“Astaghfirullah....”
Gadis itu memekik. Karena, kerudung yang dipakainya
robek. Memperlihatkan rambut hitam mengkilat tergerai panjang. Dia berusaha
menutup rambut itu. Tetapi tidak bisa. Akhirnya, dia terguguk. Menangis.
Pandanganku tetap tidak beralih dari menatap kecantikan
rambut gadis itu. Sesaat dia menengadah. Membuat mata kami saling beradu
pandang. Kemudian dia mengalah. Tertunduk dan berdiri. Membawa kemuraman wajah
dan kesenduan matanya. Kemudian dia berlari begitu kencang. Membawa deraian
rintikan salju di mata. Berjatuhan ke tanah. Sepanjang lintasan lari yang
dilalui.
Aku tidak mampu mencegah. Masih terpana. Hanya temannya saja yang mampu mencegah.
“Tunggu
Dila!” Temannya berseru. Lalu menyusul Dila yang sudah
berlari jauh.
* * * * *
Rasa-rasa aku pernah melihat dia. Di mana ya? Di tempat mana ya? Pikiranku terus
berkejaran dengan waktu.
Ah, lenguhku kesal.
Menyisakan asap
kesal menembus tirai angin kamarku. Karena, aku tidak mampu mengingat kejadian itu.
Kejadian di mana aku pernah berjumpa dengan dia.
Kemudian jiwaku terdorong untuk
membuka album persahabatan. Mudah-mudahan saja dia ada di sana. Aku mulai
membuka lembaran demi lembaran album persahabatan. Aku teliti sedetail mungkin setiap wajah yang
terpampang di situ. Wajah dia tidak aku temukan. Mirip dengan dia juga tidak aku temukan.
Sialan, makiku pada diri sendiri. Karena, pencarianku
dalam album persahabatan sia-sia.
Untuk menghilangkan bosan yang menjamah rasa. Aku alihkan aktivitasku
pada kegiatan membaca. Aku rengkuh sebuah buku Kahlil Gibran dalam rak buku. Yang berjudul RENUNGAN
SPIRITUAL. Aku mulai membaca. Sedikit demi sedikit. Perlahan demi perlahan. Aku mulai belajar memahami kedalaman isi buku itu yang berisi renungan-renungan pembangkit semangat. Cocok sekali dengan suasana hatiku saat ini. Memerlukan sebuah dorongan
untuk menghilangkan kekesalan.
Pada halaman seratus
dua puluh. Aku agak lama membaca. Karena, dalam halaman itu ada sebuah kalimat yang
sungguh menarik hati. Aku meresapi kalimat itu dalam-dalam. Bahkan pembacaanku
pada kalimat itu kuulang-ulang sampai berkali-kali agar aku mengerti makna kalimat itu. Menafikan kalimat itu dengan sosok gadis yang ingin aku kenal. Belum lama ini. Sungguh unik pertemuan itu.
Bunyi kalimat itu adalah wanita muda itu bagaikan mata air yang menyembur
dari inti bumi dan mengalir melalui lembah yang berkelok
* *
* * *
Hari berganti hari. Membuat aku semakin tersiksa. Sebab wajah mendung dan tangisan
dia yang aku jumpai secara tidak langsung itu selalu menganduli pikiranku. Apalagi saat itu aku lihat sorotan mata dia membiaskan kekecewaan. Yang menyatakan aku telah bersalah pada dia. Aku sebenarnya
mau saja minta maaf pada dia. Sekaligus ingin mengenal dia. Tetapi di mana aku
harus menemukan dia? Menjumpai dia? Yang dapat aku ingat. Dia mempunyai
nama Dila. Itu pun aku ketahui ketika temannya memanggil dia saat dia berlari membawa kekecewaan hati. Paradilakah? Dila Karinakah? Dila Maharanikah? Atau
Dila yang lain. Sebab dalam kota yang begini luas. Banyak yang
mempunyai nama Dila. Bagaimana ya?
Aku mulai memahami suatu hal. Memahami sebuah petuah yang selalu aku jalankan. Petuah itu adalah kalau ingin jalan
kehidupanmu berjalan mulus dan lancar berusahalah jangan menyakiti wanita dan
hargailah mereka.
Padahal aku sudah menyakiti dia yang merupakan seorang wanita. Walau itu aku lakukan secara tidak sengaja. Kalau begitu, bagaimanapun caranya aku
harus menemukan dan meminta maaf atas kesalahanku pada dia. Bagaimana caranya?
Setelah mengalami beberapa kali pemikiran. Aku menemukan juga sebuah metode. Segera saja aku laksanakan
metode itu. Aku datangi sebuah radio terkenal di kota ini. Radio Kenari. Aku utarakan
maksud hati ini. Aku minta kepada
penyiar untuk menyiarkan sebuah berita.
Dicari seorang wanita berkerudung oren bernama Dila yang memiliki
kebeningan mata yang mempesona. Dila pernah mengalami kejadian yang membuat dia sedih di Pantai Harapan. Ditunggu orang yang ingin sekali minta maaf pada Dila. Dimohon sangat kehadiran Dila.
Di Pantai Harapan. Aku mulai menunggu Dila. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Juga sampai berbulan-bulan. Tetapi Dila tidak menunjukkan wajahnya. Apakah Dila marah dengan kejalangan mataku yang menatap wajahnya? Apakah Dila kecewa berat
dengan sikapku yang memandang mahkotanya yang bukan milikku?
Yaa Allah, berikan aku petunjuk-Mu. Temukan aku dengan Dila sebelum nyawa merenggutku. Jangan
biarkan aku meninggalkan dunia ini dengan membawa sepercik kesalahan pada Dila. Aku takut di akhirat nanti.
Aku dijegal untuk memasuki surga kenikmatan-Mu yang hakiki. Padahal aku hanya membekal sedikit kesalahan pada Dila. Yaa Allah, kabulkan keluhan hatiku.
* * * * *
Mengapa aku jadi begini? Diliputi rasa sesak
yang tiada ada muara? Mengapa aku dihempaskan
pada hal kalut begini? Apakah aku salah menegakkan prinsipku? Tidak
sakit hatikah Rohim bila aku memutuskan
perhubungan ini? Tidak dendamkah Rohim bila aku memPHK dia? Aduh.... Mengapa jiwaku menjadi serba salah begini? Bukankah
kebenaran di atas segala-galanya? Benarkah prinsipku
ini? Tetapi....? Aku tidak boleh larut
dalam kebimbangan ini. Aku harus mengambil keputusan.
“Rohim, ada sesuatu yang
ingin aku bicarakan denganmu,” kata Dila.
“Bicarakan saja di sini. Apa yang ingin kau
bicarakan. Penting ya?” jawab Rohim.
“Penting sekali Rohim.
Ini mengenai pertunangan kita.”
“Mengapa dengan
pertunangan kita? Apakah aku telah berbuat salah padamu? Apakah aku telah
menyakiti hatimu? Apakah aku...”
“Sudahlah, Rohim. Kau tidak salah apa-apa. Kau tidak pernah menyakiti
hatiku. Kau selalu baik padaku. Saat ini aku yang salah. Terlalu teledor dan tidak bisa menjaga
pertunangan kita. Maafkan aku, Rohim. Aku katakan ini agar kau tahu. Rohim, pertunangan kita tidak bisa diteruskan lagi.
Karena, aku tidak pantas lagi untukmu.”
“Apa?” Rohim kaget
mendengar kata Dila.
“Kau memutuskan
pertunangan kita? Mengatakan
kau tidak pantas buatku? Apa masalahnya?”
“Masalahnya tidak bisa aku katakan. Sangat
memalukan. Rohim, biarlah masalah ini aku yang menanggungnya.
Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini. Rohim, maafkanlah aku. Ini
cincin pertunanganmu aku kembalikan.”
Dila menyerahkan cincin
pertunangan yang selalu melingkari jari manisnya kepada Rohim.
“Tidak bisa begitu, Dila.
Kau memutuskan pertunangan ini hanya sepihak saja. Aku tidak terima. Apalagi kau
memutuskan pertunangan ini tanpa sebab yang jelas.”
“Rohim, kau mengertilah. Kau
mengertilah posisiku yang terjepit ini.”
“Aku telah lama
mengertimu, Dila. Dengan selalu berusaha menjaga pertunangan kita dengan baik.
Selama pertunangan, kita tidak pernah ada masalah. Tetapi, hari ini kelakuanmu
sungguh aneh aku
rasakan.
Kau memutuskan pertunangan kita tanpa sebab yang jelas. Apa aku tidak merasa sok. Aku
berharap bahwa kita bisa menjadi pasangan serasi. Tetapi, ternyata harapanku
tidak bisa direalisasikan.
Karena, kau telah memutuskan pertunangan ini. Tidak salah, kalau aku ingin
mengetahui sebabmu memutuskan pertunangan ini secara sepihak agar aku bisa
berlega jiwa dan berusaha menenangkan perasaan. Bahwa kau bukan jodoh
yang dikirim Allah untukku. Aku mohon padamu. Katakanlah alasanmu itu, Dila.” Rohim betul-betul
meminta.
Dila membatalkan langkah
sejenak. Dia menatap Rohim. Dia melihat kelukaan dari mata bening itu. Tetapi apalah daya dan kekuatan dia. Dia tidak bisa
mengobati kelukaan itu. Dia tidak tega melihat Rohim tambah terluka. Dila
mengalah. Dengan berat hati dia utarakan sebab dia memutuskan pertunangan itu.
Mahkotanya sudah dilihat dan dinikmati orang. Rohim sangat terkejut. Antara
percaya dan tidak percaya. Berkecamuk dalam dada.
Dia ingin meminta kejelasan lebih lanjut lagi dari Dila. Tetapi Dila telah meninggalkan Rohim dalam kebingungan. Pemikiran Rohim berbicara.
Masak Dila yang taat agama bisa terjebak dalam
kemaksiatan. Tidak mungkin. Tetapi...? Bisa saja. Bisa saja Dila dijebak orang yang telah melihat dan menikmati
mahkotanya. Kalau memang begitu. Siapa
yang telah berani menjebak Dila? Tetapi...? Kalau Dila tidak dijebak. Apakah dilakukan atas suka sama suka. Ini lebih
tidak mungkin lagi. Ah, pemikiranku sudah terlalu jauh. Maafkan pemikiranku
ini. Sebaiknya aku mencari tahu kebenaran itu.
Mengenai Dila yang telah
memutuskan pertunangan dengan Rohim. Membuat orang tua Dila tidak dapat menerima.
Karena, keputusan yang diambil Dila hanya sepihak. Apalagi pemutusan
pertunangan itu hanya disebabkan seseorang telah melihat dan menikmati mahkota
kedua dari Dila. Bagi orang tua Dila, itu adalah masalah sepele. Orang tua Dila
segera mengingatkan anaknya agar mengkaji ulang keputusan yang telah diambil.
Tetapi Dila tetap dengan keputusannya. Karena, dia selalu memegang keteguhan
yang diyakininya adalah sebuah kebenaran. Apalagi diperkuat dengan dalil keimanan
yang kuat. Orang tua Dila merengut sedih. Tidak bisa membujuk anaknya agar
dapat membatalkan keputusan yang telah diambil.
Rohim tidak lelah-lelah
berusaha mencari tahu kebenaran tentang mahkota Dila yang sudah dilihat dan
dinikmati orang lain. Sampai dua minggu pencarian. Dia belum menemukan hasil. Masih
terbentur pada hal samar-samar. Tetapi ada sedikit hal melegakan Rohim. Dia
mendapatkan informasi dari seseorang bahwa Dila akan bertemu dengan orang yang
melihat dan menikmati mahkotanya di Pantai Harapan, Mempawah. Dila minta
pertanggungjawaban dari orang tersebut atas kelancangan yang telah melihat dan
menikmati mahkotanya.
“Aku harus ke sana,” lirih hati Rohim. “Aku mau
tahu tampang orang yang telah melihat dan menikmati mahkota Dila. Selain itu,
orang seperti itu harus diberi pelajaran berarti agar dia tidak lancang melihat
dan menikmati mahkota orang lain yang bukan muhrimnya.”
Tanpa sepengetahuan Dila.
Rohim mengikuti Dila yang ingin menemui seseorang yang telah melihat dan
menikmati mahkota kedua Dila. Dila ingin meminta pertanggungjawaban kepada orang
tersebut. Gara-gara mahkota kedua dia sudah dilihat dan dinikmati orang
tersebut dia harus rela melepaskan pertunangannya dengan Rohim. Dila menganggap
bahwa dia sudah tidak pantas dimiliki Rohim. Karena, dia sudah tidak suci lagi
dalam mempertahankan sesuatu berharga. Mahkota kedua. Yang tidak sembarangan
dilihat dan dinikmati orang lain. Sebelum jalinan pernikahan mengesahkan.
* *
* * *
Dari jauh Dila sudah melihat
orang tersebut. Duduk menatap deburan ombak menuju daratan. Orang tersebut
duduk menunggu dengan sabar. Tempat di mana mahkota kedua dia dilihat dan
dinikmati orang tersebut. Dila segera bergegas menuju ke sana. Dila ingin cepat
menuntaskan permasalahan. Dila berpikir. Orang tersebut pasti sudah lama menunggu.
“Kasihan dia. Hanya untuk
meminta maaf kesalahan yang diperbuat. Dia harus menungguku sekian lama. Dua
puluh tujuh hari tanpa pernah dia mengeluh. Sebenarnya dalam hatiku terbetik menemui
dia. Sebelum mencapai dua puluh tujuh hari penantian. Tetapi keinginan itu
tidak pernah tersampaikan. Di hari dua puluh tujuh penantian, baru aku dapat
menemui dia. Mungkin saja liku perjalanan kehidupan yang kulalui ini sudah
diatur oleh Allah. Hari ini aku harus tuntas menyelesaikan persoalan mahkota
keduaku yang sudah dilihat dan dinikmati dia. Aku musti meminta pertanggungjawaban
dari dia. Sehingga persoalan ini selesai. Aku tidak ingin selalu larut dalam
persoalan ini. Karena aku juga sudah banyak berkorban demi akidah yang kujaga.”
Dila semakin mendekat. Setelah
jarak antara dia dengan orang tersebut hanya seperjangkauan tangan. Dila
mengucapkan salam.
“Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
Orang itu kaget. Orang itu
segera menoleh ke asal suara. Orang itu mulai tersenyum. Penantian orang itu membuahkan
hasil. Gadis yang ingin dijumpai sudah menampakkan diri. Padahal cukup lama orang
itu menantikan pertemuan seperti ini. Pertemuan untuk melepaskan dia dari
kegelisahan hidup. Karena, dia selalu dihantui rasa bersalah. Membuat kehidupan
yang dijalani dia menjadi tidak tenang. Sebelum dia meminta maaf atas kesalahan
tempo hari. Telah lancang membuat gadis tersebut menangis membawa kekecewaan
hati. Dia pun mulai menjawab salam tersebut.
“Waalaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh. Terima kasih Saudari sudah sudi menemuiku. Silakan duduk.”
“Terima kasih,” ucap Dila.
Dila duduk di sebuah batu yang
panjang-memanjang. Seperti deretan bangku panjang. Dila memandang orang di
depan dengan saksama. Begitu juga orang itu. Mereka saling pandang-memandang.
Belum ada sepatah kata terlontar dari mulut mereka. Kemudian mereka saling
menundukkan kepala. Merenungi tatapan yang barusan mereka lakukan. Di dalam
hati mulai menganalisis. Mulai menelisik kemaafan. Sebentar lagi akan
tersampaikan. Akhirnya, orang itu memulai untuk berkenalan. Dila menerima
dengan senyuman. Menambah kenyamanan mereka untuk membicarakan persoalan
ketidakenakan di antara mereka.
Orang itu memiliki nama Rahman Nurahman. Nama yang bagus sekali.
Begitu sebaliknya dengan Rahman Nurahman. Dia juga mulai mengetahui bahwa gadis
yang akan diminta maaf adalah Dila Maharani. Setelah mereka mulai merasa nyaman
dengan perkenalan itu. Rahman segera membicarakan persoalan yang sebenarnya.
“Dila, waktu itu walau tidak
sengaja. Aku telah lancang melihat dan menikmati kecantikan rambutmu. Sehingga
membuat kau menangis. Membawa kekesalanmu atas perlakuanku. Dengan melihat kekesalanmu
membuat jiwaku tersiksa. Aku terus dihantui perasaan bersalah. Aku berusaha
untuk dapat berjumpa denganmu. Meminta maaf atas kesalahanku. Biar jalan
kehidupanku berjalan lancar. Alhamdulillah di hari dua puluh tujuh penantianku.
Kau dapat hadir menemuiku. Sekarang setulus hatiku. Aku ingin meminta maaf
padamu atas kesalahanku tempo hari. Apapun akan kulakukan demi menebus
kesalahanku,” kata Rahman mantap.
Dila diam saja. Dia belum
memberikan keputusan. Membuat Rahman semakin tidak mengerti.
“Dila, apakah kau mau
memaafkan kesalahanku?” ulang Rahman.
Dila tetap diam. Kemudian
beberapa menit terdiam. Dia mulai angkat bicara.
“Maaf ya Rahman, aku tidak
bisa memberikan maaf padamu. Karena, kesalahanmu sudah kuanggap besar. Walau
itu kau lakukan tidak sengaja.”
“Apa? Kau tidak mau memaafkan
kesalahanku?” Rahman terkejut.
Dia tidak menyangka akan
mendapat jawaban seperti itu. Padahal tadi dia sudah berkenang bahwa Dila akan
mengucapkan. “Aku akan memaafkan kesalahanmu. Sebagai manusia sudah sepatut
tempatnya salah. Sesama manusia, kita harus saling memaafkan.”
“Kesalahanku terlalu besar?
Aneh? Padahal aku hanya melihat keindahan rambut saja. Mengapa dikatakan
kesalahan besar? Memang rambut sangat berharga bagimu. Walau aku tahu itu
merupakan aurat dari seorang wanita. Tetapi....? Mengapa tidak bisa dimaafkan?
Apakah aku harus berbuat sesuatu agar kau dapat memaafkan kesalahanku? Aku
mohon tolong maafkan kesalahanku,” pinta Rahman dengan memelas.
“Ya. Benar katamu. Rambut
adalah salah satu mahkota bagi gadis. Mahkota kedua bagiku. Menurutmu penilaianmu,
masalah dengan melihat dan menikmati rambut seorang wanita adalah hal kecil. Tetapi
bagiku itu adalah masalah yang besar. Kau tahu. Hanya karena mahkota keduaku
telah dilihat dan dinikmati olehmu. Aku sampai memutuskan pertunangan. Aku
berkorban demi prinsip yang kujaga dengan baik. Aku bisa.... Aku bisa memaafkan
kesalahanmu itu dengan satu persyaratan yang harus kaupenuhi. Tidak boleh tidak.
Harus kau setujui. Karena Ini sudah menyangkut ke arah sebuah
pertanggungjawaban dari sebuah kesalahan. Kalau kau tidak mampu memenuhi maka
selamanya aku tidak akan memaafkan kesalahanmu,” jelas Dila.
Rahman melongo mendengar
penjelasan. Matanya berkedip-kedip dengan pandangan tertunduk ke bawah. Itu
dilakukan dia, karena dia tidak boleh melakukan kesalahan lagi. Menikmati
kecantikan orang lain yang bukan muhrimnya. Dengan cara menjauhi pandangan mata
yang menyilaukan.
“Katakan apa persyaratanmu?
Aku akan berusaha memenuhi. Karena, aku tidak ingin hidup dalam kesalahan
terus,” ujar Rahman.
Dila menghirup udara segar.
Sebelum dia mengatakan persyaratan tersebut. Kemudian dengan pelan dan tegas
dia berkata,“Kau harus menikahiku!”
Rahman terkejut mendengar persyaratan
itu. Lutut goyah. Bibir kelu untuk berkata. Badan melemas. Pikiran berkenang, “Sungguh
berat persyaratan yang harus kuterima dari sebuah kesalahan ini.”
Bumi Lelabi Putih, 31 Agustus
2014
* *
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar