Oleh: M. Saifun salakim
Di simpang jalan kecoklatan meteorit meledak
Tersembur dari inti nuklir kehidupan
Hingga kita terimbas percikan bintang-bintang kecil
Membeset sekujur diri
Menimbulkan bercak-bercak merah hati
Seperti virus ebola melanda dunia
Merestankan bangkai dan tulang yang tergeletak
Tak bermakna
Padahal mereka hanya butuh minuman perasa
Laksana soda melemparkan buih busa
Dalam hembusan angin rapat
Beginilah…… begitulah……
Yang tersembur dari mulutmu berbau wiski
Mengaburkan jiwa bangsaku menjadi narapidana
Mengambang di terali kepedulian kaca mata
Pecah tak bersuara
Walaupun bunga layu luruh dari pepohonan
Lolongan anjing membungkam hari pengemis pusoh
Begitu gigih mengukur jalanan waktu
Telah membeset sekujur tubuh lapuknya
Menyisakan serpihan kehidupannya
Berserakan di limbah pabrik, rumah seribu kaca,
Gedung menjulang langit dan lalu lintas kehidupan
Laksana bidadari kahyangan
Tapi ia tetap terpampang penuh rembulan
Walaupun alam sekitar menyudutkannya
Karena mereka selalu bersembunyi
dalam selimut halimun
Tak mau mendekap saudara rentanya
Tak membuahkan mutiara
Secepatnya kilat aku memantong andang kencana
Menghadapkan mukanya di pangkuan mereka
Dengan mendesirkan kesejukan segala
Bahwa kita juga sumbu pengemis dalam hatinya
Kamar Renungan, 11 Oktober 2001 (21.00)
Kamis, 13 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Oleh : Sarifudin, S.Pd. Guru bisa juga diistilahkan dengan tenaga pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan segala kemampuannya berusah ...
-
Jingga Aksara Menawan Puisi akrostik dari nama: Musfeptial Karya: Sarifudin Kojeh Menjemput ji...
-
Rasa mulas m elilit-lilit. Kening berkerut. Mulut mengucapkan kata Allah untuk menahan rasa sakit. “ Subhanallah!” jerit nya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar