Oleh : M.Saifun salakim
Embun masih berpasir di kampus kita Kabut masih senang memakai selimutnya. Saat ketukan membangunkanku dari keterlelapan. Kasak-kusuk kukocok mataku.
“Ah, kamu rupanya,” kataku sambil menguap, masih terasa ngantuk.
Kamu sih sudah rapi berpakaian. Tas berisi buku pelajaran tergantung indah di bahumu. Kerudungmu masih alamiah. Putih. Bisa juga kamu pakai orange. Kadangkala pakai kuning keemasan. Warna yang segar untuk menyucikan mata biar bersih dari kotoran atau bebas debu penyakit. Steril. Higienis. Kesegaran sudah berjalan lancar di gerakan tubuhmu.
“Kamu masih bengong melulu. Mandian cepat….! Itulah kalau begadang jangan terlalu malam!”
“Kan kegiatan. Harus dipersiapkan sedari awal perlengkapannya, biar sip kegiatannya. Sukses besar.”
“Kegiatan ya kegiatan. Tapi juga diperhitungkan. Kalau hanya akan mengakibatkan kekambuhan pada penyakitmu gimana?”
Aku hanya terdiam. Benar juga katanya. Sebentar aku perhatikan wajahnya. Serius boch. Tak main. He… he…. Aku malah tersenyum.
“Solidaritas kan perlu?”
“Perlu sih, tapi harus disesuaikan dengan dirimu. Apakah kamu akan jadi altruis terus? Atau kamu ingin jadi lilin terus? Akhirnya meleleh dan menghancurkan dirimu.”
“Bukan gitu Kin.”
“Kalo bukan gitu. Ya, sudahlah. Buruan mandinya. Ini sudah jam tujuh lewat lima belas menit. Nanti anak-anak pade rame. Malu khan mandinya diliati mereka,” tariknya pada tubuhku.
“Ya deh, Kin!”
“Ada apa nih ribut pagi-pagi gini?” tanya Zhea masuk.
“Tak ada apa-apa kok Zhe. Cuman suruh Dodi bersiap-siap saja deh. Sedari tadi belum siapan,” jawab Kintan.
“Dodi. Kin, memang Dodi tuh akhir-akhir ini agak malasan untuk bangun pagi. Biasanya dialah yang paling rajin datang. Aku rasa ada sebab dia bertingkah laku seperti ini.”
“Bisa jadi Zhe. Sebab apaan?”
“Mana aku tau. Cari tau aja sendirian.”
“Ngeledek nih.”
“Tak kok. Memang aku tak tau sama sekali.”
“Kita cari tau yuk?” ajak Kintan bersemangat.
“Ayuk. Demi teman!” kata Zhea menyanggupi.
Aku bersiul-siul ke tempat pemandian. Bukan sebuah pemancuran yang airnya mengalir deras, yang airnya segar mengguyur kepala dan tubuh. Adem ayem dan hangat segar bersemayam. Ini hanya tempat pemandian berupa sebuah perigi. Kedalaman airnya lebih dari dua meter kurang dari tiga meter setengah. Airnya lumayan jernih. Dengan timba kuguyur tubuhku semuanya dan kurasakan kesejukan dan kesegaran. Menguapku jadi hilang. Ngantukku jadi kabur menembus kemulusan langit komulus. Hanya semangat kesegaran menggelora riak pantai, yang gelombangnya memacuku untuk cepat menyudahi-nya agar tetap fit dan prima dalam mengikuti perkuliahan hari ini.
~oOo~
Cerewet. Memang kamu cerewet dalam penilaianku. Kecerewetanmu ini tanpa aku sadari adalah untuk kebaikanku. Kecerewetanmu terbiaskan kalo kuberbuat salah dalam pandanganmu. Kamu begitu jelinya memperhatikanku dari hal-hal yang makro sampai yang mikro atau jasad renik. Layaknya kamu adalah miskroskop yang selalu mengontrolku. Mengamati kesalahanku dari benda-benda yang nampak sampai yang tak kelihatan.
Ada suatu waktu kamu liat keganjilan di kerah bajuku. Langsung saja kamu betulkan. Aku hanya tersenyum melihat tangan gemulaimu membetulkan itu.
“Belajar rapi dikit dong, Dod.”
“Emmmm…” anggukkan kepalaku. Tak hanya disitu saja. Di waktu kita berduaan sedang makan bakso di warung pojok dekat Gang Pandu. Sekali lagi kamu tegur kesalahanku.
“Dod, makan itu tak boleh bersuara. Malu dong didengar orang. Orang akan menilaimu, orang yang tak sabaran alias rakus. Makan tuh coba pelan-pelan dan sabar. Dinikmati dengan segenap perasaan untuk tak menimbulkan suara. Biar makanan yang kita makan dapat bermanfaat. Karena kelezatan makanan itu dapat kita rasakan,” nasihatmu seperti seorang ibu memberi wejangan pada anaknya.
“Insya Allah Kin, akan kucoba,” jawabku mengiyakan sarannya.
Semula bakso itu kuhabiskan dalam waktu lima menit, kini malahan menjadi dua puluh menit. Lebih lama lima belas menit. Tapi tak apa-apa kok. Karena aku sudah diajarinya melatih kesabaran, tak grasa-grusu, dan cara menikmati makanan dengan rasa tanda kesyukuran.
“Kamu nih Dod masih saja salah…!”
“Salah apa lagi Kin?” tanyaku heran, selesai menikmati kelezatan bakso.
“Tuh di pipimu sebelah kanan ada sisa makanan.”
“Oh ya….?” Rabaku pada pipiku untuk menghilangkan sisa makanan itu.
“Belum abis semuanya Dod. Sini sorongkan saja kepalamu kesini. Biar kuhapuskan sisa makanan di pipimu. Lain kali memasukkan makanan ke dalam mulut, pas-pasan dong. Jangan sampai menempel ke lain tempat. Terlihat sembrono saja.” Aku tak berkomentar. Dia ngeluarkan sapu tangan merah dadu dari bajunya. Sebaliknya aku nyorongkan kepalaku ke dekatnya. Dengan cekatan dibersihkannya sisa makanan yang berlepotan di pipiku. Orang-orang di sekitar kami pada senyum-senyum kecil dan tertawa terkekeh-kekeh. Pasti menertawakanku, sudah jadi badut hari ini. Aku tak marah, karena memang aku bersalah. Terlalu sembrono.
“Sudah Dod! Sudah bersih!”
“Terima kasih ya Kin. Kamu memang teman baikku,” pujiku. Sekedar menyenangkan hatinya.
“Tak perlu memuji Dod. Basi Dod.”
“Basi-basi tak apa-apa deh, daripada tak ada sama sekali. Rugi khan! Momen penting dibuang percuma dan tak dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.”
“Kumat lagi penyakitnya,” lirih hatimu bergetar. “Sudah Dod. Ngomongnya stop deh. Don’t to be continue again.I am understand your speak,” larangmu.
“Ya deh Kin, aku berhenti deh,” turutku pada kemauannya. Kalo tak dituruti bisa ngambek kamu. Tak ah! Itu hanya guyonanku saja. Sebenarnya aku yang tak bisa membantah apa yang diperintahkannya. Entah ada magnet apa pada dirinya, buat aku selalu menuruti apa yang disuruhnya. Tapi yang disuruhnya yang baik-baik lho.
~oOo~
Keintiman persahabatan kami terus berlanjut. Tak ada yang merenggangkannya. Walaupun dia sudah punya pacar. Perhatiannya padaku tak berkurang malahan makin banyak. Lebih anehnya lagi. Pacarnya percaya samaku. Aku, orangnya amanah dan dapat dipercaya. Tak mungkin punya niat menohok kawan seiring. Maksudnya merampas Kintan menjadi pacarku, walaupun hubunganku tetap lengket. Kadang-kadang aku juga merenung, apakah perhatian Kintan ini hanya sebatas teman biasa atau ada unsur lainnya? Cinta gitu. Kasih gitu. Sayang gitu. Entahlah. Namun, kenapa kalo tak bersamanya, mendengar guraunya, memperhatikan manjanya, aku kesepian? Atau malahan aku yang jatuh cinta padanya. Jangan ah! Aku tak boleh mencintainya, jadi sahabat sejatinya saja. Karena aku tak ingin menggunting dalam lipatan, mengkhianati amanah orang. Oh desahku, pendar. Allah, kuatkanlah imanku dan ketabahan ini. Jangan sampai aku terjerumus pada kehancuran. Karena hal yang sepele saja. Yang tak bisa kukendalikan. Akan membuat diriku dimusuhi orang.
Entah mengapa hari ini tingkah lakumu aneh. Nampaknya kamu sedang emosi. Marah. Apa sangkut pautnya denganku. Setengah memaksa, kamu menyuruhku mengikuti langkahmu. Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan. Wah, hal penting apalagi nih? Rasanya kita selalu terbuka dalam segala persoalan. Tak pernah ada yang ditutup-tutupi. Hal pribadi pun sering kita bagi, kalo ada masalah dalam penyelesaian tersebut. Dengan dipaparkan begitu, teman khan bisa memberikan jalan keluarnya. Setelah duduk di taman. Bertemu muka dan berhadapan gitu. Betapa seramnya kalo mukamu sedang marah.
“Dod, benar kamu pacaran dengan Rasti?”
Akh, kok dia tau aku pacaran dengan Rasti. Bisa jadi dia tau dari Tessa.
“Benar Kin. Sudah dua bulan ini. Memangnya ada apa?” bicaraku polos.
“Apa? Kamu tau siapa Rasti itu sebenarnya?”
“Tau. Dia adalah orang yang baik dan pengertian serta lemah lembut tutur bahasanya.”
“Dengkulmu, Dod! Itu hanya kepura-puraannya saja. Sebenarnya dia hanya mengincar kekayaan, kejayaan, dan memanfaatkan dirimu. Cinta baginya hanya kamuflase doang.”
“Tak mungkin Kin. Aku belum percaya dengan semua ini. Kamu saja yang mengada-ngada. Atau jangan-jangan kamu cemburu?”
“Mengapa musti aku cemburu?”
“Karena mungkin juga, kamu menaruh hasrat padaku kini.”
“Ah Dod, sejauh itukah pradugamu. Impossible Dod.”
“Dod, aku ini hanya ingin memperingatkanmu. Karena langkah yang kamu ambil adalah salah dengan mencintai Rasti. Karena aku tau siapa Rasti itu sebenarnya. Dod, sebagai teman dekatmu, aku tak ingin melihat kamu kecewa dan sakit hati. Karena dia bukan wanita yang tepat untukmu.”
“Jadi, wanita yang tepat untukku adalah kamu. Dengan terus menjelek-jelekkannya. Dengar Kin, saat kamu berpacaran dengan Herman, aku tak pernah ambil perduli. Karena sebagai teman, aku tak mau intervensi dalam hidupmu. Aku tau batas dalam berteman. Sekarang malahan kamu ingin mengaturku dan menjelek-jelekkan dia, yang baru saja aku cintai. Sebenarnya Kin, apa sih maksudmu dengan semua ini? Atau sebaliknya kamu suruh aku menyayangi dan mencintaimu!”
“Naif sekali pikiranmu, Dod. Aku tak memintamu sejauh itu. Kamu keliru Dod! Sebab matamu sudah buta oleh cinta imitasinya Rasti. Konyol Dod. Aku tak sangka kamu yang pintar pertimbangan bisa sebodoh ini. Aku kecewa sama kamu Dod.”
“Kecewa terus alasanmu. Apakah tak ada alasan lain. Kin, kalo kamu memang suka padaku tak usah munafik, katakan saja terus terang. Jangan mencari alasan menjelek-jelekannya. Mungkin aku bisa mempertimbangkannya untuk memilihmu?”
“Kamu makin ngawur saja. Tak mungkinlah aku jatuh cinta padamu. Kamu khan temanku.”
“Bisa jadi Kin….”
“Keterlaluan kamu Dod.”
“Memang gitu kenyataannya.”
“Kenyataan apanya Dod?”
“Kamu memang menyintaiku.”
“Tak Dod! Tega kali kamu menuduhku seperti itu,” lirih suaramu. Memunculkan butiran hujan membasahi kelembutan ranah pipimu yang mulus.
“Aku tak sangka Dod, serendah itu pikiran atau pendapatmu. Rupanya aku salah menilaimu. Hari inilah aku tau kebenarannya bahwa kamu tak sebaik dulu. Aku sangat menyesal mengenalmu hari ini. Karena kamu sudah membuatku kecewa berlebihan bahkan memukul perasaanku jadi sakit. Kalo kamu memang tak mau diperingatkan, ya sudahlah, tetapi janganlah mengaitkan alasanku dengan tuduhan bahwa aku mencintaimu, Dod! Dod, kalo aku salah maafkanlah. Karena aku telah jauh mencampuri kehidupanmu. Urusan pribadimu. Benar juga, sebagai teman aku harus tau diri. Hari ini, detik ini, dan seterusnya, aku janji tak ingin mencampuri urusanmu lagi. Kamu mau melintang kepukang kek, terserah. Karena hari ini aku kecewa dengan sikapmu,” katamu berurai air mata. Tangis penyesalan. Seharusnya aku ingin meledak marah, namun melihat kamu berurai air mata, niat hatiku jadi nyurut. Lalu seterusnya larilah kamu meninggalkan aku sendirian.
“Kin, apakah ini pertanda hubungan persahabatan kita akan berakhir?” seruku masih berpikir waras. Walaupun sebenarnya aku yang harus kecewa dengan sikapnya, bukan dia Sok mengaturku.
“Terserahlah Dod,” serumu dari kejauhan.
Peristiwa itu adalah cikal bakal perenggangan hubungan persahabatan kita. Walaupun bertemu, keintiman kita tak sehangat dulu. Saling bersama. Saling berdua. Kalo aku ajak main-main. Kamu menampiknya. Ah, lagi malas. Banyak kerjaan di rumah. Ada juga kadang kala kamu menghindar dariku. Tak lagi ingin dekat denganku.
Waktu kamu sakit, aku coba menjengukmu. Kamu menolaknya. Pacarmu juga ada disitu. Menjengukmu. Semakin kuat alasanmu. Hampir aku marah saat itu, tapi tak jadi. Jangan-jangan aku yang benar-benar salah. Mencinta orang yang salah seperti apa yang dikatakannya. Kintan, mengapa semuanya ini jadi begini? Mengapa gara-gara perbedaan pendapat kita saling berjauhan? Persahabatan kita jadi berantakan begini. Kintan, benarkan aku yang bersalah? Atau kamu betul-betul kecewa dengan sikapku waktu itu? Atau kamu betul-betul sakit hati? Karena waktu itu, aku sudah membangkang perintahmu. Tak menuruti kemauanmu atau apa yang kamu nasihatkan. Yang biasanya belum pernah aku lakukan sebelumnya. Padahal apa yang kamu lakukan selalu demi kebaikanku. Kintan… Kintan… Maafkanlah salahku, kalo memang aku yang bersalah.
~oOo~
Penyakit lamaku kambuh lagi. Paru-paru lembab. Sekarang jadi komplikasi. Apalagi ditambah penyakit cacar. Lengkap sudah penderitaanku. Aku hanya mengerang-ngerang di pembaringan. Teman yang selalu aku baiki tak pernah datang menjenguk. Mereka menghilang entah kemana. Hatiku jadi sunyi. Rasti juga tak pernah menampakkan batang hidungnya. Padahal dia sudah dengar kabar bahwa aku sakit. Benarlah apa yang dikatakannya bahwa Rasti tak serius mencintaiku. Nyatanya aku sakit, dia tak datang menjenguk untuk mengetahui keadaanku atau menghiburku agar mempunyai ketabahan dalam jalani cobaan ini. Doakan supaya aku cepat sembuh. Barulah aku sadari hal itu di saat aku ditinggal sendirian dalam erangan.
Jiwaku semakin gersang dan senyap dalam keterbatasan. Sunyi dalam cobaan penyakit ini. Aku ibaratkan sampan yang berlayar sendirian di tengah lautan, tiada ada dayungnya. Terkatung-katung tak tentu arah diterjang gelombang laut. Atau bisa jadi, aku sekarang adalah pengembara yang kehausan di tengah gurun pasir. Yang membutuhkan air untuk penyegar kehausanku. Tak ada satu pun yang memberikan penyegaran itu. Barulah terasa aku membutuhkan Kintan, teman baikku yang pernah aku kecewakan. Kin, maafkanlah aku yang mengecewakan dan salah dalam menilaimu.., kenangku pilu. Tiada terasa cairan salju merembes menembus benteng ketegaranku sebagai laki-laki.
Dalam sakit aku hanya ditemani orang tuaku. Merekalah dengan telaten merawatku, agar cepat sembuh. Karena dalam hubungan keluarga. Aku anak yang tak banyak bertingkah, selalu mendengarkan dan menjalankan perintah dan nasihat orang tua. Hingga mereka sangat sayang denganku. Kadang kala kalo sudah panas cacarnya meninggi. Aku merintih dan mengerang dengan berulang kali menyebut namamu, Kin. Orang terdekat dalam hidupku. Hingga orang tuaku tau. Mereka berpikir, mungkin nama Kintan adalah orang yang begitu berarti dalam hidupku. Bisa jadi Kintan kekasihku. Bisa jadi dengan hadirnya Kintan bisa menyenangkan hatiku dan mengurangi penderitaan penyakitku. Mereka pun mencari tau kamu berada dimana. Untuk memanggilmu agar bisa temaniku. Akhirnya orang tuaku menemukanmu juga. Mereka membeberkan masalahnya. Semula kamu menolak, tapi kamu mau juga menemuiku yang selalu mengerang-ngerang. Melihat kamu datang, dengan dipaksa-paksakan aku coba tersenyum menyambutmu.
“Maafkan kesalahanku Kin, sudah membuat kamu kecewa,” tangisku dalam kepiluan. Baru kali ini aku menangis, walau tak banyak keluar. Ini betul-betul tangis penyesalanku.
“Sudahlah Dod, lupakanlah hal itu. Aku juga salah karena tak bisa menempatkan suatu persoalan dengan benar. Padahal khan kita hanya sebatas teman. Maafkan aku juga ya Dod,” sahutmu sambil menghapus butiran bening yang tersisa di mataku.
“Jangan berkata begitu Kin. Membuat aku tambah bersalah saja,” serak suaraku memunculkan kebeningan salju mengalir lagi.
“Maaf Dod, kalo itu membuatmu jadi bersalah. Aku janji tak ngomong seperti itu lagi. Sekarang kamu tak boleh susah dan bersedih lagi, khan temanmu yang satu ini ada di sampingmu. Walau temanmu yang lain tak datang. Aku akan temani kamu sampai sembuh,” kata Kintan menguatkan semangatku.
“Terima kasih Kin…”
“Sekarang kamu istirahat saja dulu biar lekas sembuh,” katamu selanjutnya. Tak lupa kamu menghapus cairan bening mataku yang masih tersisa hingga kering tiada bersisa. Mulus. Kintan, kamu the best friend. Barulah aku sadari bahwa aku mulai mengharapkanmu. Ada bening kasih bertandang di jiwa padamu. Karena melihat begitu besar perhatian dan kasih sayangmu. Aku tak tau, apakah kasihku padamu akan jadi kenyataan? Mungkinkah kamu juga merasakan perasaan yang sama denganku, sekarang ini. Tak taulah. Kalo pun tidak. Aku sudah merasa senang punya teman sebaik kamu.
Waktu Kintan sakit, Dodi yang menemani dan merawatnya bahkan memberikan semangat agar tabah dan sabar menerima cobaan. Pelayanan prima yang diberikannya begitu menyentuh jiwa Kintan. Beruntungnya kalo aku jadi sama dia. Tapi? Ditepisnya lagi keinginan itu. Tak mungkin ah. Karena hubunganku dengan Herman sudah begitu intim. Tak lama lagi akan mengarungi bahtera rumah tangga. Ah Dodi, bairlah kenangan ini akan kuingat dalam jalinan kehidupanku. Dod, mungkin kamu bukan jodohku, lenguhmu.
“Ada apa Kin?”
“Tak apa-apa Dod!” tatap Kintan berbinar-binar.
“Nih dimakan buburnya ya Kin, sebelum makan obatnya. Mau aku suapi!” Kintan hanya mengangguk dan memberikan isyarat mata. Pertanda menyatakan ya. Dodi mengambil mangkuk berisi bubur dan tangannya sebelah mengangkat kepala Kintan. Lalu tangan kanannya memasukan bubur ke mulut Kintan. Gitulah seterusnya sampai Kintan menyatakan cukup. Butiran obat pun dengan pelan dimasukkannya ke mulut Kintan. Lalu untuk melancarkan masuknya obat, dia memberikan Kintan segelas air. Kintan pun berbaring lagi. Dalam hatinya dia bersyukur punya teman sebaik seperti Dodi. Hal itu membuat kecumburuan di hati Herman. Namun masalah itu bisa diselesaikan Kintan. Dengan mengatakan apa adanya. Berarti Kintan berterus terang pada Herman bahwa hubungannya dengan Dodi hanya sebatas teman. Kalo Herman tak bisa menerimanya berarti hubungan mereka cukup sampai disini. Herman akhirnya dapat memaklumi. Karena rugi kalo dia melepaskan Kintan. Orangnya baik, jujur, dan pengertian. Jarang kali ditemui wanita sebaik dia, kaji Herman. Selain itu, dia harus bisa menepis hal yang bukan-bukan mengenai keakraban mereka. Walau kadang terlalu berlebihan. Mengenai hal prinsipil yang akan melahirkan buah esensial. Ah, aku harus yakin bahwa Dodi tak mungkin menohokku, gitu juga Kintan. Mereka adalah orang-orang yang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Orang yang dapat berbuat adil. Biarlah mereka akrab seperti itu. Sahabat sejati memang seperti itu. Seharusnya aku yang bisa meniru tingkah laku dan perbuatan seperti yang dilakukan Dodi. Menumbuhkan kepercayaan diri pada hati Kintan.
~oOo~
“Dod, kamu ada waktu nanti sore?”
“Tak ada Kin. Ada keperluan apa Kin?”
“Kamu bisa antarkan aku ke pelabuhan!”
“Kamu mau pulang ya Kin?”
“Betul Dod! Aku dapat kiriman surat dari orang tuaku untuk menyuruhku pulang. Ada hal penting yang akan dibicarakannya.”
“Oh gitu Kin. Jadi kamu tak akan balik kesini lagi?”
“Entahlah Dod. Tapi bisa jadi tidak. Sebab aku akan…. Ah, sudahlah Dod nanti saja aku beritahukan.”
“Sekaranglah Kin?” pinta Dodi. Karena hati Dodi menyemak bahwa dia akan kehilangan Kintan.
“Jadi tidak ngantarnya?” hindar Kintan untuk mengalihkan pembicaraan tersebut.
“Ngapa tak diantar sama Herman. Aku tak enak sama dia kalo terus ngantarmu. Apa katanya nanti.”
“Katanya tak apa-apa.”
“Kok, bisa gitu Kin jawabannya. Jangan-jangan itu jawabanmu saja.”
“Abis, dia sudah duluan pulang. Dia sudah nunggu disana!”
“Duluan pulang? Nunggu disana?” kejutku sangat. Pasti ini ada sangkut pautnya dengan Herman, kepulangan Kintan secepat ini. Mungkinkah mereka akan…
“Ada apa Dod?”
“Tak apa-apa kok Kin. Oh ya Kin, aku siap mengantarmu.”
“Terima kasih Dod.”
Sore itu aku antarkan dia dengan riang gembira ke pelabuhan. Di pelabuhan ramai dengan orang yang bepergian ke tempat tujuannya. Ada yang ke Semarang, Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Kamu akan pulang ke Yogyakarta. Aku bawa tasmu sampai ke kade ekspres, akan mengantarmu pulang. Banyak kali barang-barang yang kamu bawa.
Kita duduk sebentar sambil menunggu ekspres bertolak. Lalu kamu memelukku erat-erat. Ku pun merangkulmu dengan erat pula. Seakan kita tak mau dipisahkan. Cairan kebahagiaan meleleh di pipi kita masing-masing.
“Kin, mengapa perpisahan ini terjadi?”
“Tak taulah Dod. Terasa singkat sekali kita berjumpa dan bersahabat. Rasanya aku ingin lebih lama lagi denganmu. Tapi apalah daya….,” serak suaramu.
“Tak bisakah ditunda lagi Kin kepergianmu barang beberapa hari lagi?”
“Tak bisa lagi Dod…”
“Kin… Kin…..” Makin erat aku memeluknya. Seakan tak merelakan kamu pergi. Cairan bening terus merembes. Orang di sekitar pelabuhan terharu juga melihat perpisahan ini. Kita tersentak dari keterharuan kala peluit ekspres berbicara lantang. Memberitahukan kepada penumpang ekspres bahwa sebentar lagi atau dalam hitungan limat menit ekspres bertolak meninggalkan pelabuhan. Kintan pun bergegas untuk memasuki ekspres, tapi dia berbalik lagi. Merangkulku lagi. Memelukku lagi. Terakhir dia mencium kedua pipiku, tanda salam perpisahan.
“Dod, don’t forget me. Remember to me in your time. I miss you forever,”ujarmu dengan kesenduan lalu masuk ke dalam ekspres.
“Yes Kin. I miss you forever too. Come back to here. I will waiting for you in everytime.”
“Ya Dod!” serumu dari kejauhan. Baru aku tau dengan kepergiannya, ada sesuatu yang aku rasa hilang dari hatiku. Apa itu? Aku tak tau wujudnya. Aku tau hanya kehampaan, kesunyian, dan kegersangan serta kekosongan. Aku tau juga bahwa jiwa dan sanubariku yang selalu berbintang-bintang. Sudah berongga-rongga dan kosong melompom di tengah aluran pelangi yang membentang. Bolong di keluasan angkasa raya !
Balai Berkuak, 9 April 2004
~~~~~&&&&&&~~~~~
CATATAN:
Cerpen ini dibuat untuk kenang-kenangan pada temanku; Anny Nur Asyifa, Dedy, Artisa, Diana Taha, Karmisah Isnaniah, Salwiana, dan yang tak tersebut. Sungguh banyak sekali…. !
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar