Oleh : M.Saifun salakim
“ Dokternya ada?” itulah kata-kata yang seringkali ditanyakan pasien pada tetangga dokter. Habis rumah dokternya tertutup selalu.
“Dokternya belum pulang,” jawaban yang dapat diberikan oleh tetangganya dokter.
“Terima kasih, Pak!” sahut pasien tersebut lalu ngeloyor pergi.
Tetangga dokter itu adalah cikgu, yang mengajar di SMA Pertalian Kasih. Mereka adalah Tanto, Sahid, dan Iman. Tanto spesifiknya mengajar Kimia dan Biologi. Sahid spesifiknya mengajar Bahasa Indonesia. Iman spesifiknya mengajar Bahasa Inggris. Mereka tuh berasal dari kota yang berbeda. Tanto pendatang dari Jawa. Sahid pendatang dari Kayong City. Iman pendatang dari Pemangkat (Sambas). Mereka bisa bersatu dalam satu naungan. Satu rumah lagi. Asyikkan! Akur dan damai selalu. Semuanyakan, berkat adanya semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Mereka adalah teman-teman dokter yang begitu dekat. Tetangga dekat. Yang sering ngumpul bareng sama dokter, berkelakar, bercanda, dan berbagi cerita-cerita. Pokoknya dekatlah.
Di hari berikut dan seterusnya. Begitulah komunikasi yang terjadi antara pasien yang ingin berobat pada dokter dengan tetangga dokter tersebut. Menunggu kehadiran dokter yang juga belum memunculkan wajahnya atau batang hidungnya.
Mengapa mereka tetap ingin berobat dengan dokter Haris? Dokter yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya. Padahalkan, banyak juru rawat atau dokter yang lain, mungkin lebih profesional lagi dari dokter Haris! Mereka punya alasan tersendiri. Sebagian alasan itu adalah dokter Haris orangnya baik hati dan ramah pada siapa saja. Dalam menangani penyakit dokter Haris terkenal sabar, telaten, dan teliti serta tidak sembrono. Sehingga tidak menimbulkan malapraktik, yang banyak dihebohkan sekarang ini. Pelayanan dokter seperti itu membuat pasien merasa puas.
Dalam berobat dokter Haris juga tidak menentukan seberapa besar biaya pengobatan itu, pembayarannya seikhlas pasien memberi. Asalkan sudah mencukupi harga obat yang diberikan pada pasiennya. Selain itu, dokter Haris juga meyakinkan pada pasiennya bahwa yang menyembuhkan penyakit, bukanlah dirinya tetapi Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini agama si pasiennya. Dirinya hanyalah sebagai perantara saja. Hakikatnya bahwa kesembuhan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu pasien harus yakin bahwa Tuhanlah penyembuh segala penyakitnya. Sugesti yang diberikan dokter Haris dibenarkan juga oleh logika mereka dan makin menambahkan ketebalan dan kemantapan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sembah. Setiap tarikan napas. Karena itulah mereka menyenangi dokter Haris.
~oOo~
Sebelumnya susah juga dokter Haris menarik simpati pasiennya untuk berobat. Awalnya dia datang ke desa itu, pasiennya terkenal cuek dan antipati serta alergi dengan yang namanya dokter. Mereka lebih suka berobat ke dukun. Dengan cara pengobatan sesuai dengan keahlian dukun. Walaupun untuk perabah pengobatannya lebih besar. Mereka tetap memenuhinya. Begitulah adat turun temurun mereka. Masih mereka pegang teguh dan kuat-kuat. Sehingga ruang praktik dokter selalu sepi-sepi ayam. Karena tidak ada pasien yang mengunjunginya. Abis kalo sakit, masyarakat desa selalu datang ke dukun bukan ke dokter. Yang masyarakat yakini bisa menyembuhkan segala penyakit. Dokter tidak bisa.
Siang nan cerah ini. Mentari menyalangkan matanya besar-besar. Dipelototkannya. Menyapukan pandangan ke seluruh jagat bumi di bawahnya. Dokter Haris lagi duduk santai di ruang kerjanya. Seketika dia tersentak mendengar keributan riuh di luar.
“Gerangan apa yang telah terjadi?”
Dia melihat banyak orang mendatanginya.
“Wah, ada apa ini? Koq, mereka berdemonstrasi ke sini. Apakah ini pengusiran besar-besaran terhadap saya? Tanda protes atas kejengkelan mereka atau tanda kemauan mereka menolak atau tidak menerima kehadiran saya di sini?” Dokter Haris coba tenangkan jiwanya. Suara ribut di luar semakin gaduh dan ramai.
“Dokter, keluaaarrrrr! Cepat kesiniiiiiiiiiiiiiii!”
Gelombang derap berladam gaduh semakin mendekat. Bismillahirrahmanirrahiim. Dimantapkanya juga kakinya melangkah menyongsong dan menyambut masyarakat yang ramai mendatangi. Karena tidak biasanya hal itu terjadi seperti ini. Baru kali ini. Apa nggak dokter Haris merasa tercekat.
“Ada apa kalian ramai-ramai datang ke sini?” tanya dokter Haris dengan hati-hati. Takut salah ucap. Bisa fatal urusannya.
“Kami minta dokter menyembuhkan penyakitnya,” ujar salah satu juru bicara masyarakat. Lalu dia menunjuk orang tua yang terbujur lemas, tidak punya tenaga atau bertenaga. Digotong oleh empat orang pengiringnya dengan menggunakan tandu. Dia sering mengeluarkan darah dari mulutnya. Darah itu membasahi jenggotnya yang meranggas seperti pepohonan kekurangan nutrisi makanan dan air. Wajahnya sungguh pucat, sepucat mayat. Sepertinya cukup banyak dia mengeluarkan darah, sebelum diantar masyarakat ke ruang praktik dokter Haris.
“Maaf ya saudara-saudara. Saya tidak mau melangkahi adat disini. Biasanya kalo sakit dibawa ke rumah dukun bukan ke sini dulu. Untuk itu, lebih baik orang sakit ini saudara-saudara bawa saja ke rumah dukun, minta obati sama dukun dulu,” jawab dokter Haris dengan tenang.
“Mau dibawa ke dukun yang mana lagi dokter, sedangkan yang sakitnya adalah dukunnya sendiri,” kata juru bicara tersebut.
“Ah, dukunnya sendiri,” kaget dokter Haris seketika.
Pantesan, gumamnya dalam hati.
“Oh, yang sakit ini dukunnya?”
“Betul dokter. Kalo sudah tau. Cepatlah dokter! Sembuhkan dia, keburu dianya parah nanti lalu mati. Kalo dia mati sebelum mendapat pengobatan dari dokter. Tidak tanggung-tanggung dokter juga akan kami buat mampus,” ancam juru bicara masyarakat.
“Tenang saudara-saudara. Sabarkan emosi anda,” peringatkan dokter Haris mendinginkan emosi masyarakat yang memanas itu.
“Kami sudah tidak bisa tenang lagi dokter. Apalagi melihat penderitaannya yang sungguh menyedihkan ini. Apalagi melihat darahnya terus keluar. Rasanya kami ingin sekali membunuh orang yang telah mencelakainya.”
“Oh begitu. Sebenarnya dukun kalian ini terkena apa?”
“Katanya, dokter! Dia terkena racun angin. Dikirim seseorang yang tidak suka dengan dia melalui perantaraan angin. Racun keji yang bisa mematikan. Kalo tidak mendapatkan pengobatannya yang tepat. Dia bisa mati. Tepat kenanya tengah malam tadi, dokter.”
“Oh begitu,” lirih suara dokter Haris.
“Oh begitu. Oh begitu terus! Kapan dokter mau mengobatinya? Kalo memang dokter tidak sanggup mengobatinya, bilang dari tadi. Jangan membuat kami lama menunggu. Biar urusannya cepat selesai. Menamatkan riwayat dokter duluan. Karena percuma saja anda seorang dokter, yang kami anggap setaraf dukun yang sakit ini, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa mengobati penyakit. Lebih baik kami tidak memiliki anda. Habisi dia sekarang juga!” gelegar juru bicara masyarakat memberikan komandonya. Seseorang dari keramaian masyarakat yang berjejer itu maju ke depan, mendekati dokter Haris. Siap menghabiskan riwayat kehidupan dokter Haris.
Walaupun dokter Haris merasa tersinggung dengan kata-kata pedas juru bicara masyarakat, namun dia masih bisa bersabar. Segala persoalan harus dihadapi dengan ketenangan dan kesabaran. Biar pikiran kita dapat berpikir jernih dan jelas untuk mencarikan solusi persoalan tersebut. Walau di sisi lain harga dirinya seorang dokter merasa dijatuhkan, namun dokter Haris masih bisa tersenyum. Dokter Haris mengangkat tangannya tanda mencegah perbuatan itu.
“Tunggu dulu saudara-saudara. Baiklah saya akan berusaha mengobatinya. Moga saja dengan perkenan Allah, dukun kalian bisa disembuhkan lagi seperti semula. Bawalah dia ke ruang praktik saya, agar saya bisa memeriksanya. Sebenarnya dia sakit apa? Kalo sudah tau sakitnya. Insya Allah, barulah saya berusaha mengobatinya,” ujar dokter Haris masuk duluan. Diikuti oleh empat orang yang menggotong si sakit. Selebihnya menunggu di ruang depan.
Si orang tua itu rupanya terkena paru-paru, bukan terkena racun angin, seperti disangkakan masyarakat desa dan dukun itu sendiri. Paru-parunya mengalami kebocoran. Untuk itu perlu ditambal agar sehat seperti semula. Penambalannya bukan dengan obat-obatan batuk, pilek, jantung atau obat dengan cara tempong tawar atau jampi-jampian, namun penambalannya tentu dengan obat-obatan paru-paru dan perawatan intensif. Dengan penambalan yang baik dan perawatan intensif dari dokter Haris, orang tua itu dapat pulih seperti biasanya. Maka sejak itu masyarakat mulai mempercayai keampuhan pengobatan dokter. Mereka mulai mau berobat ke dokter. Mereka mulai menyadari juga bahwa dokter bisa menyembuhkan penyakit.
Sedikit pengertian ya, bahwa sebenarnya yang menyembuhkan penyakit bukanlah dokter tetapi Allah.
Pandangan masyarakat yang keliru itu juga akan diluruskan dokter Haris. Dokter Haris adalah seorang hamba Allah saja. Perantara saja. Tetapi yang memberikan kesembuhan penyakit adalah Allah. Itu baru benar kerangka berpikirnya.
Dokter Haris yang baik hati tidak mau menjatuhkan privacy pak dukun itu. Dia mengambil jalan terbaiknya, yaitu dengan jalan menjalin kerjasama pengobatan dengan pak dukun itu. Jika masalah sakitnya bisa ditangani dukun, maka dukunlah yang akan menangani atau mengobatinya. Jika sakitnya yang berkenaan dengan dokter, maka dokterlah yang akan menanganinya. Sehingga pengobatan yang mereka jalankan tetap berjalan sesuai relnya. Tidak ada yang saling sabotase atau mencuri lahan pekerjaan orang.
~oOo~
Suatu saat dokter Haris kaget. Rumahnya dikunjungi seekor ular yang kepayahan. Dokter Haris mencoba mengusirnya berulang kali. Namun ular itu tidak beranjak dari tempat semula. Dokter Haris cape sendirian. Sejenak di aturnya pernapasan biar lancar lagi mengalir, abis keletihan. Naluri kedokterannya mulai bekerja. Mungkin saja ular ini butuh pertolongan.
“Kamu butuh pertolonngan?” tanya dokter Haris. Ular itu menganggukkan kepalanya. Dokter Haris tersenyum cerah dan berlega hati. Dia lalu memberikan pertolongan pada ular itu hingga ular itu sembuh dari penyakitnya. Ular itu menjadi girang gembira. Dengan lidahnya yang basah dijilatinya tangan dokter Haris sebagai ungkapan pernyataan terima kasih atas pertolongan itu.
Dokter Haris, pasienmu sungguh banyak. Tidak hanya manusia. Sebangsa binatang pun juga pasienmu, seperti spesies ular, kalajengking, tikus, semut rangrang, kaki seribu, dan masih banyak lagi. Semuanya kamu layani dengan baik. Alhamdulillah, atas perkenan Allah semua penyakit diobatimu dapat sembuh semua. Dari itu tidak mengherankan kedatangannya dari bepergian ke luar kota ditunggu-tunggu oleh banyak pasiennya.
~oOo~
“Dokter mau kemana? Mengapa cepat tinggalkan kami? Kami masih membutuhkan sentuhan lembut tangan dokter,” seru mereka yang berusaha menahan kepergian dokter Haris. Yang setelah datang dari bepergian cukup lama. Hanya untuk sebuah urusan kepindahan saja. Apa tidak masyarakat menjadi terkejut? Apa tidak masyarakat merasa kehilangan sosok figur dirinya? Sudah melekat di hati masyarakat semua. Sudah terpatri di denyutan darah masyarakat semua. Dokter yang sungguh baik hatinya. Datang sebentar hanya untuk berpamitan.
“Maafkan saya, saudara-saudara saya semuanya. Semua ini sudah kehendak-Nya. Saya harus pindah tugas,” ujar dokter Haris melunakkan hati masyarakat yang merasa bersedih.
“Dokter tidak boleh pergi dari sini. Dokter masih kami butuhkan di sini. Coba lihat dokter, masih banyak paisen yang ingin perawatan dari dokter,” protes juru bicara masyarakat.
“Saya tau itu. Tapi saya pun tidak bisa menolak keputusan dari atasan saya. Kalo saya menolak, pembangkangan namanya. Bisa-bisa saya akan dinonaktifkan dari tugas ini. Saya tidak ingin kehilangan jabatan ini. Cobalah saudara-saudara mengerti saya juga,” kata dokter Haris.
“Kami semua sudah mengerti dokter. Kalo begitu kami akan demo saja. Mendemo atasan anda supaya membatalkan pemindahan anda ke tempat lain. Kami berusaha dalam pendemoan ini tidak dilakukan dengan tindakan keras, namun dilakukan secara damai serta kami akan berusaha sekuat mungkin tidak meniadakan jabatan dokter, gara-gara demo yang kami lakukan. Kami hanya memberikan pengertian atasan anda supaya mereka bisa lagi mempertimbang-kan dan memenuhi keluhan dan aduan kami. Sebab dokter masih sangat-sangat kami butuhkan,” kata juru masyarakat lagi. Masyarakat pun mendukung usulan itu. Yel-yel menahan kepindahan dokter Haris berdendang riuh rendah. Gendang dan musiknya masih terdengar hingar bingar.
“Saudara-saudara saya, saya hargai antusias kalian semua. Namun pernahkah kalian berpikir, kalian ke sana mau pakai apa? Sedangkan jarak dari desa ini dengan kantor atasan saya sungguh jauh. Bukan saya bermaksud melemahkan semangat kalian semua. Coba memberi pengertian saja. Selain itu terpikirkan oleh kalian semua, suara kalian mungkinkah didengar oleh mereka? Ingat! Mereka juga punya prinsip. Apa yang sudah mereka putuskan atau tetapkan tidak mungkin ditarik kembali. Kalo itu mereka lakukan. Sama saja mereka membuat malu diri sendiri dan mengingkari kekonsistenan mereka. Ini saya utarakan agar kalian semua bisa memahaminya. Sebaiknya saran saya, urungkan saja keinginan kalian semua untuk datang ke sana. Tidak ada gunanya. Sia-sia saja. Lebih baik kini, kalian semua doakan saya supaya keberangkatan saya sampai ke tempat tugas baru dengan selamat. Belajarlah untuk berlapang dada dan menerima sesuatu dengan ikhlas. Mungkin ini aluran kehendak-Nya. Oh ya, saya doakan pula semoga saja kalian semua dengan cepat dapatkan dokter pengganti saya yang baru. Selamat tinggal saudara-saudara saya semuanya,” ujar dokter Haris. Lalu dia memasuki mobil yang sudah siap menunggunya sedari tadi. Siap membawa dirinya ke tempat tugas yang baru. Masyarakat pun terjaga. Tersadarlah logikanya untuk membenarkan apa yang barusan dikatakan dokter Haris. Sebetulnya kalo mau jujur, masyarakat menahan dokter Haris pergi hanya karena dorongan rasa kasih sayang.
“Dokter, jangan pergi! Kami masih sangat membutuhkan dokter!”
Gema suara masyarakat bergelombang tinggi nian. Berpacu dia dengan kepulan asap dan debu beterbangan, yang disisakan oleh mobil yang membawa dokter Haris.
Balai Berkuak, akhir september 2004
~~~~~&&&&&~~~~~
CATATAN :
~Perabah : peralatan atau perlengkapan digunakan dalam pengobatan
~Tempong tawar : tepung beras yang bercampur dengan air hingga kelihatan putih yang dipercikan pada orang dengan menggunakan daun andong
~Jampi-jampian : sejenis mantra yang dibacakan dukun untuk mengobati pasiennya
~Cerpen ini dibuat untuk mengingat kenangan manis bersama dr. Herman Basuki. WE MISS YOU AND DON’T FORGET OUR.(Your Friend : Triyono, Isjuandi, Sarifudin, Taslim/istri, Arif Rahman/istri, Cinong dan Dhani mungil, Itam Hamid/ Istri, dan yang lainnya).
Ä (Dipublikasikan di Pontianak Post, 13 Maret 2005).
“ Dokternya ada?” itulah kata-kata yang seringkali ditanyakan pasien pada tetangga dokter. Habis rumah dokternya tertutup selalu.
“Dokternya belum pulang,” jawaban yang dapat diberikan oleh tetangganya dokter.
“Terima kasih, Pak!” sahut pasien tersebut lalu ngeloyor pergi.
Tetangga dokter itu adalah cikgu, yang mengajar di SMA Pertalian Kasih. Mereka adalah Tanto, Sahid, dan Iman. Tanto spesifiknya mengajar Kimia dan Biologi. Sahid spesifiknya mengajar Bahasa Indonesia. Iman spesifiknya mengajar Bahasa Inggris. Mereka tuh berasal dari kota yang berbeda. Tanto pendatang dari Jawa. Sahid pendatang dari Kayong City. Iman pendatang dari Pemangkat (Sambas). Mereka bisa bersatu dalam satu naungan. Satu rumah lagi. Asyikkan! Akur dan damai selalu. Semuanyakan, berkat adanya semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Mereka adalah teman-teman dokter yang begitu dekat. Tetangga dekat. Yang sering ngumpul bareng sama dokter, berkelakar, bercanda, dan berbagi cerita-cerita. Pokoknya dekatlah.
Di hari berikut dan seterusnya. Begitulah komunikasi yang terjadi antara pasien yang ingin berobat pada dokter dengan tetangga dokter tersebut. Menunggu kehadiran dokter yang juga belum memunculkan wajahnya atau batang hidungnya.
Mengapa mereka tetap ingin berobat dengan dokter Haris? Dokter yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya. Padahalkan, banyak juru rawat atau dokter yang lain, mungkin lebih profesional lagi dari dokter Haris! Mereka punya alasan tersendiri. Sebagian alasan itu adalah dokter Haris orangnya baik hati dan ramah pada siapa saja. Dalam menangani penyakit dokter Haris terkenal sabar, telaten, dan teliti serta tidak sembrono. Sehingga tidak menimbulkan malapraktik, yang banyak dihebohkan sekarang ini. Pelayanan dokter seperti itu membuat pasien merasa puas.
Dalam berobat dokter Haris juga tidak menentukan seberapa besar biaya pengobatan itu, pembayarannya seikhlas pasien memberi. Asalkan sudah mencukupi harga obat yang diberikan pada pasiennya. Selain itu, dokter Haris juga meyakinkan pada pasiennya bahwa yang menyembuhkan penyakit, bukanlah dirinya tetapi Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini agama si pasiennya. Dirinya hanyalah sebagai perantara saja. Hakikatnya bahwa kesembuhan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu pasien harus yakin bahwa Tuhanlah penyembuh segala penyakitnya. Sugesti yang diberikan dokter Haris dibenarkan juga oleh logika mereka dan makin menambahkan ketebalan dan kemantapan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sembah. Setiap tarikan napas. Karena itulah mereka menyenangi dokter Haris.
~oOo~
Sebelumnya susah juga dokter Haris menarik simpati pasiennya untuk berobat. Awalnya dia datang ke desa itu, pasiennya terkenal cuek dan antipati serta alergi dengan yang namanya dokter. Mereka lebih suka berobat ke dukun. Dengan cara pengobatan sesuai dengan keahlian dukun. Walaupun untuk perabah pengobatannya lebih besar. Mereka tetap memenuhinya. Begitulah adat turun temurun mereka. Masih mereka pegang teguh dan kuat-kuat. Sehingga ruang praktik dokter selalu sepi-sepi ayam. Karena tidak ada pasien yang mengunjunginya. Abis kalo sakit, masyarakat desa selalu datang ke dukun bukan ke dokter. Yang masyarakat yakini bisa menyembuhkan segala penyakit. Dokter tidak bisa.
Siang nan cerah ini. Mentari menyalangkan matanya besar-besar. Dipelototkannya. Menyapukan pandangan ke seluruh jagat bumi di bawahnya. Dokter Haris lagi duduk santai di ruang kerjanya. Seketika dia tersentak mendengar keributan riuh di luar.
“Gerangan apa yang telah terjadi?”
Dia melihat banyak orang mendatanginya.
“Wah, ada apa ini? Koq, mereka berdemonstrasi ke sini. Apakah ini pengusiran besar-besaran terhadap saya? Tanda protes atas kejengkelan mereka atau tanda kemauan mereka menolak atau tidak menerima kehadiran saya di sini?” Dokter Haris coba tenangkan jiwanya. Suara ribut di luar semakin gaduh dan ramai.
“Dokter, keluaaarrrrr! Cepat kesiniiiiiiiiiiiiiii!”
Gelombang derap berladam gaduh semakin mendekat. Bismillahirrahmanirrahiim. Dimantapkanya juga kakinya melangkah menyongsong dan menyambut masyarakat yang ramai mendatangi. Karena tidak biasanya hal itu terjadi seperti ini. Baru kali ini. Apa nggak dokter Haris merasa tercekat.
“Ada apa kalian ramai-ramai datang ke sini?” tanya dokter Haris dengan hati-hati. Takut salah ucap. Bisa fatal urusannya.
“Kami minta dokter menyembuhkan penyakitnya,” ujar salah satu juru bicara masyarakat. Lalu dia menunjuk orang tua yang terbujur lemas, tidak punya tenaga atau bertenaga. Digotong oleh empat orang pengiringnya dengan menggunakan tandu. Dia sering mengeluarkan darah dari mulutnya. Darah itu membasahi jenggotnya yang meranggas seperti pepohonan kekurangan nutrisi makanan dan air. Wajahnya sungguh pucat, sepucat mayat. Sepertinya cukup banyak dia mengeluarkan darah, sebelum diantar masyarakat ke ruang praktik dokter Haris.
“Maaf ya saudara-saudara. Saya tidak mau melangkahi adat disini. Biasanya kalo sakit dibawa ke rumah dukun bukan ke sini dulu. Untuk itu, lebih baik orang sakit ini saudara-saudara bawa saja ke rumah dukun, minta obati sama dukun dulu,” jawab dokter Haris dengan tenang.
“Mau dibawa ke dukun yang mana lagi dokter, sedangkan yang sakitnya adalah dukunnya sendiri,” kata juru bicara tersebut.
“Ah, dukunnya sendiri,” kaget dokter Haris seketika.
Pantesan, gumamnya dalam hati.
“Oh, yang sakit ini dukunnya?”
“Betul dokter. Kalo sudah tau. Cepatlah dokter! Sembuhkan dia, keburu dianya parah nanti lalu mati. Kalo dia mati sebelum mendapat pengobatan dari dokter. Tidak tanggung-tanggung dokter juga akan kami buat mampus,” ancam juru bicara masyarakat.
“Tenang saudara-saudara. Sabarkan emosi anda,” peringatkan dokter Haris mendinginkan emosi masyarakat yang memanas itu.
“Kami sudah tidak bisa tenang lagi dokter. Apalagi melihat penderitaannya yang sungguh menyedihkan ini. Apalagi melihat darahnya terus keluar. Rasanya kami ingin sekali membunuh orang yang telah mencelakainya.”
“Oh begitu. Sebenarnya dukun kalian ini terkena apa?”
“Katanya, dokter! Dia terkena racun angin. Dikirim seseorang yang tidak suka dengan dia melalui perantaraan angin. Racun keji yang bisa mematikan. Kalo tidak mendapatkan pengobatannya yang tepat. Dia bisa mati. Tepat kenanya tengah malam tadi, dokter.”
“Oh begitu,” lirih suara dokter Haris.
“Oh begitu. Oh begitu terus! Kapan dokter mau mengobatinya? Kalo memang dokter tidak sanggup mengobatinya, bilang dari tadi. Jangan membuat kami lama menunggu. Biar urusannya cepat selesai. Menamatkan riwayat dokter duluan. Karena percuma saja anda seorang dokter, yang kami anggap setaraf dukun yang sakit ini, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa mengobati penyakit. Lebih baik kami tidak memiliki anda. Habisi dia sekarang juga!” gelegar juru bicara masyarakat memberikan komandonya. Seseorang dari keramaian masyarakat yang berjejer itu maju ke depan, mendekati dokter Haris. Siap menghabiskan riwayat kehidupan dokter Haris.
Walaupun dokter Haris merasa tersinggung dengan kata-kata pedas juru bicara masyarakat, namun dia masih bisa bersabar. Segala persoalan harus dihadapi dengan ketenangan dan kesabaran. Biar pikiran kita dapat berpikir jernih dan jelas untuk mencarikan solusi persoalan tersebut. Walau di sisi lain harga dirinya seorang dokter merasa dijatuhkan, namun dokter Haris masih bisa tersenyum. Dokter Haris mengangkat tangannya tanda mencegah perbuatan itu.
“Tunggu dulu saudara-saudara. Baiklah saya akan berusaha mengobatinya. Moga saja dengan perkenan Allah, dukun kalian bisa disembuhkan lagi seperti semula. Bawalah dia ke ruang praktik saya, agar saya bisa memeriksanya. Sebenarnya dia sakit apa? Kalo sudah tau sakitnya. Insya Allah, barulah saya berusaha mengobatinya,” ujar dokter Haris masuk duluan. Diikuti oleh empat orang yang menggotong si sakit. Selebihnya menunggu di ruang depan.
Si orang tua itu rupanya terkena paru-paru, bukan terkena racun angin, seperti disangkakan masyarakat desa dan dukun itu sendiri. Paru-parunya mengalami kebocoran. Untuk itu perlu ditambal agar sehat seperti semula. Penambalannya bukan dengan obat-obatan batuk, pilek, jantung atau obat dengan cara tempong tawar atau jampi-jampian, namun penambalannya tentu dengan obat-obatan paru-paru dan perawatan intensif. Dengan penambalan yang baik dan perawatan intensif dari dokter Haris, orang tua itu dapat pulih seperti biasanya. Maka sejak itu masyarakat mulai mempercayai keampuhan pengobatan dokter. Mereka mulai mau berobat ke dokter. Mereka mulai menyadari juga bahwa dokter bisa menyembuhkan penyakit.
Sedikit pengertian ya, bahwa sebenarnya yang menyembuhkan penyakit bukanlah dokter tetapi Allah.
Pandangan masyarakat yang keliru itu juga akan diluruskan dokter Haris. Dokter Haris adalah seorang hamba Allah saja. Perantara saja. Tetapi yang memberikan kesembuhan penyakit adalah Allah. Itu baru benar kerangka berpikirnya.
Dokter Haris yang baik hati tidak mau menjatuhkan privacy pak dukun itu. Dia mengambil jalan terbaiknya, yaitu dengan jalan menjalin kerjasama pengobatan dengan pak dukun itu. Jika masalah sakitnya bisa ditangani dukun, maka dukunlah yang akan menangani atau mengobatinya. Jika sakitnya yang berkenaan dengan dokter, maka dokterlah yang akan menanganinya. Sehingga pengobatan yang mereka jalankan tetap berjalan sesuai relnya. Tidak ada yang saling sabotase atau mencuri lahan pekerjaan orang.
~oOo~
Suatu saat dokter Haris kaget. Rumahnya dikunjungi seekor ular yang kepayahan. Dokter Haris mencoba mengusirnya berulang kali. Namun ular itu tidak beranjak dari tempat semula. Dokter Haris cape sendirian. Sejenak di aturnya pernapasan biar lancar lagi mengalir, abis keletihan. Naluri kedokterannya mulai bekerja. Mungkin saja ular ini butuh pertolongan.
“Kamu butuh pertolonngan?” tanya dokter Haris. Ular itu menganggukkan kepalanya. Dokter Haris tersenyum cerah dan berlega hati. Dia lalu memberikan pertolongan pada ular itu hingga ular itu sembuh dari penyakitnya. Ular itu menjadi girang gembira. Dengan lidahnya yang basah dijilatinya tangan dokter Haris sebagai ungkapan pernyataan terima kasih atas pertolongan itu.
Dokter Haris, pasienmu sungguh banyak. Tidak hanya manusia. Sebangsa binatang pun juga pasienmu, seperti spesies ular, kalajengking, tikus, semut rangrang, kaki seribu, dan masih banyak lagi. Semuanya kamu layani dengan baik. Alhamdulillah, atas perkenan Allah semua penyakit diobatimu dapat sembuh semua. Dari itu tidak mengherankan kedatangannya dari bepergian ke luar kota ditunggu-tunggu oleh banyak pasiennya.
~oOo~
“Dokter mau kemana? Mengapa cepat tinggalkan kami? Kami masih membutuhkan sentuhan lembut tangan dokter,” seru mereka yang berusaha menahan kepergian dokter Haris. Yang setelah datang dari bepergian cukup lama. Hanya untuk sebuah urusan kepindahan saja. Apa tidak masyarakat menjadi terkejut? Apa tidak masyarakat merasa kehilangan sosok figur dirinya? Sudah melekat di hati masyarakat semua. Sudah terpatri di denyutan darah masyarakat semua. Dokter yang sungguh baik hatinya. Datang sebentar hanya untuk berpamitan.
“Maafkan saya, saudara-saudara saya semuanya. Semua ini sudah kehendak-Nya. Saya harus pindah tugas,” ujar dokter Haris melunakkan hati masyarakat yang merasa bersedih.
“Dokter tidak boleh pergi dari sini. Dokter masih kami butuhkan di sini. Coba lihat dokter, masih banyak paisen yang ingin perawatan dari dokter,” protes juru bicara masyarakat.
“Saya tau itu. Tapi saya pun tidak bisa menolak keputusan dari atasan saya. Kalo saya menolak, pembangkangan namanya. Bisa-bisa saya akan dinonaktifkan dari tugas ini. Saya tidak ingin kehilangan jabatan ini. Cobalah saudara-saudara mengerti saya juga,” kata dokter Haris.
“Kami semua sudah mengerti dokter. Kalo begitu kami akan demo saja. Mendemo atasan anda supaya membatalkan pemindahan anda ke tempat lain. Kami berusaha dalam pendemoan ini tidak dilakukan dengan tindakan keras, namun dilakukan secara damai serta kami akan berusaha sekuat mungkin tidak meniadakan jabatan dokter, gara-gara demo yang kami lakukan. Kami hanya memberikan pengertian atasan anda supaya mereka bisa lagi mempertimbang-kan dan memenuhi keluhan dan aduan kami. Sebab dokter masih sangat-sangat kami butuhkan,” kata juru masyarakat lagi. Masyarakat pun mendukung usulan itu. Yel-yel menahan kepindahan dokter Haris berdendang riuh rendah. Gendang dan musiknya masih terdengar hingar bingar.
“Saudara-saudara saya, saya hargai antusias kalian semua. Namun pernahkah kalian berpikir, kalian ke sana mau pakai apa? Sedangkan jarak dari desa ini dengan kantor atasan saya sungguh jauh. Bukan saya bermaksud melemahkan semangat kalian semua. Coba memberi pengertian saja. Selain itu terpikirkan oleh kalian semua, suara kalian mungkinkah didengar oleh mereka? Ingat! Mereka juga punya prinsip. Apa yang sudah mereka putuskan atau tetapkan tidak mungkin ditarik kembali. Kalo itu mereka lakukan. Sama saja mereka membuat malu diri sendiri dan mengingkari kekonsistenan mereka. Ini saya utarakan agar kalian semua bisa memahaminya. Sebaiknya saran saya, urungkan saja keinginan kalian semua untuk datang ke sana. Tidak ada gunanya. Sia-sia saja. Lebih baik kini, kalian semua doakan saya supaya keberangkatan saya sampai ke tempat tugas baru dengan selamat. Belajarlah untuk berlapang dada dan menerima sesuatu dengan ikhlas. Mungkin ini aluran kehendak-Nya. Oh ya, saya doakan pula semoga saja kalian semua dengan cepat dapatkan dokter pengganti saya yang baru. Selamat tinggal saudara-saudara saya semuanya,” ujar dokter Haris. Lalu dia memasuki mobil yang sudah siap menunggunya sedari tadi. Siap membawa dirinya ke tempat tugas yang baru. Masyarakat pun terjaga. Tersadarlah logikanya untuk membenarkan apa yang barusan dikatakan dokter Haris. Sebetulnya kalo mau jujur, masyarakat menahan dokter Haris pergi hanya karena dorongan rasa kasih sayang.
“Dokter, jangan pergi! Kami masih sangat membutuhkan dokter!”
Gema suara masyarakat bergelombang tinggi nian. Berpacu dia dengan kepulan asap dan debu beterbangan, yang disisakan oleh mobil yang membawa dokter Haris.
Balai Berkuak, akhir september 2004
~~~~~&&&&&~~~~~
CATATAN :
~Perabah : peralatan atau perlengkapan digunakan dalam pengobatan
~Tempong tawar : tepung beras yang bercampur dengan air hingga kelihatan putih yang dipercikan pada orang dengan menggunakan daun andong
~Jampi-jampian : sejenis mantra yang dibacakan dukun untuk mengobati pasiennya
~Cerpen ini dibuat untuk mengingat kenangan manis bersama dr. Herman Basuki. WE MISS YOU AND DON’T FORGET OUR.(Your Friend : Triyono, Isjuandi, Sarifudin, Taslim/istri, Arif Rahman/istri, Cinong dan Dhani mungil, Itam Hamid/ Istri, dan yang lainnya).
Ä (Dipublikasikan di Pontianak Post, 13 Maret 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar