulan itu adalah benda mati. Tapi ia tak pernah merembulankanku dalam dirinya. Coba kalau ia merembulanku. Akan kuberikan keindahanku, kehangatanku, kedamaianku, semuanya padanya. Aku berusaha meminta pengertiannya. Tapi ia semakin larut dalam impiannya. Akukan butuh… aduh, senguknya hari itu.
Aku menguatkan hatinya hingga banjir bandang tak menghantam deras bola mata beningnya. Kasihan mata bening harus dibasahi dengan air yang tak seharusnya dihadirkan. Memberikan penguatan-penguatan lewat kehangatan-kehangatanku. Menghangati hatinya dalam melupakan kesedihannya. Hingga Dinsi dapat tersenyum.
“Terima kasih, ya!” kata Dinsi padaku waktu itu. Aku hanya mengangguk lirih.
“Sama-sama. Kitakan bersahabat harus selalu menguatkan antara satu dengan yang lainnya,” jawabku.
Dinsi berbinar-binar. Memandangku dengan penuh perhatian. Lama. Aku heran.
“Kamu kenapa memandangku menyelidik seperti ini, Din. Salahkah perkataanku tadi,” rengatku.
“Perkataanmu filosofis sekali. Maafkan atas salahku selama ini ya. Aku sungguh tak memahamimu. Kini aku baru tahu bahwa kamu sungguh sahabat yang yahut,” serunya ingin menjambak rambutku yang tergerai lepas sepanjang kasih ibu.
“Sorry, rambutku mahal… Tak sembarang orang mengacaknya,” kelitku.
“Kamu jahat… akukan cuma ingin merasakan kelembutan rambutmu,” kejarnya.
“Tidak. Tidak sudi. Nanti hilang kemilaunya. Rugilah aku… Penggila romantis,” sahutku berlari jauh dari Dinsi dengan tawa berderai. Yang derai-derainya hadirkan kedamaian dalam jiwaku.
~oOo~

Lima Menit Terakhir
“Sar, kalau sudah begini urusannya. Apa yang harus kuperbuat? Aku takut perhatiannya yang sungguh berlebihan itu menunjukkan dia menyukaiku. Akukan sudah punya pendamping hidup. Kalau belum sih tak apa-apa,” pinta Wansa dengan muka memelas. Meminta saranku.
“Jangan terlalu menduga jauh dulu. Belum tentu perhatian yang berlebihan yang diberikannya itu menunjukkan dia menyukaimu. Jangan ke-GRan dulu. Yakin saja dia tidak akan melangkah jauh untuk mengikatmu. Kalau saja dia memang mau mengikatmu. Sikat saja. Mumpung ada kesempatan. Raihlah. Poligamikan tak dilarang asal benar saja alasannya,” saranku.
“Ngomong sih enak mau poligami. Akukan harus setia dengan pendamping hidupku,” protes Wansa.
“Setia ni ye?”
“Yalah.”
“Begini saja, Wan. Kamu kurangi saja kedekatanmu dengan dia. Kemudian katakan terus terang bahwa kamu sudah ada pendamping hidup. Katakan juga bahwa kamu hanya menganggap dia sebagai teman. Kadangkala kejujuran memang sangat diperlukan.”
“Tapi, aku sulit untuk mengungkapkan kejujuran itu. Aku takut dia menyalahkan arti ucapanku.”
“Kalau begitu. Kamu hindari saja dia, jangan memberikan peluang kedekatan antara kalian. Karena kebersamaan akan menumbuhkan kasih sayang.”
“Tapi, aku sulit untuk menghindarinya. Atau begini saja Sar, kamu saja yang menggaetnya.”
“Enak saja. Maaf aku mau pergi dulu. Aku mau latihan teater. Selamat ya, semoga sukses berpoligami,” seruku dengan tawa berderai.
“Sialan kamu, Sar,” gerutu Wansa.
~oOo~

Ya. Aku baru memahami. Ketenangan. Kebahagiaan. Keceriaan. Sudah merasuk dalam jiwaku melalui desakan hati yang meresak. Perasaan rindu menggebu ingin selalu bertemu dengannya. Perasaan senang bila sudah bertemu dengannya dan ia selalu menyenangkan. Perasaan gelisah. Perasaan damai sendiri. Perasaan tenang sendiri. Perasaan tentram sendiri. Apakah ini yang dinamakan orang dengan jatuh cinta? Betulkah aku telah jatuh cinta? Betulkah impian yang selama ini kucari terdapat dalam cinta? Aku harus memastikan. Aku akan tanya Wansa tentang masalah ini.
Ia akan pergi menemui Wansa. Tetapi langkahnya terhenti di depan pintu rumahnya. Kaget. Orang yang tak diharapkannya datang. Menemuinya. Tiga sekaligus. Dipersilakannya masuk ketiga temannya. Ia curiga ada maksud apa mereka beramai-ramai mendatanginya. Ada apa ya?
”Kami mau minta pertanggungjawabanmu?” ucap mereka serempak.
Aku kaget lagi. Datang-datang mereka hanya ingin minta pertanggungjawabanku. Pertanggungjawaban tentang apaan? Sepengetahuanku, aku tak pernah berbuat salah dengan mereka apalagi berbuat dosa. Jauh sekali.
”Kalian minta pertanggungjawaban apaan dariku? Kalian ini datang dengan racauan yang tak jelas. Kalian sinting ya?” belaku atas ketidakmengertian ini.
”Aku tak sinting. Aku waras. Mungkin kamu yang sinting. Yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang telah kamu lakukan. Phi, aku sudah berusaha melupakanmu. Menghilangkan keinginanku padamu. Aku pun telah mendapatkan ketenangan. Tapi mengapa ketenangan itu kamu caplok lagi dariku,” depak Rendrik.
Belum sempat aku membantah tuduhan Rendrik. Sherlita menimpali.
”Kamu manusia tegaan, Phi. Teman sendiri, kamu tikam dari belakang. Aku yang sudah intensnya meresapi kebahagiaan dalam kediamanku. Kebahagiaan itu malah kamu rampas dariku. Sungguh terlalu kamu, Phi.”
Aku makin tak mengerti. Racauan mereka terlalu mengada-ada. Aku selalu mereka pojokkan. Saat aku ingin memberikan pembelaan. Seketika Dinsi memberikan protesnya.
”Phi, aku sudah menganggap kamu bukan hanya sebagai sahabat, tetapi sudah melebihi saudaraku sendiri. Saudara kandungku. Kamu juga yang telah memberikan keceriaan padaku. Tapi mengapa keceriaan itu kamu ambil lagi dariku. Mengapa kamu tegaan begitu, Phi? Aku tak menyangka hatimu sekejam itu, Phi. Hatimu lebih kejam dari binatang!”
Ah. Dinsi lebih ketus menuduhku. Mengapa mereka semua menjadi begini? Aku harus memberikan argumenku agar mereka tak selalu menyudutkanku. Membersihkan diriku dari tuduhan kejam mereka.
”Dengar semuanya. Aku tak pernah merebut ketenangan, kebahagiaan, dan keceriaan kalian.”
”Bohong?”
”Aku tak pernah berbohong. Sebenarnya kalianlah yang berbohong dan kunilai aneh hari ini. Tidak seperti biasanya. Menuduhku sembarangan tanpa alasan yang jelas. Teman kalian sendiri. Sebenarnya ketenangan, kebahagiaan, dan keceriaan kalian yang mana telah kurampok, kurampas, dan kuambil? Yang aku sendiri tak mengerti!”
Aku mengatakan apa adanya. Aku harapkan mereka dapat mengerti.
”Ketenanganku yang bersumber pada cinta. Cinta ketenanganku yang telah lari padamu,” jawab Rendrik.
”Kebahagiaanku yang tertuang dalam cinta. Cinta kebahagiaanku yang telah memihak padamu,” jawab Sherlita.
”Keceriaanku yang tersalurkan melalui cinta. Cinta keceriaanku yang telah menyahabatimu,” jawab Dinsi.
Urusan cinta rupanya. Cinta.
Benarkah semua cinta sumber ketenangan Rendrik? Cinta bentuk pengungkapan kebahagiaan Sherlita? Cinta wadah penyaluran keceriaan Dinsi telah berpihak padaku?
Mengapa bisa begitu?
Benarkah aku telah mengenal cinta?
Benarkah....? Benarkah...?

~oOo~

Catatan :
Cerpen ini kuciptakan untuk kenang-kenangan buat Dokter Vivi Kadarsih, Dina Tinarsih, Serli Ningsih, Awe 02, dan semuanya deh...! Mengenai nama terakhir ada Kadarsih,Tinarsih, dan Ningsih itu hanya karanganku saja. Hanya untuk memperindah sebuah nama.

Tidak ada komentar:

Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh                                        Menjemput ji...